Zona Khusus Dewasa
Adriel (28), sosok CEO yang dikenal dingin dan kejam. Dia tidak bisa melupakan mendiang istrinya bernama Drasha yang meninggal 10 tahun silam.
Ruby Rose (25), seorang wanita cantik yang bekerja sebagai jurnalis di media swasta ternama untuk menutupi identitas aslinya sebagai assassin.
Keduanya tidak sengaja bertemu saat Adriel ingin merayakan ulang tahun Drasha di sebuah sky lounge hotel.
Adriel terkejut melihat sosok Ruby Rose sangat mirip dengan Drasha. Wajah, aura bahkan iris honey amber khas mendiang istrinya ada pada wanita itu.
Ruby Rose tak kalah terkejut karena dia pertama kali merasakan debaran asing di dadanya saat berada di dekat Adriel.
Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 ACICD - Urusan Kecil
Adriel berjalan menyusuri lorong bawah tanah yang dingin, lembap dan berbau besi tua. Lampu-lampu kuning redup menggantung rendah, membentuk bayangan panjang di belakang langkahnya yang teratur dan tanpa suara. Kemeja pria itu digulung sampai siku, memperlihatkan lengan yang tegang dan urat yang menonjol setiap kali jarinya mengepal pelan. Wajahnya tanpa emosi. Dingin, tajam, nyaris mematikan.
Di depan sebuah pintu baja tebal, sembilan pria berpakaian serba hitam langsung menunduk serempak ketika Adriel mendekat. Salah satu di antara mereka ada Hougan.
"Selamat datang, Tuan Muda," ucap pria botak dengan satu anting di telinga.
Adriel hanya menggerakkan dagunya sedikit.
"Pengkhianat yang menjual data perusahaan itu ada di dalam, Pak," bisik Hougan.
"Hm," sahut Adriel singkat lalu melirik tajam. "Segera urus pertemuan saya dengan detektif Handri."
Hougan menunduk sekilas. "Baik, Pak."
Selanjutnya, Hougan memasukkan kode dan memutar kunci manual untuk membuka pintu baja yang menyingkap ruangan remang. Aroma darah samar langsung menyergap.
Adriel melangkahkan sepatunya masuk.
Di sana, terlihat seorang pria berlutut di lantai, tubuhnya penuh luka memar dan goresan. Tangannya terikat di atas kepala, ditarik oleh rantai yang menancap ke langit-langit. Kepalanya menunduk dan darah menetes dari pelipisnya.
Begitu mendengar langkah Adriel, pria itu mengangkat wajahnya sedikit. Matanya memancarkan ketakutan.
"P… Pak–"
Satu tatapan dingin dari Adriel langsung membungkamnya. Tatapan yang menusuk seolah menembus sampai ke tengkorak.
Adriel lalu berhenti tepat di depannya.
Dia merapikan ujung kemejanya sedikit… lalu tanpa peringatan, tinju kanannya melayang.
BUGH!
Pukulan keras tersebut membuat kepala pria itu terhempas ke samping, darah memercik ke lantai.
Pria itu terengah, tapi Adriel tidak memberi jeda. Dia meraih kerah tahanan itu, menariknya ke atas dengan satu tangan hingga tubuh babak belur itu setengah terangkat dari lantai.
"Kamu pikir bisa kabur dari saya?" suaranya rendah, tenang, namun lebih mengancam daripada teriakan manapun.
Pria itu bergetar, mencoba bicara, tapi Adriel menghantamkan pukulan telak ke ulu hatinya.
"Enggrrhhhhh!"
"Uhuk!"
"Uhuk!"
Tubuh itu terlipat, batuk darah, namun Adriel tidak bergeser bahkan setengah langkah.
"S-sa-ya… mo –,"
"Pengkhianat seperti kamu tidak pantas bicara," ucapnya datar. Adriel lalu melepas genggamannya sehingga pria itu jatuh berlutut keras ke lantai.
Sang CEO menunduk sedikit, menatap dari atas dengan dingin tidak berperasaan, seperti memandang sampah.
"Sekarang," katanya pelan, "ayo mulai dari awal."
"P… Pak… jangan… s-aya minta am-pun…"
Lorong di luar bergema ketika Hougan menutup pintu baja dengan bunyi klang yang berat. Laki-laki muda itu hanya mengembuskan napas panjang.
"Harusnya dia tidak bermain-main dengan Pak Adriel," gumam Hougan. Laki-laki muda itu segera melangkah menjauh untuk melaksanakan tugas selanjutnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di tempat lain pada momen yang sama, Ruby berjalan mendekat ke pintu masuk ke sebuah club eksklusif. Rambut hitam palsu yang dia kenakan berkilau di bawah lampu-lampu emas. Dress hitam elegannya pas di badan dan tidak terlalu mencolok untuk dicurigai. Dari luar, Ruby tampak seperti sosialita muda biasa yang ingin menikmati malam.
Namun yang akan masuk ke dalam club ini sebenarnya bukan tamu, melainkan seorang assassin yang membawa misi untuk mengeksekusi seorang kepala bandar narkoba bernama Dante Castellano.
