Boleh tidak aku kembali ke masa 5 tahun yang lalu? saat aku masih gadis, tak akan aku membantah nasehat ibu tentang Mas Akbar, suamiku. Dengan ikhlas aku akan menurut beliau tanpa protes sedikit pun, meski harus melepas lelaki yang aku cintai. Karena sekarang aku tahu maksud Ibu tak memberi restu dulu, karena Mas Akbar penganut suami patriaki.
Urusan rumah, anak, bahkan menjadi tulang punggung keluarga pun aku lakukan sendiri tanpa bantuan dari Mas Akbar. Aku sudah tidak menuntut Mas Akbar untuk berubah, rasanya sudah mati rasa, dan berharap tiap hari diberikan kesabaran tanpa batas, agar bisikan setan tak kuturuti untuk meracuninya. Astaghfirullah.
Selain tabiat Mas Akbar, yang membuatku ingin mengakhiri pernikahan ini adalah sikap mertua padaku. Beliau selalu menganggap aku sebagai istri pembawa sial, yang menyebabkan Mas Akbar terkena PHK massal. Beliau selalu mengatakan andai aku tak menikah dengan Mas Akbar, mungkin putra kesayangannya itu akan naik jabatan. Sialan memang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KARMA
Aku dan Fabian keluar kamar sekitar pukul 8 pagi, menuju resto hotel untuk sarapan. Dia dengan kaos dan celana pendeknya, aku dengan piyama dan jilbab instan saja. Aku menawari dia menu sarapan apa, tapi ternyata Fabian mau mengambil sendiri. Sampai detik ini ia tak pernah memintaku melayani urusan rumah tangga selain di ranjang, padahal aku tak masalah juga kalau menyiapkan makan dan pakaian dia.
"Kak, kamu pernah ke kota ini?" tanyaku sembari menikmati menu sarapan, aku tuh orang Indonesia banget, harus nasi. Sehingga aku mengambil menu nasi pecel, berbeda dengan Fabian yang hanya mengambil kopi dan roti bakar saja. Duh sayang banget bukan, sarapan gratis cuma ambil kopi sama roti.
"Pernah, dulu teman KKN rumahnya di sini. Kita ke sini saat melayat dia." Aku langsung tersedak. Ya aku pikir ke kota ini untuk healing, tapi ternyata tidak.
"Sakit?" Fabian mengangguk.
"Maag!"
"Stress tuh." Kembali Fabian mengangguk. Namanya Dendy. Dia anak pertama, memiliki lima adik, sedangkan sang ayah hanya ikut kajian begitu saja, tanpa mau bekerja. Sehingga dia dan ibunya berjuang keras untuk menjadi tulang punggung keluarga. Selama kuliah, dia jualan pulsa, jualan jilbab, ojek, dan apapun panggilan pekerjaan akan dia terima. Bahkan Dendy pernah menjadi marbot masjid, agar gak kos dan gratis makan. Aku mendengarnya dengan terharu, karena posisinya kita sedang makan. Aku sering sekali pilih-pilih makanan dan tak menghabiskan nasi, kalau sedang waras ya aku ingat bahwa sesuap nasi tuh sangat berarti untuk orang lain. Tapi kalau lagi badmood makan, ya nasi gak kuhabiskan.
"Jadi dia sering menahan lapar, dan tekanan pikiran, alhasil asam lambungnya sering naik, dan berakhir meninggal itu," lanjut Fabian menceritakan soal Dendy.
"Benar kan apa kataku. Uang tuh bagi sebagian orang segalanya, setidaknya kalau ada masalah, uang bisa menghibur dan mengalihkan kesehatan kita." Fabian tertawa, mengangguk saja menyetujui prinsipku.
Ketenangan kita terganggu karena kedatangan Jovan dan Aruni. Tentu saja kita saling tatap, Fabian langsung memutus tatapan, dan tak lama aku pun mengikutinya. Cuma Aruni tak tahu hubungan Jovan dan Fabian, dia tiba-tiba duduk di depanku saja.
"Kamu mantan istrinya Akbar kan?" tanya Aruni memastikan, dan aku mengangguk sembari tersenyum. Untung saja menu sarapanku sudah habis, jadi kalau mau membahas Akbar nafsu makanku tak terganggu.
"Kalian pacaran?" Fabian berdecak sebal, menggelengkan kepala kepadaku seolah memberi isyarat tak perlu menjelaskan pada Aruni, toh mereka tak mengurusi Aruni dan Jovan. "Kalau malu-malu gini jangan bilang kalian pasangan selingkuh ya. Wah, gak nyangka aja sih, padahal Akbar bilang kamu tipe perempuan setia banget, sampai dia gak bisa move on dari kamu. Bahkan aku saja ditolak."
"Laki-laki tahu lah, mana perempuan baik mana perempuan murah," sahut Fabian menimpali ejekan Aruni padaku sembari menuang kopi di alas cangkir, santai sekali, padahal ucapannya bisa memancing perkara, terlebih wajah Jovan sedari tadi tak enak dilihat.
