Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 - Latihan Memegang Tangan
Taman kampus siang itu bukan sekadar panas.
Itu adalah sebuah oven raksasa.
Matahari tegak lurus di atas kepala, seolah-olah menargetkan ubun-ubun setiap mahasiswa yang berani keluar dari gedung ber-AC.
Bayang-bayang memendek, bersembunyi malu-malu di bawah pohon-pohon beringin besar yang memagari area tersebut.
Yuni duduk di sebuah bangku taman yang terbuat dari besi tempa bergaya Eropa.
Pilihan yang buruk.
Besi itu menyerap panas matahari dan memanggang paha Yuni melalui celana jeans-nya yang tipis.
Tapi dia tidak berani pindah.
Juan sudah menentukan koordinatnya. "Bangku ketiga dari patung pendiri."
Dia melihat jam di ponselnya. 11:55.
Lima menit lagi menuju eksekusi.
Dia mengelap telapak tangannya ke celana. Lagi. Dan lagi.
Basah.
Bukan karena panas udara, tapi karena keringat dingin yang memancar dari pori-porinya akibat saraf yang tegang.
"Latihan memegang tangan."
Konsep itu terdengar konyol. Absurd.
Seperti anak TK yang diajari cara menyeberang jalan oleh ibunya agar tidak ditabrak motor.
Tapi bagi Yuni, memegang tangan laki-laki—apalagi laki-laki seperti Juan, Raja Teknik, pangeran kampus—adalah hal yang sama asingnya dengan mendarat di bulan.
Dia tidak pernah pacaran.
Bukan karena tidak laku, meski dia sering mengatakan itu pada dirinya sendiri.
Tapi karena dia tidak punya bandwidth untuk itu.
Fokusnya selama ini hanya buku, nilai IPK agar beasiswa tidak dicabut, dan menghitung sisa uang makan untuk akhir bulan.
Romansa adalah kemewahan. Seperti tas bermerek atau liburan ke Bali. Itu adalah hal-hal yang tidak mampu dia beli.
Dan sekarang, ironisnya, dia harus "membeli" romansa ini dengan menjual harga dirinya.
"Jangan gugup," bisiknya pada diri sendiri, mencoba mengatur napas.
"Itu cuma tangan. Anatomi dasar. Kulit ketemu kulit. Tulang metakarpal ketemu tulang metakarpal. Proses biologis tanpa makna."
Teori yang bagus.
Tapi jantungnya berkhianat. Berdetak dua kali lebih cepat, memompa adrenalin yang tidak perlu.
Dari kejauhan, arah gedung Fakultas Teknik yang megah, dia melihat Juan datang.
Sulit untuk tidak melihatnya.
Dia berjalan santai, membelah kerumunan mahasiswa yang sedang bergegas mencari makan siang.
Kemeja polo biru gelap yang pas badan, memperlihatkan hasil olahraga rutin yang tidak mungkin dilakukan Yuni.
Kacamata hitam bertengger di hidungnya, menyembunyikan matanya.
Satu tangan dimasukkan ke saku celana chino-nya dengan santai.
Dia terlihat seperti model iklan universitas yang sedang syuting video promosi.
Mahasiswa-mahasiswa yang sedang makan siang di taman menoleh.
Beberapa mahasiswi berbisik, menyikut teman di sebelahnya.
"Eh, itu Juan."
"Ganteng banget, gila."
Juan tidak peduli. Dia tidak menoleh ke kanan atau kiri.
Jalannya lurus, terarah, seperti peluru kendali yang sudah mengunci target.
Targetnya adalah Yuni.
Yuni merasa ingin menyusut menjadi sebutir debu.
Dia sampai di depan bangku Yuni tepat pukul 12:00. Presisi teknik.
"Tepat waktu," kata Juan. Suaranya datar.
Dia melepas kacamata hitamnya, menyangkutkannya di kerah baju.
Matanya menyipit sedikit karena silau, tapi tatapannya tajam.
"Panas," keluh Yuni, mencoba mengalihkan rasa gugupnya dengan komplain. "Kenapa harus di taman jam dua belas siang? Kenapa nggak di kantin yang ada kipas anginnya?"
