NovelToon NovelToon
Embun Di Balik Kain Sutra

Embun Di Balik Kain Sutra

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Cinta Terlarang / Romansa pedesaan
Popularitas:563
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.

Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.

Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.

Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1 — Embun di Pagi Hari

Mei Lan selalu meyakini, waktu yang paling jujur di Desa Awan Jingga bukanlah tengah hari yang terik, melainkan waktu di antara pergantian bintang dan terbitnya matahari. Itulah waktu ketika udara masih terasa beku, membawa aroma tanah basah, lumut, dan kayu tua dari rumah panggung yang dibangun tanpa paku itu. Ruangan tenun yang ia tempati terbuat dari dinding bambu anyaman, membiarkan udara pagi merayap masuk, memeluk kulitnya dengan dingin yang manis.

​Di hadapannya, alat tenun kayu jati yang diwariskan turun-temurun tampak kokoh, berdecit ritmis setiap kali kakinya menginjak pedal dan tangannya menyisipkan benang pakan. Suara itu, tuk-tak, tuk-tak, ciiit, adalah lagu sunyi yang menjadi teman hidupnya. Ia mulai menenun saat langit masih berwarna biru tua, dan kini, bias jingga pucat sudah mulai menyentuh puncak Gunung Tujuh Bintang di kejauhan.

​Di antara benang-benang sutra mentah berwarna putih gading—yang sebentar lagi akan dicelup warna alami dari kulit kayu mahoni dan daun indigo—Mei Lan menemukan kedamaian yang hilang dari hidupnya. Setiap helai benang yang ia sisipkan bukan hanya menghasilkan kain, melainkan juga menambal lubang-lubang kecil di hatinya. Kain sutra tidak pernah berbohong; ketegangan dan kerapatan benangnya mencerminkan ketenangan atau kekacauan batin penenunnya.

​“Sutra di tanganku harus bernapas,” bisik Mei Lan pada dirinya sendiri, menarik napas panjang. Ia mencoba menghirup ketenangan pagi.

​Dia memang dikenal sebagai penenun paling berbakat di desa itu, warisan darah dari ibunya yang legendaris. Hasil tenunannya begitu halus hingga dijuluki Kain Embun—dingin disentuh namun menghangatkan, lembut seperti kabut, dan memiliki pola yang seolah bergerak saat terkena cahaya.

​Namun, di usia dua puluh tahun, keanggunan dan bakat itu justru menjadi pedang bermata dua. Dalam budaya Awan Jingga, bakat seorang gadis harus diimbangi dengan kedudukan sosialnya sebagai istri. Luka yang dibawa Mei Lan bukan hanya dari patah hati, melainkan dari aib yang menimpa keluarganya tiga tahun lalu: pembatalan pertunangan dengan putra juragan garam dari kota, dilakukan secara terbuka, memalukan, dan tanpa alasan yang jelas. Sejak saat itu, ia memilih bersembunyi di balik alat tenun, menolak segala pandangan dan tawaran.

​Pagi itu, ketenangan yang ia cari mulai terusik. Suara riuh di halaman semakin terdengar jelas. Hari Festival Panen tiba sebentar lagi, dan persiapan sudah mencapai puncaknya.

​“Mei Lan! Apakah Kau sudah selesai dengan pesanan Kepala Desa?”

​Suara berat dan hangat itu milik Nona Yuhe, kepala penenun sekaligus figur ibu kedua baginya. Nona Yuhe adalah wanita berumur yang masih tampak tegar, dengan mata yang menyimpan kebijaksanaan sekaligus kenangan masa lalu yang kelam.

​Mei Lan menghentikan tenunannya, memotong benang pakan dengan gerakan anggun. “Sudah, Nona Yuhe. Tinggal tahap akhir pewarnaan. Kain utama untuk tarian persembahan telah selesai, lebih ringan dari kapas, sehalus kulit bawang.”

