"Kehilangan terbesar adalah kehilangan yang terjadi lagi setelah kehilangan yang sebelumnya. Karena itu menandakan kita selalu kehilangan lagi, lagi dan lagi."
Season : I ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
“Kamu udah nyerah satu tahun yang lalu!” gertak Ernest.
“Itu dulu, sekarang beda!” Kakiku pun mengetuk lantai, dan kami berdiri saling berhadapan.
“Terserah! Aku enggak mau harga diriku kamu injak-injak!”
“Kamu masih sayang sama aku kan, Ernest?”
Dia enggak berkedip sedikitpun. “Tandatangani aja suratnya, Lavinia!!!”
“Gimana kalau kita buat kesepakatan?”
“Enggak ada kesepakatan. Tandatangani!!”
“Mama kasih aku dua bulan di sini. Aku janji, dua bulan lagi ... apa pun yang terjadi ... mau ingatan aku pulih atau enggak ... kalau kamu masih pingin cerai, aku bakal tandatangani! Tapi please ba—”
“Udah, lah!! Aku jemput kamu jam sembilan, Sabtu pagi!” dengusnya sambil membanting pintu.
Aku ambil surat cerai itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Aku enggak akan tanda tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Kamar Pribadi Ernest
Sepuluh tahun lalu ....
Joshepine sama Hugo sedang pergi. Tentu saja kita boleh ada di kamarnya, asal pintunya terbuka. Tapi karena orang tuanya enggak di rumah, Ernest menutup pintu, dan kita rebahan di ranjang.
Dia balik badan menghadapku, tangannya masuk ke bawah bajuku, menyentuh kulitku dengan tangannya yang lembut.
“Katanya kamu calon bintang sepak bola, ya?” tanyaku sambil baca lagi artikelnya.
Dia ambil artikelnya dari tanganku, menaruhnya di samping kasur. “Lupain aja itu. Kan, kita mau pindah ke Seven Hills.” Terus dia membenamkan mukanya di leherku, tangannya makin naik ke dadaku.
“Kira-kira, sepuluh tahun lagi kamu bakal benci aku, enggak, ya?” Aku balik badan menghindarinya, dan dia malah menarik tubuhku lebih dekat ke dia.
Dia cium ujung hidungku. “Kita, kan udah ngomongin ini berulang kali, Lavinia.”
“Aku enggak bisa kalau kamu sampai benci aku. Aku enggak mau.”
“Tenang aja. Selama aku punya kamu, aku bakalan happy.” Dia cium bibirku, tapi aku buru-buru menghentikannya.
“Kamu yakin?”
“Yakin ... Dan sekarang kita tinggal punya lima puluh lima menit sebelum Papa-Mama pulang.” Tangannya turun ke belakang punggungku, membuka kaitan Bra. “Ups.”
“Gimana kalau Calla atau yang lainnya tahu?”
“Enggak bakalan. Orang aku doang yang ada di rumah. Dan karena kamu baik banget udah bawain foto kita, jadi udah kewajiban aku sebagai perwakilan keluarga Sastrowardoyo buat berterima kasih dengan cara yang benar.” Bibirnya menemukan tulang selangkaku, dan untuk sesaat aku hilang dalam sentuhannya.
“Emang gitu ya, cara ngucapin terima kasih keluarga Sastrowardoyo, humm, aneh?”
Dia tertawa di kulitku saat dia turun ke arah dadaku. “Khusus orang-orang spesial aja.” Dia mengintip lewat bulu matanya. “Dan kamu yang paling spesial.”
Sial, ini tangan si Ernest mulai deh, menempel di pahaku.
Oke, enggak apa-apa lah dia memegang paha, asal enggak macam-macam. Tapi, makin lama aku makin kesal. Tangan dia lama-lama naik dan masuk kedalam rokku.
Sebenarnya sudah biasa sih, Ernest memasukkan tangannya kedalam rokku, soalnya dia suka memasang muka melas dari dulu, ketika dia minta HS, tapi aku enggak pernah kasih. Iya, kalau mau cari tahu sedikit apa yang ada di balik rokku, aku izinin, sih.