"Karena ini jam paling ramai," jawab Juan santai.
Dia duduk di sebelah Yuni.
Bangku besi itu berderit sedikit menerima beban tambahannya.
"Dan kalau kamu bisa melakukan ini di tengah keramaian, ditonton ratusan orang, dan di bawah panas terik tanpa pingsan atau muntah..."
Dia menoleh ke Yuni.
"...maka kamu bisa melakukannya di depan Oma di ruang tamu yang nyaman dan ber-AC."
Logika Juan selalu menyebalkan karena selalu masuk akal.
Dia memperlakukan ini seperti latihan militer.
"Oke," kata Juan, tidak membuang waktu. "Berdiri."
"Kita mau ke mana?"
"Jalan putar taman. Satu putaran penuh. Sekitar 800 meter."
Yuni berdiri dengan enggan. Kakinya terasa berat.
"Siap?" tanya Juan.
Dia mengulurkan tangannya.
Telapak tangan terbuka. Mengundang.
Yuni menatap tangan itu.
Besar. Jari-jarinya panjang, rapi, dan bersih.
Ada bekas kapur tulis putih tipis di ujung jari telunjuknya, sisa kuliah tadi pagi. Mungkin dia baru saja menyelesaikan persamaan rumit di papan tulis.
Tangan seorang insinyur masa depan. Tangan yang terbiasa memegang kendali.
Yuni menarik napas panjang. Oksigen terasa tipis.
Dia mengulurkan tangannya yang ragu-ragu.
Tangannya terlihat kecil dan pucat di bawah terik matahari.
Dia meletakkan tangannya di atas telapak tangan Juan.
Detik kulit mereka bersentuhan, Yuni merasakan sengatan listrik statis yang aneh.
Bukan romantis. Tapi mengejutkan.
Seperti menyentuh pagar listrik bertegangan rendah.
Dia ingin menariknya kembali. Refleks pertahanan diri.
Tapi Juan mengantisipasinya.
Dia langsung menutup jari-jarinya. Menggenggam.
Erat. Mengunci.
"Jangan ditarik," bisik Juan, suaranya rendah di telinga Yuni. "Itu refleks pertamamu. Hilangkan. Kalau kamu tarik tanganmu di depan Oma, tamat riwayat kita."
"Tanganmu... hangat," kata Yuni, mencoba mengalihkan fokus dari sensasi terperangkap itu.
"Tanganmu dingin," balas Juan. "Seperti mayat."
Dia menatap Yuni.
"Dan basah."
Yuni memerah sampai ke telinga. "Aku gugup! Ini pertama kalinya aku..."
Dia menghentikan kalimatnya.
"Pertama kali apa?" tanya Juan.
"Nggak. Lupakan."
"Aku tahu," kata Juan. Dia tidak melepaskannya.
Malah, dia mengeratkan genggamannya, seolah mencoba mentransfer panas tubuhnya ke tangan Yuni yang dingin.
"Lihat," kata Juan, mengangkat tautan tangan mereka sedikit setinggi dada.
"Ini namanya 'Genggaman Jabat Tangan'. Jari lurus, telapak ketemu telapak."
Dia menggoyangkan tangan mereka.
"Biasa aja. Kayak mau nyebrangin nenek-nenek di lampu merah. Atau kayak anak SD mau pergi study tour."
Yuni mendengus. "Analogi yang bagus."
"Sekarang, kita coba yang ini. Yang dibutuhkan untuk level 'pacar serius'."
Juan mengubah posisi jarinya.
Perlahan, dia merenggangkan jari-jari Yuni.
Lalu dia menyisipkan jari-jarinya yang panjang di antara sela-sela jari Yuni.
Interlocking fingers.
Tautan jari.
Ini jauh lebih intim.
Sangat intim.
Tidak ada jarak udara di antara kulit mereka.
Punggung tangan Yuni bersentuhan dengan telapak tangan Juan yang lebar.
Napas Yuni tertahan.
Rasanya... terkunci. Aman, tapi menakutkan.