​Nona Yuhe tersenyum, mengelus benang sutra di sisinya. “Indah sekali, Gadis Manis. Kau benar-benar tidak tertandingi.” Ia kemudian menghela napas, sorot matanya berubah serius. “Tapi keindahan itu, Mei Lan, jangan biarkan ia membuatmu menjadi target. Hari ini, dengarkan saja, jangan menjawab. Keputusan ada di tanganmu.”

​Mei Lan mengangguk, hatinya sudah tahu apa yang akan terjadi. Kedatangan Festival Panen selalu membawa tuntutan, dan tuntutan itu selalu bermuara pada satu hal: perjodohan.

​Ia membawa gulungan kain sutra ke balai desa yang kini sudah disulap menjadi tempat pertemuan yang meriah. Balai itu terbuat dari kayu suren tua yang gelap, mengeluarkan bau lembap khas musim hujan, namun kini dihiasi rumbai-rumbai merah dan lampion minyak yang sudah mulai dinyalakan meskipun matahari baru saja terbit penuh.

​Keramaian di pasar rakyat yang berada di depan balai sudah dimulai. Aroma rempah, kue beras yang baru matang, dan arak beras yang difermentasi menciptakan hiruk pikuk yang hangat. Anak-anak berlarian, sementara para pedagang mulai memamerkan hasil panen terbaik mereka—jagung yang gemuk, labu yang ranum, dan tentu saja, hasil tenunan yang menjadi kebanggaan desa.

​Di tengah keramaian itu, berdiri Kepala Desa Liang. Ia adalah pria paruh baya yang bertubuh besar, dengan kumis lebat yang selalu terawat rapi, dan pakaian sutra yang selalu lebih mentereng daripada warga desa lainnya. Ambisinya sebesar perutnya.

​Mei Lan menyerahkan gulungan kain itu, membungkuk sopan. “Kain persembahan sudah selesai, Kepala Desa Liang.”

​Kepala Desa Liang mengamatinya. Tatapannya tidak tertuju pada kainnya, melainkan pada wajah Mei Lan. “Cantik sekali, Mei Lan. Kecantikanmu menandingi hasil tenunanmu. Ini adalah kerugian besar bagi Desa Awan Jingga jika kecantikan dan bakatmu ini hanya terkunci di ruangan penenunan.”

​Mei Lan merasakan nyeri di dadanya, mencengkeram lipatan jubahnya. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini.

​“Putra Pedagang Cheng sudah datang pagi-pagi sekali, hanya untuk menanti kedatanganmu, tahu? Dia pria yang sabar, Mei Lan. Kaya, terhormat, dan tidak akan membiarkanmu menenun di rumah kayu tua ini lagi. Kau akan tinggal di rumah batu dengan lantai marmer yang dingin, bukan di tempat yang diselimuti embun dan lumut ini.”

​Kepala Desa Liang berbicara dengan suara lantang, sengaja menarik perhatian beberapa warga yang berpura-pura sibuk mengatur lampion. Rumor adalah makanan favorit Desa Awan Jingga, dan kepala desa senang menyajikannya.

​Mei Lan mengangkat dagunya sedikit, sekuat tenaga menahan getar di suaranya. “Terima kasih atas perhatian Anda, Kepala Desa. Namun, saya tidak memerlukan lantai marmer. Alat tenun ini adalah rumah saya. Saya sudah menolak tawaran Putra Cheng.”

​“Menolak?” Kepala Desa Liang tertawa kecil, tawa yang penuh sindiran dan kekuasaan. “Mei Lan, kau tidak bisa terus hidup dalam bayangan. Pertunanganmu yang batal itu sudah lama berlalu. Jangan biarkan luka lama itu merusak masa depanmu. Kau harus menikah. Itu adat. Itu adalah jalan untuk menyucikan nama keluargamu dan memastikan generasi penenun berbakat tidak terputus.”