"Please, jangan sekarang Ernest," gumamku pelan. Tangannya mulai bermain di dalam rokku, dia mulai menggesek-gesek bagian depan celana dalamku yang menyembul ketat dengan jarinya, "Ahhhhh, Ernest pleease!"
Dia makin menekan bagian depan celana dalamku sampai garis rahim yang ada di balik celana dalam pun makin terdesak.
“Ernest, ahhhhh bisa gak kita ngobrol aja?” pintaku.
“ini, kan kita lagi ngobrol, Lavinia!”
Sial.
Ernest pun menciumku, dia melumat bibirku dan lidahnya mulai menyentuh langit-langit mulutku. Celakanya, celana dalamku mulai basah. Itu artinya semua hal bisa saja terjadi dalam waktu dekat ini.
Aku pun berusaha menolaknya secara halus dengan menangkis lembut tangan Ernest yang memainkan bagian dalam rokku, tapi Ernest malah semakin gencar menggesek celana dalamku bahkan ditekan-tekannya, akhirnya makin banjir lah celana dalamku.
"Ernest pleeease, ada adikmu nanti gimana kalau ketahuan?"
Celana dalamku semakin basah. Sebenarnya aku lagi enggak mood, tubuhku pun semakin mengejang. Karena kesal aku harus hentikan Ernest, maka kutarik tangannya keluar secara paksa. Dan akhirnya, dia berhenti juga.
“Eh kenapa Lavinia? Kok gitu?”
“Enggak apa-apa, aku cuma lagi enggak mau aja.”
“Ya udah, deh … kalau gitu mainin titid aku aja ya? please.”
Dasar monyet.
Ya, sudah, lah. Dari pada dia main-main sama isi celana dalamku.
Ernest pun mengeluarkan titidnya. Aku enggak tahu besar apa kecil, ya?
Tapi, sih sepertinya standart. Secara, aku juga belum pernah melihat titid sebelumnya selain punya Ernest ini. Dan saat aku menyentuhnya, ini di luar ekspektasiku. Dengan cepat, aku pun meremas batang Ernest yang sudah menegang dan kupijat ujungnya.
Enggak lama, akhirnya dia keluar juga, "Ohhh, lega deh!"
Berengsek.
Dia buang benihnya di wajahku. " Ernest!!! Jorok, ih, dasar otak udang!" pekikku.
“lho kok marah-marah, sih!”
“Tahu, ah!”
Akhirnya aku pun menangis, sambil membersihkan benih Ernest yang menempel di dahiku.
Sekarang ....
Tiba-tiba ada ketukan di pintu yang membuyarkan kenanganku. Aku buru-buru memasukkan semuanya ke dalam kotak, bangun dari ranjang, dan buka pintu pelan-pelan.
“Cuma mau lihat kamu udah bangun apa belum.” Ernest muncul pakai celana pendek dan kaos yang membentuk otot dada sama lengannya. “Mau aku bikinin telur? Soalnya sekarang kamu doyan, kan?”
“Boleh.”
Aku buka pintu lebih lebar dan dia menengok ke dalam, senyumnya berubah menjadi ekspresi heran. “Kelihatannya kamu udah nemuin kotak-kotaknya, ya?”
“Iya, lah. Makasih.”
Harusnya, sih aku bilang ke dia kalau satu kotak itu berhasil kembalikan kenangan di kepalaku, tapi aku simpan sendiri dulu. Rasanya, seperti aku ini sedang menyiksa dia pelan-pelan, membuatnya harus mengingat-ingat masa lalu kita, yang pada akhirnya justru aku yang memutuskan untuk meninggalkannya.
Jadi, daripada bercerita yang sebenarnya, aku cuma senyum dan mengikuti dia ke dapur. Aku bantu dia masak telur. Kayaknya, sih ini pertama kalinya. Karena aku masih belum mengerti, apa aku yang dulu sering melakukan ini. Tapi jujur, sekarang, aku suka masak bareng Ernest. Apalagi saat aku jadi sok jago dan coba pecahkan telor langsung di atas wajan, tapi malah yang masuk wajan justru kulit telornya daripada isinya. Dan itu bikin dia tertawa.
Ernest itu punya tawa yang enak banget didengarkan. Semoga dulu aku pernah menikmati itu, seindah sekarang.
lanjut kak