Jempol Juan mengusap punggung tangan Yuni. Sekali.
Gerakan kecil itu mengirimkan getaran aneh ke sepanjang lengan Yuni.
"Ini," kata Juan pelan, menatap tangan mereka yang menyatu, "Adalah genggaman pacar. Genggaman 'aku milikmu, kamu milikku'."
Yuni menunduk menatap tangan mereka yang menyatu.
Terlihat... pas.
Secara visual, tangan Yuni yang kecil dan pucat terlihat kontras namun cocok, terselip aman di sela-sela jari Juan yang berkulit tan.
Seperti dua keping puzzle yang berbeda warna tapi satu set.
"Rasanya aneh," gumam Yuni. "Kayak... ada yang nempel dan nggak bisa lepas."
"Memang," kata Juan. "Makanya kita latihan. Biar kamu nggak merasa kayak ada alien yang nempel di tanganmu."
"Ayo jalan."
Mereka mulai berjalan.
Menyusuri jalan setapak berbatu di taman itu.
Langkah Juan lebar dan cepat.
Yuni, dengan kakinya yang lebih pendek, harus sedikit berlari kecil, terseret-seret untuk menyamainya.
"Pelan sedikit!" protes Yuni, menarik tangan Juan ke belakang.
Juan melambat. Dia menoleh, sedikit terkejut.
"Maaf. Kebiasaan jalan sendiri."
"Sekarang kamu nggak sendiri," gerutu Yuni.
Juan tersenyum tipis. "Benar. Koreksi diterima."
Mereka berjalan dalam diam selama beberapa menit.
Tangan mereka berayun pelan di antara tubuh mereka, mengikuti ritme langkah yang mulai sinkron.
Keringat mulai muncul di antara telapak tangan mereka karena panas matahari dan kontak kulit.
Lengket. Tidak nyaman.
Tapi anehnya... Yuni tidak merasa ingin melepaskannya lagi.
Ada rasa aman yang aneh dari genggaman itu.
Seperti memiliki jangkar besi di tengah lautan manusia yang menatap mereka.
Tatapan orang-orang di taman itu bervariasi. Ada yang kaget, ada yang sinis, ada yang iri.
Tapi dengan tangan Juan menggenggamnya erat, tatapan-tatapan itu terasa tidak bisa melukainya.
"Lihat ke arah jam dua," bisik Juan tiba-tiba, tanpa menggerakkan bibirnya terlalu banyak.
Yuni melirik.
Di bawah pohon mahoni besar, sekelompok mahasiswa senior sedang duduk di rumput.
Mereka menunjuk-nunjuk ke arah Juan dan Yuni.
Berbisik-bisik seru.
"Senyum," perintah Juan.
"Lagi?"
"Senyum ke aku. Bukan ke mereka. Abaikan mereka."
"Buat dunia seolah cuma milik kita berdua. Klise, tapi efektif."
Yuni mendongak menatap Juan.
Juan sedang menatapnya.
Dan kali ini, senyum Juan terlihat... berbeda.
Bukan senyum pamer gigi yang arogan.
Tapi senyum yang lembut. Sudut matanya berkerut sedikit.
Matahari siang menyinari separuh wajahnya, membuat matanya yang cokelat terlihat lebih terang, seperti madu.
Untuk sedetik, hanya satu detik, Yuni lupa ini skenario.
Dia lupa soal kontrak. Dia lupa soal UKT.
Dia hanya melihat seorang laki-laki yang menatapnya seolah dia adalah satu-satunya hal yang menarik di taman itu.
Jantungnya berdesir.
Dia tersenyum balik.
Bukan senyum yang dipaksakan di depan cermin kamar mandi.
Tapi senyum kecil yang canggung, malu-malu, tapi tulus.
"Bagus," bisik Juan.
Dia meremas tangan Yuni pelan.
Sebuah sinyal. Good job.
Tapi remasan itu terasa... menenangkan.
Mereka melewati kelompok mahasiswa itu.
Yuni mendengar bisikan yang terbawa angin, "Gila, mesra banget tatapannya."