​Setiap kata ‘luka lama’ dan ‘pertunangan batal’ terasa seperti tusukan jarum ke tempat yang sama. Luka itu, yang ia kira sudah tertutup lapisan sutra, ternyata masih berdarah. Ia merasakan pandangan iba dan menghakimi dari warga desa. Mereka semua tahu ceritanya—aibnya, kegagalan cintanya.

​“Perihal pernikahan adalah hak pribadi saya, Kepala Desa,” ucap Mei Lan, berusaha agar suaranya terdengar datar. “Saya akan menikah ketika saya menemukan orang yang tepat.”

​“Orang yang tepat?” Kepala Desa Liang menyeringai. “Mei Lan, di desa ini, kita tidak mencari ‘cinta yang tepat.’ Kita mencari ‘kedudukan yang tepat.’ Putra Cheng adalah kedudukan. Cinta? Itu hanya dongeng di kitab usang. Pikirkan lagi. Aku akan memberinya jawaban positif saat malam Festival nanti.”

​Dengan anggukan singkat dan tanpa menunggu jawaban, Kepala Desa Liang berbalik, meninggalkan Mei Lan berdiri sendiri dengan bara api di dadanya. Adat desa ini, yang selama ini ia junjung, kini terasa seperti tali yang mencekiknya. Ia merasa rapuh, seolah-olah seluruh dirinya dihakimi oleh tatapan orang-orang.

​Ia melihat Shan Bo, sahabat masa kecilnya, berdiri di sudut pasar, memandanginya dengan sorot mata campur aduk—iba, marah pada Kepala Desa Liang, dan juga semacam kepemilikan. Shan Bo selalu menjadi satu-satunya orang yang membelanya sejak insiden tiga tahun lalu. Namun, rasa kepemilikan itu justru membuat Mei Lan semakin ingin lari. Ia tahu, Shan Bo menunggunya, berharap ia akan mencari tempat berlindung di sisinya. Tapi Mei Lan tidak bisa. Shan Bo terlalu akrab. Shan Bo terlalu aman. Dan Mei Lan tidak mau menjadi milik siapa pun yang merasa berhak atas dirinya.

​Mei Lan tidak kembali ke ruangan penenunannya. Ia melangkah menjauh dari keramaian, melewati barisan rumah kayu yang berderet di sepanjang jalan desa. Setiap rumah memancarkan bau uniknya: rumah Nona Yuhe beraroma dupa cendana, rumah pembuat arak berbau manis asam fermentasi, dan rumahnya sendiri berbau bersih seperti benang sutra mentah.

​Langkahnya membawanya ke arah tepi desa, menuju area yang jarang dilalui. Area ini berbatasan langsung dengan hutan bambu yang lebat. Di antara batang bambu yang menjulang dan berayun pelan ditiup angin, terdapat rumah bekas gudang padi. Rumah itu sudah lama kosong. Dindingnya menghitam karena lumut dan usia, jendelanya berdebu, dan atapnya dipenuhi sarang burung.

​Orang-orang desa Awan Jingga jarang berani mendekat. Ada bisik-bisik, terutama dari para tetua, bahwa gudang padi itu menyimpan kenangan buruk. Ia ditinggalkan tak terurus setelah pemilik terakhirnya meninggal secara misterius. Tempat itu dianggap sial.

​Mei Lan berhenti tepat di perbatasan antara sawah yang baru dipanen dan hutan bambu yang mulai diselimuti kabut tipis sisa embun. Ia mendongak, merasakan angin lembut membelai wajahnya. Jantungnya masih berdegup cepat karena amarah yang tertahan. Ia benci menjadi objek perhatian dan tekanan. Ia hanya ingin menenun, dan melupakan.

​Saat itulah, siluet itu tertangkap oleh matanya.

​Di ambang pintu gudang padi yang terbuka separuh, berdiri seorang pria.

​Sosoknya tinggi, tegap, berbeda dengan postur tubuh para petani di desa. Pria itu memakai pakaian gelap sederhana, dengan jubah yang disampirkan longgar. Ia tidak melakukan apa-apa; ia hanya berdiri di sana, diam seperti patung batu, memandang ke kejauhan, ke arah Gunung Tujuh Bintang yang baru saja bermandikan cahaya matahari.

