NovelToon NovelToon
Lucid Dream

Lucid Dream

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Nikah Kontrak / Beda Usia / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers
Popularitas:457
Nilai: 5
Nama Author: Sunny Rush

Sebuah kumpulan cerpen yang lahir dari batas antara mimpi dan kenyataan. Dari kisah romantis, misteri yang menggantung, hingga fantasi yang melayang, setiap cerita adalah langkah di dunia di mana imajinasi menjadi nyata dan kata-kata menari di antara tidur dan sadar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cerita Kita

“Akhirnya, kita keluar dari zona stres!” teriak Reyna sambil mengangkat gelas minumnya tinggi-tinggi.

“Ya, dan bentar lagi gue akan menikah dengan Gilang!” sahut Melisa antusias, wajahnya berbinar bahagia.

Suasana sore itu terasa hangat. Mereka bertiga duduk di taman belakang rumah Gilang yang penuh bunga, ditemani cahaya matahari yang mulai condong ke barat.

“Kenapa kalian teriak-teriak kayak habis juara lomba karaoke?” tanya Gilang yang datang membawa nampan berisi minuman dan camilan.

“Biasa, calon istrimu!” jawab Nina santai sambil menyandarkan tubuh di kursi taman.

“Kenapa, sayang?” tanya Gilang menatap Melisa lembut.

“Pengen cepet nikah!” balas Melisa memeluk Gilang dari samping, matanya berbinar seperti anak kecil.

“Belum tahu rumah tangga itu kayak apa, udah pengen cepet nikah aja,” sindir Reyna tertawa.

“Emang lo sama Aldo gak ada niatan?” tanya Melisa.

“Nanti. Gue mau menikmati kehidupan dulu,” jawab Reyna santai sambil menyeruput jusnya.

Nina hanya tersenyum, matanya menatap mereka satu per satu. Hatinya hangat — bahagia melihat sahabat-sahabatnya akhirnya menemukan pasangan yang mereka cintai.

Gilang?

Hubungannya dengan Gilang sudah lama mereda. Mereka masih berteman, masih saling sapa, tapi tidak ada lagi dekat seperti dulu.

Dan Bastian…

Entah kapan dia akan pulang, seharusnya tahun ini dia sudah lulus. Dengan otaknya yang jenius, bahkan bisa saja dia jadi dosen di sana. Tapi tak ada kabar.

“Kenapa, Nin?” tanya Reyna melihat Nina melamun.

“Enggak kenapa-napa,” jawab Nina cepat, pura-pura tersenyum.

Tapi dalam hati, ia tahu dirinya masih menunggu.

Menunggu seseorang yang mungkin lupa, atau mungkin sedang berjuang menepati janji.

Tiba-tiba, suara mikrofon memecah suasana:

“Nina, pulang! Ada yang melamar kamu!”

Itu suara ibunya. Dan parahnya, dari mic karaoke!

“Ishhh, punya ibu bikin malu aja,” desis Nina menutup wajahnya.

“Siapa yang melamar, Nin?” tanya Melisa dengan mata membesar.

“Gak tahu, lagian kenapa harus diumumin segala,” keluh Nina, bangkit dengan langkah berat menuju rumah.

Begitu sampai, ibunya sudah berdiri di ruang tamu dengan senyum lebar, seperti juri ajang pencarian bakat.

“Ibu, aku udah bilang belum siap nikah,” ujar Nina menahan malu.

“Tapi kamu belum lihat orangnya, tampan, Nina,” jawab ibunya penuh semangat.

“Ibu…” Nina mendesah panjang.

Ia akhirnya melangkah mendekat dengan wajah cemberut, punggung orang itu masih membelakanginya.

Tapi saat orang itu berdiri dan berbalik…

“Hai, Nina.”

Suara itu.

Nada yang dulu sering terdengar di tengah malam.

Bastian.

Nina langsung terdiam. Matanya membulat, napasnya tercekat.