Sebelum tiba, Ruby sudah mengubah wajahnya. Menggunakan foundation tinggi menajamkan rahang, contour mengubah tulang pipinya, dan silikon tipis di bawah kulit alis sedikit untuk menaikkan bentuk mata. Makanya Ruby terlihat seperti orang yang sama sekali berbeda. Tidak akan ada yang mengenali wajah asli Ruby.
Dia juga menempelkan mole kecil palsu di dekat bibirnya dan mengenakan softlens warna abu-abu terang.
Dua penjaga berbadan besar berdiri di depan pintu club. Mereka hanya melihat wanita cantik modis dengan aura mempesona. Keduanya lalu memeriksa dengan metal detector portable.
Tidak ada bunyi.
Tentu saja.
Senjata yang Ruby bawa belum dirakit, masih tercerai-berai. Barrel di dalam tabung maskara panjang, slide disembunyikan dalam casing powerbank, pegas disamarkan dalam sisir logam, peluru subsonic berada dalam tabung lip tint, dibalut kain lembut.
Semua tampak seperti alat makeup biasa dari seorang wanita.
Penjaga tersenyum kecil. "Silakan masuk, Miss Aurelie," katanya menyebut identitas palsu yang Ruby pakai. Wanita cantik itu membalas dengan senyum tipis dengan wajah elegan yang telah dia rancang.
Begitu langkah lembut high heels Ruby memasuki ruangan, aroma parfum premium, kilauan lampu dan dentuman bass halus menyambutnya.
Mata tajam Ruby memindai sekitar dalam hitungan detik. Letak CCTV, jarak ke tangga staf, pola bodyguard yang patroli, lokasi ruang VIP target dan pintu emergency paling dekat.
Semua dipetakan dalam kepala wanita cantik itu tanpa terlihat mencurigakan. Dia berjalan anggun menuju bar, seolah hanya sedang mencari minuman.
Namun tangan kirinya sudah menggeser rambut ke belakang telinga, memberi sinyal kecil pada earbud mikro.
"Saya sudah masuk."
Tidak ada yang melihat bahunya menegang sesaat. Momen kecil ketika Ruby beralih dari identitas palsunya menjadi mesin pembunuh yang dingin.
Begitu bartender menoleh, Ruby tersenyum ramah, menyembunyikan niat mematikan di balik pesona seorang wanita cantik yang tampak sedang menikmati malam di club ini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sekitar 45 menit kemudian, Hougan tiba di sebuah club eksklusif tempat yang sama dengan misi Ruby kali ini. Prime Twenty Two.
Jas hitamnya jatuh rapi tanpa satu lipatan pun. Ekspresinya tenang, profesional dan sulit dibaca. Begitu melewati pintu masuk utama, lampu-lampu neon lembut memantul di bola mata cokelat gelap Hougan.
Seorang detektif sudah menunggu tidak jauh dari bar. Dia tidak mengenakan seragam. Hanya kemeja gelap, jaket tipis, dan celana hitam agar tidak mencolok di tengah kerumunan pengunjung yang datang dengan berbagai motif.
Tanpa basa-basi, Hougan mendekat dan memberi anggukan singkat.
"Pak Handri, mari. Kita masuk lewat jalur khusus," ucapnya dengan nada datar yang tetap sopan.
Detektif Handri bangkit. Mereka berjalan berdampingan melewati kerumunan tanpa menarik perhatian. Di dinding samping, terdapat pintu besi berwarna gelap. Tanpa tanda, tanpa penjaga mencolok, hanya panel kecil yang memindai identitas.
Hougan menempelkan kartu aksesnya. Ketika bunyi klik halus terdengar, pintu pun terbuka.
Begitu masuk, suasana berubah drastis. Terdapat koridor khusus yang lebih tenang, berkarpet tebal dan diterangi lampu hangat. Musik dari ruang utama memudar hingga tinggal getaran samar.
Seorang staf berpenampilan rapi sudah menunggu di dalam.
"Selamat malam, Tuan. Ruangan VVIP sudah dipersiapkan," katanya sambil sedikit menunduk.
Hougan hanya mengangguk lalu staf itu memimpin mereka menyusuri koridor privat yang jarang dilewati, melewati beberapa pintu berlabel private access. Detektif Handri menelan saliva, meski udara terasa lebih steril di area ini, tapi dia gugup.
"Pak Adriel sengaja memilih tempat seperti ini untuk pertemuannya dengan Anda supaya tidak menimbulkan kecurigaan," celetuk Hougan santai.
"Oh, yaa, saya mengerti," sahut detektif Handri.
Tak lama kemudian, akhirnya mereka sampai di depan sebuah pintu hitam setelah menaiki lift. Ada plat kecil berukir tanda VVIP di depan pintu. Staf tersebut membukanya dengan hormat.
"Silakan, Pak Handri. Pak Adriel akan segera menyusul. Beliau sedang ada urusan kecil yang harus diselesaikan terlebih dahulu," ujar Hougan. Tersenyum tipis.