novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Retakan di Jantung Dimensi Air
Suara raksasa itu bergema, mengguncang seluruh lorong dimensi. Setiap getarannya membuat dinding aliran biru bergetar seperti permukaan air yang tertiup badai. Cai berdiri terpaku, tubuhnya otot demi otot menegang. Sena merasakan hawa dingin menembus hingga tulang, berbeda dari dingin Dimensi Air biasa—ini dingin yang berasal dari kesadaran yang hancur.
“Cai…” Sena berbisik tanpa sadar. “Itu… apa yang kamu bilang benar-benar inti dimensi ini?”
Cai hanya mengangguk. Matanya tak berkedip, suaranya hampir tak keluar.
“Inti Kesadaran Air… tidak seharusnya bisa mengambil bentuk. Selama ribuan tahun, ia hanyalah seperti cahaya, atau gema. Bukan… makhluk seperti ini.”
Raksasa itu menunduk, retakan pada wajahnya seperti garis perak yang menyala dan meredup bergantian. Gerakannya lambat dan tampak menyakitkan, seolah setiap kali ia merendahkan tubuh, ia terancam pecah menjadi serpihan.
“CAI… KETURUNAN AIR BENING…”
“KAU DATANG…”
Cai melangkah satu langkah maju, tetapi Sena cepat meraih lengannya.
“Jangan terlalu dekat. Dia tidak stabil.”
Dan Cai tahu itu. Tapi rasa panggilan kuat dari inti itu menembus seperti arus listrik di tubuhnya.
“Aku harus bicara dengannya.”
Sena menggigit bibir, tapi melepaskan genggaman. “Aku di belakangmu.”
Cai melangkah ke depan. Setiap langkah terasa menyatu dengan air yang mengalir di lantai, seolah dinding-dinding itu bereaksi terhadap keberadaannya. Ketika ia sudah cukup dekat, raksasa itu mengubah posisinya sedikit.
Retakan di wajahnya mengeluarkan cahaya biru putih yang menyilaukan.
“DIMENSI AIR… SEDANG SEKARAT…”
Cai terpaku.
“Bagaimana bisa?” Ia menahan napas. “Apa hubungannya dengan serangan Api Merah? Atau… apakah ini sudah terjadi sebelum itu?”
Inti itu mengeluarkan suara rendah, seperti gemuruh dari bawah dasar laut.
“RETakan DIMULAI… SEBELUM API MERAH…”
“RETakan DATANG DARI DALAM…”
Cai merasakan dadanya nyeri mendengar kalimat itu.
“Dari dalam…? Dari siapa?”
Suasana mendadak gelap. Cahaya biru di lorong meredup. Lalu inti itu mengangkat tangan raksasanya, memperlihatkan telapak yang dipenuhi retakan bergerigi.
“AIR MELAWAN AIR…”
“KELOMPOK BIRU… KELAHIRAN DALAM…”
“BENING… MERAH… GELAP…”
“MEREKA TIDAK PERNAH SATU.”
Cai menunduk, tersengal.
“Jadi… perpecahan kita sendiri yang membuat inti melemah?”
“YA…”
Sena yang sejak tadi diam, akhirnya maju.
“Tunggu. Kalau inti dimensi ini melemah karena konflik internal… apa itu berarti apa yang terjadi pada Dimensi Api juga…?”
Cai menoleh cepat. “Kamu berpikir… inti kalian juga retak?”
Sena menatap tangan kirinya yang masih bergetar sedikit karena bekas Api Sunyi.
“Jika Api Merah menjadi semakin liar, jika Bara Lembut dan kelompok lain saling memfitnah… ya. Itu sangat mungkin.”
Cai menyadari sesuatu sekaligus.
Persamaan.
Penyebab.
Perasaan bahwa dua dunia yang tampak bertentangan sebenarnya sedang menghadapi krisis yang sama.
Sebelum mereka sempat melanjutkan percakapan, raksasa itu bergerak, mengulurkan tangan raksasanya yang penuh retakan.
“CAI…”
“KETURUNAN AIR BENING…”
“KAU… HARUS MEMPERBAIKI RETAKAN INI…”
Cai menelan ludah. “Bagaimana caranya?”
Inti itu ragu sejenak. Retakan di pipinya bergetar.
“KUNCI ADA… DI TEMPAT YANG DISEGEL…”
“RUANG PALING DALAM…”
“DI MANA AIR MENJADI TENANG SEBELUM KELAHIRAN DIMENSI…”
Cai menegang.
“Aku pernah mendengar legenda itu… Ruang Awal. Tapi itu hanya cerita kuno!”
“RUANG ITU… NYATA.”
