Cathalina Brea yang sering dipanggil Rea terlahir sebagai anak orang kaya. Di kehidupan keluarga besarnya orang tua Rea adalah pewaris usaha hotel dan Restoran terkaya di kotanya. Namun semasa kecil dia hanya dibesarkan oleh papinya yang adalah satu - satunya pewaris keturunan Setiawan.
Rea tumbuh dewasa dan menjadi seorang dokter spesialis anak. meskipun hidup berkelimpahan harta namun Rea tidak perna sombong.
Sebelum papanya meninggal semua saham perusahaan diberikan kepada Cathalina Brea Setiawan.
Keluarga besar marah, karena Rea adalah seorang perempuan. Saudara sepupu papanya Rea menjodohkan Rea dengan Simon Elias sebagai syarat Rea bisa memiliki semua peninggalan papinya. Ternyata penghianatan yang dia terima serta kekerasan dalam rumah tangga.
Rea mmenceraikan Simon dan memilih meninggalkan kota besar itu mengabdi di sebuah desa kecil disebuah pulau.
Apakah Rea bisa mendapatkan ketenagan????
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wisye Titiheru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bakti Sosial
Hari minggu sepulang gereja, Rea dan kawan - kawannya mulai melanjutkan membungkus sembako yang total ada seratus. Sedangkan khusus Paul dia membagikan undangan pemberitahuan bagi lima belas anggota keluarga yang akan di kunjungi oleh mereka. Ternyata Kapten Elon memerintahkan satu anggotanya menemani Paul sedangkan yang lainnya membantu Lita, Nita membungkus sembako dan menyiapkan obat di kotak - kotak sesuai kegunaanya.
Sementara itu Elon dan Rea sedang berjalan sepanjang pantai mendiskusikan kegiatan mereka. Rea sengaja mengajak Elon berjalan di sepanjang pesisir pantai agar komandan itu melihat kondisi lingkungan sekitar pantai.
"Kalau bersih pasti enak dilihat."
"Kamu suka pantai?"
"Lumayan suka."
"Lihat komandan jika jembatan tempat tambatan perahu ada. Akan lebih teratur. Kami yang mau berenang tidak terkontaminasi dengan sisa buangan minyak di pantai."
Elon memperhatikan Rea menjelaskan dengan saksama. Matanya tidak berpindah sedikit pun dari wajah cantik gadis ini.
"Permisi, dokter Rea itu asli orang manado?"
"Tidak meyakinkan kah komandan."
"Sedikit." Rea tersenyum
"Papiku Jawa Manado, sedangkan mamiku orang Atambua Nusa Tengara Timur. Tetapi jangan tanyakan Kampung mana? Karena ini pertama kali aku kesini dan mamiku besar di Manado."
"Pantas facenya lebih seperti orang Portugis."
Sampai siang hari mereka berjalan menikmati udara laut. Jam makan siang mereka sudah kembali ke Puskesmas disana sudah ada makanan yang disiapkan tante Since, janda tidak mempunyai anak. Waktu makan siang Paul beserta anggota tentara bernama Isak sudah ada di puskesmas. Tiga puluh kepala keluarga buat hari pertama dan kedua sudah siap untuk di kunjungi. Yang kebetulan kegiatan akan di lakukan pada hari senin dan selasa. Karena semua persiapan sudah oke. Maka mereka mulai beristirahat siang.
Sore harinya Rea lari sore ditemani Berto, bocah yang merupakan pasien pertama Rea.
"Dokter kenapa rumah saya tidak didatangi dokter?"
Rea berhenti waktu mendengar bocah itu bertanya.
"Di datangi kok."
"Tetapi kami tidak dapat undangan, Saul temanku yang dapat. Dokter pilih - pilih ya?" Rea memegang bahu Berto. Dan mereka duduk di pasir pantai sambil menikmati pemandangan matahari terbenam.
"Berto dengan ibu dokter bilang, kegiatan ibu dokter itu buat semua orang yang ada di kampung ini. Semua rumah. Satu hari ibu dokter dan teman - teman mengunjungi lima belas rumah. Kalau rumah Berto belum di kunjungi mungkin hari rabu atau hari selanjutnya."
"Ooooo jadi dokter tidak pilih - pilih kan?"
"Tidak Berto, nanti pulang Berto temani dokter ke puskesmas. Berto tanya kakak Paul keluarga Berto kapan?"
"Tanya kakak mantri itu?"
"Ya."