Mereka berhasil.
Mereka terus berjalan, menyelesaikan putaran, sampai kembali ke bangku awal.
Juan melepaskan tangan Yuni.
Udara dingin langsung menyerbu telapak tangan Yuni yang berkeringat.
Rasanya... kosong.
Kehilangan yang tiba-tiba.
Seperti selimut hangat yang ditarik paksa saat pagi yang dingin.
Yuni segera menyembunyikan tangannya di saku celana, mencoba mencari kehangatan kembali.
"Lumayan," kata Juan, mengelap tangannya ke celananya sendiri dengan gerakan praktis.
"Tanganmu benar-benar basah. Hiperhidrosis?"
Romansa itu hancur seketika.
"Diamlah," kata Yuni. "Itu keringat gugup."
"Tapi genggamanmu sudah nggak kaku. Di pertengahan jalan tadi, kamu bahkan meremas balik."
Yuni terbelalak. Wajahnya memanas. "Aku nggak...!"
"Kamu melakukannya," potong Juan yakin. "Tanpa sadar. Saat kita lewati pohon mahoni."
"Itu refleks! Aku kaget ada akar pohon!" Yuni berbohong. Dia tidak ingat ada akar pohon.
"Itu bagus," kata Juan, mengabaikan alasan Yuni. "Itu artinya kamu mulai nyaman. Atau setidaknya, tubuhmu mulai nyaman dengan keberadaanku."
Nyaman?
Dengan Juan?
Tidak mungkin. Itu hanya biologi. Adaptasi.
"Ini cuma karena panas," bantah Yuni keras kepala.
Juan mengangkat bahu.
"Terserah teorimu."
Dia mengambil kacamata hitamnya lagi dari kerah bajunya.
"Besok," kata Juan.
"Apa lagi?" Yuni mengerang. "Latihan pelukan?"
"Jangan mimpi," cibir Juan. "Belum saatnya."
"Besok... Biodata Palsu," kata Juan.
"Aku akan kirim file baru. V.3.0. Malam ini."
"Lebih detail. Nama kucing tetangga, warna sikat gigi, merek sampo, semuanya."
"Hafalkan. Sampai ke luar kepala."
"Kita ketemu di kantin Sastra."
Yuni terkejut. Matanya membelalak. "Kantin Sastra?"
"Iya. Giliran aku yang main ke kandangmu."
"Tunjukkan pada teman-temanmu—terutama Sarah—kalau pacarmu ini bucin dan mau makan di kantin murah yang penuh asap rokok itu."
"Itu... akan jadi bencana," gumam Yuni.
Yuni membayangkan Juan, dengan pakaian mahalnya, duduk di bangku kayu reyot Kantin Sastra, makan soto ayam seribu rupiah.
"Atau tontonan yang menarik," koreksi Juan.
"Oke," kata Yuni pasrah.
Juan berbalik hendak pergi.
Lalu dia berhenti.
Dia menoleh ke Yuni, kacamata hitamnya sudah terpasang, membuat wajahnya kembali tidak terbaca.
"Yuni."
"Ya?"
"Tadi... waktu senyum itu."
Juan diam sejenak. Rahangnya mengeras sedikit.
"Itu akting yang bagus."
Suaranya terdengar... aneh. Sedikit parau.
"Pertahankan."
Lalu dia berjalan pergi. Cepat.
Meninggalkan Yuni yang berdiri sendirian di bawah matahari terik.
Yuni mengeluarkan tangannya dari saku.
Dia menatap telapak tangannya.
Masih terasa hangat bekas genggaman Juan. Jejak jari-jarinya seolah masih tertinggal di sana.
"Akting," bisiknya pada diri sendiri, meyakinkan otaknya yang mulai bingung.
"Itu cuma akting. Dia klien. Aku karyawan."
Tapi jantungnya yang masih berdetak kencang, memukul-mukul rusuknya... itu bukan akting.
Dan ketakutan baru muncul di benaknya.
Bukan takut ketahuan berbohong.
Tapi takut... kalau dia mulai menikmati kebohongan ini.