Sena maju setengah langkah. “Kalau begitu tunjukkan jalannya.”
Tapi inti itu mendadak menggigil keras. Retakan di tubuhnya menyala hebat, memancarkan pecahan cahaya ke segala arah.
Sena menarik Cai ke belakang tepat sebelum sepotongan serpihan energi pecah dan menghantam dinding, membuat gelombang air melimpah.
“Dia—!” Sena memeluk tubuh Cai agar tidak terlempar. “Dia tidak stabil! Apa dia akan—”
“PERGI…”
“PERGI SEGERA…”
“RETakan INI… MELEDAK…”
Cai menatap dengan mata melebar. “Tidak! Aku tidak bisa meninggalkanmu seperti ini!”
Raksasa itu menggeleng. Suara yang keluar lebih pelan, seperti gumaman yang dipaksa keluar dari kesadaran retak.
“AKU SUDAH TIDAK UTUH…”
“TUGASKU… HANYA MEMBERI PERINGATAN…”
“YANG BISA MENYELAMATKAN DIMENSI… HANYA KAU…”
Sena menarik Cai lebih kuat. “Cai! Kita harus pergi! Sekarang!”
Namun Cai masih menatap inti itu.
“Jika kau meledak… dimensi ini—”
“MELEDaK-Nya BUKAN KEMATIAN…”
“NAMUN PERINGATAN… KE FREEZE-NYA WAKTU SEBENTAR…”
“AKU… TIDAK AKAN MENGHANCURKAN ANAK-ANAKKU…”
Cai tersentak.
Anak-anak?
Berarti seluruh makhluk air… dianggap anak oleh inti ini?
Sena meraih tangannya. “Cai, kita tidak punya waktu!”
Cai akhirnya mengangguk cepat.
“Aku akan kembali! Aku janji!”
Inti itu tersenyum samar—retakan di bibirnya mengeluarkan cahaya lembut.
“JANJI… DITERIMA…”
---
Sena dan Cai berlari menembus lorong, melompat melewati aliran air yang pecah. Suara getaran di belakang mereka semakin kuat, seolah dunia itu sendiri sedang menahan napas terakhir. Pusaran cahaya biru di ujung lorong membesar.
“Portalnya membesar!” teriak Sena.
“Mungkin karena energi inti yang tidak stabil!” balas Cai. “Lari!”
Mereka menerobos portal tepat saat gelombang energi meledak. Cahaya biru memancar seperti ledakan bintang mini, namun pada detik terakhir, gelombang itu membeku—membentuk kristal air menggantung di udara, berhenti total, seolah waktu membeku.
Sena dan Cai terlempar ke platform datar di luar lorong, terbatuk keras.
Sena mengangkat kepala lebih dulu. “Cai… kamu tidak apa-apa?”
Cai mengangguk lemah. “Iya… kita selamat.”
Mereka berdua memandang ke arah portal yang kini mengecil perlahan, seperti tirai air yang menutup kembali.
Cai menggenggam tangannya erat.
“Kita harus pergi ke Ruang Awal.”
Sena menatapnya, mata merahnya penuh keyakinan. “Dan apa pun yang menunggu di sana… kita hadapi bersama.”
Cai mengangguk.
Namun saat mereka hendak bergerak, suara lembut tiba-tiba bergema tepat di belakang mereka.
“Dan kau pikir akan mudah menuju ke Ruang Awal?”
Mereka berdua membalik badan cepat.
Dari kegelapan lorong muncul sosok perempuan dari air pekat, lebih gelap daripada air mana pun yang pernah Cai lihat. Mata perempuan itu berwarna perak tajam.
Cai menegang. “Kau… dari Dimensi Air Gelap.”
Perempuan itu tersenyum tipis.
“Benar. Dan kau, Cai… terlalu berani membawa unsur api bersamamu ke jantung dimensi ini.”
Sena berdiri di depan Cai, api samar menyala di telapak tangannya.
“Jika kau ingin menyerang, datang saja.”
Perempuan itu mengangkat tangan, mengalirkan air hitam pekat di sekelilingnya seperti selendang.
“Serang? Tidak.”
Ia tersenyum lebih lebar.
“Aku datang untuk sesuatu yang jauh lebih penting.”
Cai meneguk napas. “Apa itu?”
Perempuan itu menatap mereka dengan mata perak yang tak berkedip.
“Untuk membawa kalian ke pengadilan Dimensi Air.”
“Atas tuduhan: membuka retakan dimensi… dan menyatukan diri dengan Api.”
Cai dan Sena saling pandang.
Dan bab ini berakhir tepat ketika air gelap mulai menyelimuti tempat pijak mereka—membentuk ruang baru yang mengurung.