Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 2.
“Sudah,” jawab Kodasih pelan namun terdengar tegas. “Dan loji ini sudah siap berpindah tangan.”
Ia berjalan keluar dari pintu depan, memegang kunci besi tua yang sudah mulai berkarat. Diikuti oleh Mbok Piyah dan Pak Karto, dengan langkah lemah dan wajah tampak muram..
Angin bertiup pelan, membawa bau kopi dan kemenyan yang hampir padam.
Sebelum menutup pintu, Kodasih berhenti.
“Aku hanya ingin kalian tahu,” katanya, “loji ini pernah menampung lebih dari kenangan penjajah. Ia menampung air mata, cinta, doa, dan pengampunan. Tolong rawat ia seperti itu.”
Guru itu menunduk dalam. Tak ada kata balasan yang pantas.
Kodasih memutar kunci.
Suara klik terdengar nyaring di antara malam yang tenang, seperti gong kecil yang menandai berakhirnya sesuatu.
Ia berjalan meninggalkan loji tanpa menoleh. Kereta kuda sudah siap mengantar Kodasih menuju ke rumah Mbok Piyah dan Pak Karto. Tempat ia berteduh untuk sementara waktu, sebelum ia memiliki tempat yang baru.
Dari pintu belakang loji Pardi dan Sanah berjalan dengan tangan membawa bungkusan kain berisi barang barang. Sedangkan Warastri berlari kecil di depan kedua orang tuanya. Tangan mungil nya membawa lentera kecil, untuk menerangi jalan..
“Mbah Castlo... Aku ikut naik di keleta Nyi...” teriak Warastri sambil terus berlari , takut ditinggal kereta kuda yang akan mengantar mereka pergi dari dari loji.
Pak Sastro kusir tua yang setia sudah duduk di kursi kemudi sambil memegang tali kendali. Diia menatap Warastri sambil mengangguk pelan..
“Sini Nak..” ucap Pardi akan menggendong Warastri diajak duduk di samping Pak Sastro..
“Aku duduk di dalam keleta, cama Nyi... “ suara imut Warastri sambil menatap Nyi Kodasih yang sudah duduk anggun di dalam kereta.
Tangan Kodasih meraih tubuh mungil Warastri lalu dipangkunya.. Lentera kecil masih digenggam erat oleh Warastri.
Cahaya lentera bergetar di antara kabut malam. Dan di belakang mereka, loji berdiri diam, bukan lagi milik siapa pun, hanya milik waktu.
Kereta kuda berguncang perlahan meninggalkan halaman loji. Suara roda kayu beradu dengan batu batu jalan, menimbulkan ritme sendu yang menyertai kepergian mereka. Dari balik kabut malam, siluet loji semakin samar.
Di pangkuan Kodasih, Warastri tertidur dengan lentera kecil masih menyala redup. Api itu bergetar setiap kali angin malam menyusup lewat celah tirai kereta.
“Nyi,” bisik Sanah sambil meraih lentera dari tangan Warastri , “apa Nyi tidak menyesal meninggalkan semua ini?”
Kodasih menatap keluar jendela kecil. Kabut, kebun kopi, dan bayangan masa lalu berbaur menjadi satu warna kelabu.
“Tidak, Nah ,” jawabnya lirih. “Yang pergi bukan tanahnya. Yang pergi hanya nama yang menempel padanya. Rasa cintaku sudah kutanam di sana, dan ia akan tumbuh tanpa perlu aku menunggu. Aku harus iklas seperti pesan Mbah Jati.”
Kereta berhenti sejenak di ujung jalan, tempat pepohonan besar berdiri bagai penjaga masa lampau. Kodasih menatap ke arah loji untuk terakhir kalinya. Di kejauhan, lampu di serambi masih menyala samar..
Di udara, tercium samar aroma wangi kemenyan dan daun kelor yang terbakar.
“Tuan Menir…” gumamnya pelan, “semoga rohmu juga tahu, loji ini sudah bebas.” Ucapnya lagi, lalu Ia merapatkan selendang hitam di bahunya.
Kereta kembali bergerak, berjalan menuju ke dusun Akar wangi, rumah Mbok Piyah dan Pak Karto.
Malam kian larut. Kabut turun seperti kain kafan menutup seluruh jalan tanah menuju Akar wangi. Suara roda kereta kuda menjadi satu satunya nyanyian di antara sunyi, berderit pelan, seperti doa yang tak berani selesai.