​Pria asing.

​Desa Awan Jingga hampir tidak pernah menerima tamu, apalagi yang menetap. Seorang pria asing yang tinggal di Gudang Padi Terkutuk adalah anomali yang harusnya menjadi bahan gosip utama, tetapi Mei Lan belum pernah mendengar siapa pun menyebutnya. Ini berarti kedatangannya sangat baru, atau sangat rahasia.

​Mei Lan merasakan sesuatu yang dingin dan menarik dalam diri pria itu, seperti air sungai yang dalam dan sunyi. Ia memancarkan aura ketegasan, bahkan dari jarak puluhan meter, dan sikapnya yang dingin—tidak mempedulikan, tidak ingin dilihat—justru menarik perhatian Mei Lan.

​Ia tampak seperti seorang prajurit, atau mungkin pengawal, yang lelah. Tangan yang ia sandarkan di tiang gudang terlihat besar dan kokoh, dengan urat-urat yang menonjol. Namun, di balik kekokohan itu, Mei Lan bisa merasakan lapisan kesendirian yang setebal kabut di sawah. Pria itu membawa sunyi yang sama seperti dirinya. Sunyi yang diolah dari rasa kehilangan.

​Jian. Rho Jian. Nama itu berputar di benak Mei Lan. Entah dari mana ia tahu nama itu, tapi nama itu terasa tepat, terdengar berat dan asing di telinganya.

​Mei Lan terpaku, tidak berani bergerak, takut merusak momen yang terasa sangat pribadi dan tenang itu. Ia membiarkan tatapannya berlama-lama pada siluet itu, lupa akan Kepala Desa Liang, lupa akan pertunangan yang batal, lupa akan semua tuntutan. Untuk sesaat, hanya ada dia, embun yang menguap, hutan bambu yang berayun, dan pria asing yang berdiri di ambang gudang padi.

​Sesaat sebelum Mei Lan memutuskan untuk berbalik, seolah merasakan ada mata yang mengawasi, pria itu perlahan menoleh. Gerakannya tenang, namun matanya setajam elang, langsung menemukan Mei Lan yang berdiri di batas sawah.

​Tatapan mereka bertemu.

​Mata pria itu berwarna cokelat gelap, memancarkan kedinginan dan sedikit kelelahan, dan di sana, Mei Lan melihat kilasan sesuatu yang tersembunyi—sebuah rahasia gelap yang dikubur jauh di bawah permukaan. Itu adalah tatapan pertama yang singkat, tanpa ekspresi, tetapi meninggalkan jejak yang sangat panjang dalam ingatan Mei Lan.

​Pria itu tidak tersenyum, tidak mengangguk, dan tidak menunjukkan emosi apa pun. Setelah menatapnya sesaat, ia kembali memalingkan wajahnya ke arah matahari. Itu adalah penolakan yang halus, sebuah batas yang ditarik secara implisit.

​Mei Lan merasa pipinya memanas, ketahuan mengamati. Ia berbalik dengan cepat, jantungnya berdebar kencang—bukan karena takut, melainkan karena rasa penasaran yang baru bersemi.

​Sosok asing itu telah datang. Dan Desa Awan Jingga, yang damai dan teratur, sepertinya tidak akan pernah sama lagi. Mei Lan kembali ke desa, membawa bukan hanya beban tuntutan adat, tetapi juga bayangan seorang pria yang memancarkan bahaya dan kesepian. Pria dari hutan bambu itu.

1
Rustina Mulyawati
Bagus ceritanya... 👍 Saling suport yuk!
marmota_FEBB
Ga tahan nih, thor. Endingnya bikin kecut ati 😭.
Kyoya Hibari
Endingnya puas. 🎉
Curtis
Makin ngerti hidup. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!