Bastian berdiri di depannya lebih dewasa, rapi, tapi senyum nakalnya tetap sama.

“Aku mau menepati janjiku untuk menikahimu,” ucap Bastian dengan suara tenang tapi tegas.

Nina spontan berlari dan langsung memeluknya. Tubuhnya bergetar, air matanya mengalir di bahu Bastian.

“Kenapa lama?” tanyanya dengan suara parau.

“Maaf, aku ada urusan dulu yang harus diselesaikan,” jawab Bastian, membalas pelukannya lembut.

“Kenapa gak ngabarin dulu? Ilang selama sebulan. Kamu gak ke-pincut cewek lain, kan?” tanya Nina dengan nada cemburu halus.

Bastian tersenyum, mengusap pipinya. “Gak, sayang. Aku masih sama kamu.”

Ia lalu mencium kening Nina perlahan, membuat Nina terdiam dan tersipu.

“Katanya gak mau, tapi nempel,” sindir ibunya dari sofa sambil nyengir lebar.

“Lah, orang dia pacar aku,” jawab Nina cepat, memeluk Bastian makin erat.

“Ohhh, jadi kalian pacaran jarak jauh?” tanya ibunya penasaran.

“Emang kita pacaran ya?” tanya Nina pelan, padahal tadi dia sendiri yang ngaku.

“Lebih dari pacar,” jawab Bastian tersenyum kecil.

“Ayo kita pergi!” ajak Nina cepat-cepat menarik tangan Bastian keluar sebelum ibunya menambah komentar lagi.

Bastian hanya tertawa. Senyum yang sama seperti dulu, tapi kali ini penuh keyakinan.

Di perjalanan, ia teringat satu malam yang tak pernah bisa dilupakannya malam yang membuatnya bertahan.

Satu tahun setelah ia kuliah di luar negeri, ia menelpon Nina lewat video call.

Tapi Nina sudah hampir tertidur. Suaranya pelan dan ngantuk.

“Nina, kamu tertidur?” tanya Bastian.

“Ya,” jawab Nina lirih.

“Aku siapa?”

“Wonder Woman,” gumam Nina.

Bastian tertawa pelan. “Kenal Bastian?”

“Bastian… pacarku.”

Bastian langsung terdiam. Jantungnya berdebar cepat.

“Nina, kamu suka aku?”

“Ya, kucing orang…” jawab Nina setengah sadar, ngaco tapi jujur.

“Kapan?”

“Waktu masuk SMA.”

Bastian hanya tersenyum, suaranya bergetar menahan haru.

“Mulai hari ini kita jadian ya. Kamu pacarku, aku pacarmu. Jangan dekatin cowok lain.”

“Ya,” jawab Nina setengah tidur.

Malam itu, Bastian menutup panggilan sambil menatap layar, wajah Nina yang tertidur masih terlihat di sana.

Dan sejak saat itu, ia tahu apapun yang terjadi, ia akan kembali.

Kini, Nina duduk di jok motor Bastian, memeluk pinggangnya erat.

“Bas…” panggil Nina lembut.

“Hm?”

“Jangan pergi lagi nya, kalau pergi lagj aku gak mau nungguin kamu lagi

Bastian tertawa keras. “Gak akan Sayang, kemanapun aku pergi kamu harus ikut."

Nina tersenyum, menepuk punggungnya pelan.

“Dasar badboy cengeng…”

Motor itu melaju pelan di bawah langit senja, meninggalkan rumah dan masa lalu mereka.

Untuk pertama kalinya, bukan lagi jarak yang memisahkan, tapi waktu yang akhirnya mempertemukan.

""

Beberapa bulan setelah pernikahan, rumah mungil di ujung kompleks itu selalu ramai tawa.

Pagi-pagi, aroma telur dadar dan kopi hitam memenuhi udara. Tapi kalau dilihat lebih dekat, dapur itu... berantakan luar biasa.