Kodasih bersandar di sisi jendela, memeluk tubuh Warastri tertidur pulas di pangkuannya. Tangan mungil Warastri memegang erat ujung selendang hitam Kodasih.
Akan tetapi tiba tiba, kereta berhenti mendadak...
Kuda meringkik keras. Pak Sastro menarik tali kendali dengan wajah tegang. Pardi yang duduk di sampingnya tubuhnya langsung gemetar..
“Ada apa, Pak Sastro?” tanya Mbok Piyah dengan suara kertas
.
Pak Sastro tak mampu menjawab. Ia hanya menunjuk ke depan.
“Kang ada apa?” tanya Sanah pada suaminya.
Pardi menoleh ke arah belakang, ingin menjawab namun yang keluar dari mulut nya hanya suara gumam an tidak jelas.. tubuhnya masih gemetar..
Dalam kabut, lima sosok hitam berdiri berbaris, menghalangi jalan. Di tangan mereka tampak senjata tajam.. golok, tombak bambu, dan satu di antaranya membawa senapan tua peninggalan Belanda.
Salah satu dari mereka, yang berperawakan tinggi dan wajah ditutup topeng hitam melangkah ke depan.
“Berhenti di situ, Nyonya Pribumi Loji!” suaranya serak. “Kami tahu kamu membawa uang, emas dan berlian warisan Tuan Menir. Serahkan semuanya kalau tidak mau darahmu tumpah malam ini!”
Kodasih membuka tirai kereta, menatapnya tanpa gentar.
“Tidak ada yang kalian cari di sini.”
Lelaki itu tertawa pendek, kasar.
“Bohong! Semua harta peninggalan Tuan Menir harus diberikan untuk rakyat.. Ha.. ha.. ha..... Dan kami rakyat! Semua barang yang kamu bawa itu milik kami juga!”
Ia mendekat ke arah kereta. Dua orang lainnya menyusul di tangannya membawa karung goni.
Meskipun tubuh gemetar, Pardi dan Pak Karto turun dari kereta mencoba menahan. Tapi malang, dua orang itu dipukul keras dengan gagang senapan. Darah mengucur dari pelipisnya.
“Aaaagggw...” teriak Pardi dan Pak Karto memecah keheningan malam..
“Cari di dalam!” perintah orang bertopeng hitam. “Kalau perempuan itu melawan... ikat! Aku tahu dia sudah lemah!”
Suara langkah berat naik ke kereta. Pintu dibuka paksa. Mbok Piyah dan Sanah gemetar ketakutan tanpa suara. Warastri merengek sebentar, lalu tenang dalam pelukan Kodasih.
Lentera kecil di tangan Sanah bergoyang, apinya menyala biru sesaat, lalu padam begitu saja.
Malam seolah menelan semuanya.
Udara berubah dingin membeku.
Kodasih membuka matanya perlahan. Suaranya tenang, tapi matanya memantulkan sesuatu yang tak manusiawi.
“Kalian tidak tahu... berhadapan dengan siapa.”
Perampok yang memegang lengan Kodasih terdiam. Se saat dari balik kabut malam... aroma cerutu, kopi dan kemenyan terbakar menyeruak. Suara langkah berat terdengar di tanah basah, pelan tapi pasti. Tak mungkin datang dari manusia.
Pak Karto yang setengah pingsan membuka mata dan melihat.. Kabut di belakang kereta berputar seperti pusaran air, lalu muncul sosok tinggi dengan jas panjang dan topi lebar.
Wajahnya tidak jelas, hanya dua cahaya keabu abuan tempat sepasang mata seharusnya berada. Dari dada sosok itu mengalir asap hitam seperti arang basah, berputar di udara.
“T...Tuan Menir…”
Para perampok mundur ketakutan, tapi kaki mereka tak bisa bergerak. Tanah di sekitar mereka berubah basah dan lengket seperti lumpur kuburan.
Salah satu berusaha menembak, tapi senapan di tangannya berbunyi sendiri, memuntahkan peluru ke dada temannya.
“Aaaarrrgggg...” Darah muncrat ke kabut.
Lalu dari arah belakang, terdengar suara pintu besar berderit, padahal tak ada loji di situ.
Dari celah kabut, muncul bayangan pintu loji Tuan Menir, utuh, berdiri tegak di tengah jalan seperti potongan masa lalu yang menolak mati.
Pintu itu terbuka perlahan.
Dan dari baliknya, tangan tangan pucat keluar, menggeliat seperti akar pohon mencari mangsa.
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