"Maksudnya? Pacar kamu nyindir aku?" Aruni tak terima, namun ditahan oleh Jovan. Ia bersikeras ingin mengomeli Fabian ternyata.
"Diam napa, Mas. Harusnya kamu bela aku, dia bilang aku murah loh!" sewotnya menatap Jovan lalu menatap tajam Fabian.
"Maaf, ya Mbak. Anda tadi duduk di kursi ini juga gak permisi sama saya atau suami saya. Lagian, tadi suami saya tidak menyebut Anda, dia hanya bilang perempuan yang itu bermakna umum sekali. Kalau Anda merasa tersendir, ya mungkin memang Mbak merasa saja." Fabian tersenyum mendengar penuturanku, mana dia langsung menarik tanganku lalu menciumnya. Seolah menunjukkan bahwa apa yang aku katakan benar.
"Sudahlah, Sayang. Kita ke meja lain," ajak Jovan.
"Ingat ya. Urusan kita belum selesai," lanjutnya tak suka pada Fabian. Namun, Fabian cuek sekali. Tak peduli dengan tingkah Aruni.
"Kamu kenal dia?" tanyaku setelah mereka pindah ke meja lain. Fabian menggeleng. Hanya sebatas tahu, apalagi mereka punya rekan yang sama. Keduanya pernah bertemu di acara nikahan teman Fabian. Kita pun santai saja meneruskan sarapan, apalagi aku mau mengambil buah, ya kita gak peduli meski aku sadar Aruni masih menatap ke arah meja kita.
Sedang menikmati buah, Fabian juga ikut makan buah. Sebuah chat masuk dari Jovan. Fabian menunjukkan room chat sang kakak padaku.
Jangan pergi dulu, aku mau bicara. Akhirnya kita menunggu sajalah, toh kita gak ada agenda yang mendesak untuk keluar hotel. Area wisata juga bisa ditempuh agak siang.
"Kamu berniat bilang ke Maya?" tanya Jovan dengan wajah angkuhnya. Aku tak ada kapasitas untuk menjawab pertanyaan ini, aku hanya duduk manis mendengarkan saja. Aruni malah ke kamar duluan.
"Menurut kamu?" Fabian balik tanya.
"Lapor saja. Aku tak takut, aku tidak akan menceraikan Maya. Aku lebih suka melihat dia menderita, karena dengan begitu kamu pun ikut menderita, melihat wanita kecintaan kamu tersiksa dalam genggamanku."
Aku terdiam. Aku ingin melihat respon Fabian pada orang lain mengenai Maya, apakah responnya sama ketika memberi penjelasan padaku. "Aku dan Maya sudah tidak punya hubungan apa-apa. Aku sudah punya kehidupan sendiri, dulu saja saat aku belum menikah mana pernah aku mengganggu hidup kalian. Apalagi sekarang aku sudah punya Namira. Ngapain mengais urusan yang sudah usang. Toh, dia sudah berkhianat."
"Gak usah munafik, DNA perebut pasangan orang seperti ibumu tentu saja melekat dalam dirimu," aku kaget sumpah kaget. Jovan menyerang Fabian dengan urusan orang tua. Rahang Fabian langsung mengeras, aku menyentuh tangannya.
"DNA pengkhianat tidak mengalir dalam tubuhku, karena mama adalah perempuan baik yang dibohongi papa. Punya kaca kan? Sekarang yang berkhianat dalam pernikahan siapa." Giliran Jovan yang mengepalkan tangan, kesal karena blundernya mengarah ke dirinya sendiri. Sukurin, orang kaya tapi tak punya kaca buat meraba kesalahannya. Aku ingin memberi tepuk tangan pada Fabian sekeras mungkin, kalau perlu ciuman mesra juga tak apa deh. Toh aku juga suka, ngarep!
Jovan pergi begitu saja, membawa hati dongkol setengah mati. "Biasanya firasat seorang istri akan berjalan kok, suaminya setia atau tidak!" ucapku sembari melihat kepergian Jovan.
"Iya kah? Coba aku pengen tahu firasat kamu tentang aku apa?" aku menoleh dan menatap wajah Fabian, kemudian kucondongkan wajahku seraya berkata.
"Mesyum!" ujarku sok serius, dia tertawa ngakak, dan langsung menarik tanganku.
"Yuk, gas lah. Mumpung masih di hotel," ucapnya santai. Dia merangkulku sepanjang jalan kita menuju kamar.
"Kira-kira apa penyebab Jovan berkhianat pada Maya?" tanyaku sembari menatap wajah Fabian.
"Karma."
"Menakutkan."
"Makanya jangan menyakiti orang lain dengan cara apapun. Meski kita dulu pacaran, tapi setidaknya kalau mau udahan tinggal bilang, tak perlu berkhianat, ya mungkin sekarang Maya sedang berada di posisiku saat itu."
berasa gantung terus tau gak kak. ampun dah candu sama karyanya akak.
tapi makin kesini kok makin kesana..
selalu serrruu sih..
Always bintang 5 yak.