“Bastian! Itu sendok buat ngaduk, bukan buat ngebanting!” seru Nina dengan wajah kesal tapi masih tertawa.

Bastian hanya nyengir sambil memegang spatula yang entah kenapa meleset ke lantai.

“Aku kira ini gaya chef luar negeri, sayang,” jawabnya santai.

Nina menggeleng lemah, mengambil kain lap, lalu menepuk pelan dada Bastian.

“Gaya chef luar negeri kepala kamu. Nih, pegang piring, aku yang masak.”

“Enggak ah, aku bantu. Ini kan momen rumah tangga bahagia,” ucap Bastian sambil memeluknya dari belakang.

Nina berhenti mengaduk, pipinya memerah.

“Bas, panas. Lepas dulu,” ucapnya dengan suara pelan.

“Biarin. Aku takut nanti yang gosong kamu, bukan telurnya,” balas Bastian, menahan tawa.

Akhirnya, telur dadar itu jadi juga meski bentuknya entah seperti benua Afrika yang dipelintir, tapi mereka tertawa puas.

“Cinta itu kayak telur dadar ya,” kata Nina sambil duduk di meja makan kecil.

“Gimana maksudnya?” tanya Bastian sambil menyeruput kopi.

“Kalau dijaga dengan api kecil, matangnya pas. Tapi kalau buru-buru, gosong.”

Bastian terdiam, lalu tersenyum.

“Tapi walau gosong pun, tetap aku makan kalau kamu yang buat.”

Nina menatapnya lama, lalu tertawa kecil. “Gombalanmu makin aneh.”

Siang harinya, mereka beres-beres rumah.

Nina menyapu, Bastian mengepel — atau lebih tepatnya, main air pake ember.

“Bastian! Lantai ngepelnya yang bener ,jangan banyak air."

“Gak papa biar licin, nanti kamu kepleset terus aku tangkap. Romantis, kan?”

Nina sudah mau marah, tapi ujung bibirnya tak bisa menahan senyum.

“Dasar laki-laki absurd!”

“Tapi kamu tetap pilih aku,” jawab Bastian dengan nada menggoda.

Ia mendekat, memeluk Nina dari belakang, lalu menaruh dagunya di pundak istrinya itu.

“Aku cuma pengen bilang, makasih udah sabar sama aku, Nin.”

Nina terdiam, menoleh perlahan.

“Dan aku makasih, kamu gak cuma janji… tapi bener-bener pulang.”

Bastian menatapnya lembut. “Aku pernah bilang kan? Kalau aku bakal balik, buat nikahin kamu. Dan sekarang, aku gak akan pergi lagi.”

Nina tersenyum kecil, matanya berkaca.

Ia menempelkan dahinya di dada Bastian. “Kamu tahu gak? Kadang aku masih mikir, gimana kalau dulu aku gak sabar nunggu?”

“Berarti kamu gak bakal ketemu aku dalam versi terbaikku.”

Hening sebentar.

Lalu Bastian menepuk pelan kepala Nina.

“Udah ah, nanti nangis, lantainya basah lagi.”

Nina tertawa, meninju pelan perutnya. “Cengeng juga boleh asal jangan kabur lagi.”

Bastian mendekat, mencium keningnya lembut.

“Janji. Kali ini, aku pulang untuk selamanya, bukan kabur untuk mencari tempat baru."

Matahari sore masuk lewat jendela kecil dapur, membingkai dua sosok yang kini tertawa, membersihkan kekacauan kecil mereka dengan pelukan dan canda.

Cinta mereka bukan kisah yang sempurna, tapi nyata

tumbuh dari kesalahpahaman, menunggu dengan sabar, lalu pulang dengan pasti.

Dan di rumah kecil penuh tawa itu,

Nina akhirnya sadar bahwa terkadang, lelaki paling menyebalkan di masa lalu,

bisa jadi rumah terbaik untuk masa depannya.

THE END FOR CERITA KITA....

1
Idatul_munar
Tunggu kelanjutan thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!