Rea benar - benar menikmati keindahan alam di sore menjelang malam hari. Bagaimana matahari terbenam. Dia abadikan dengan memotret dirinya.
"Dokter saya bisa memotret."
"Pakai kamera ini?"
"Iya, dulu ada turis juga yang perna saya foto."
Rea pun menyerahkan kameranya kepada Berto dan benar anak itu memotretnya seperti seorang juru foto. Waktu melihat hasilnya Rea tersenyum karena hasilnya sangat bagus.
"Terima kasih ya Berto, ini bagus sekali."
Berto hanya tersenyum, dia memamerkan sederet giginya. Dari pantai Berto menemani dokter Rea ke puskesmas karena dia mau lihat keluarganya kapan dikunjungi oleh dokter dan teman - teman. Kebersamaan Berto dan Rea di pantai ternyata di abadikan oleh seorang anggota tentara yang melihat mereka dengan senyuman.
"Dan, cantik ya dokter Rea?"
"Kamu sak. Cantik lah, seperti bidadari."
Pukul delapan pagi anggota tentara dan para medis sudah di puskesmas. Karena belum ada mobil puskesmas, maka mereka menggunakan mobil dan motor tentara untuk mobile mereka dari rumah ke rumah. Di antara orang - orang besar ada juga Berto relawan cilik yang membantu. Semalam dia sudah meminta kepada Rea dan ners yang ada di puskesmas untuk membantu. Sebelum mereka beraktivitas, tante Since sudah menyiapkan sarapan bagi mereka semua.
Antusias masyarakat sangat besar lima belas keluarga pertama menerima mereka dengan baik. Bahkan semua keluahan sakit yang mereka alami disampaikan, tak terkecuali bahkan sampai kebutuhan biologis mereka. Dan Rea sadari bahwa satu keluarga punya anak cukup banyak bisa enam sampai sembilan anak. sehingga kebutuhan hidup mereka sangat susah. Namun Rea tidak mau melarang karena mereka yang akan mengurus anak - anak itu.
Kegiatan hanya sampai pukul satu siang. Karena kalau sudah mau sore mereka akan bersiap - siap mau melaut bekerja menangkap ikan, untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Sore hari Rea mulai berpikir, mengevaluasi semua kegiatan dari pagi jam delapan sampai jam satu siang. Ternyata semua keluarga memiliki permasalahan hidup yang sama. Menjelang sore waktu Rea akan lari sore dia kedatangan tamu. Seorang ibu muda dengan membawa tiga anak mereka yang hanya berjarak satu - satu tahun.
"Dokter masih kenal saya kan?"
"Ooo iya, ibu Markus?"
"Dokter saya tertarik dengan tawaran dokter tentang membatasi jumlah anak."
"Ibu nama siapa?Nama kecil kamu."
"Ana dokter."
"Umur kamu masih sangat muda, dua puluh tiga tahun. Kamu harus berbicara dengan suami kamu sebelum melakukan ini semua."
"Saya takut dokter."
"Kalau kamu takut, bagaimana dengan saya. Apalagi saya tahu tradisi di kampung ini sangat kuat. Salah satu cara, adalah Ana dan suami harus mau sama - sama."
Ana hanya mengangguk. Rea begitu terharu melihat kondisi Ana. baru berumur dua puluh tiga tahun dua sudah memiliki lima orang anak. Dan sekarang sedang mengandung lagi.
Tujuh hari dilewati Rea bersama teman - teman nersnya. Seratus lebih kepala keluarga dilayani oleh mereka. Dan semenjak itu banyak masyarkat yang datang ke puskesmas. Mereka mengerti akan pentingnya kesehatan mereka.
Malam hari pukul delapan. Rea di kagetkan dengan beberapa orang ibu - ibu yang datang membawa satu orang sakit. Mereka membawa dengan menggunakan motor. Rea dan kawan - kawan merasa kaget. Karena banyak sekali darah di motor. Sedangkan orang yang sakit sudah pingsan, pucat mukanya. Langsung Rea mengambil tidakan. Setelah dipasang infus dan diberi pertolongan Rea sadar bahwa yang mengalami pendarahan adalah Ana. Dia ditolong oleh ibu - ibu yang lain karena suami mereka sedang berada di laut. Kondisi Ana tidak stabil dia harus dirujuk ke kota perjalanan satu jam. Sedangkan di puskesmas tidak ada mobil.
"Paul ke posko tentara minta tolong kendaraan mereka untuk membawa pasien."
Paul langsung berlari menuju ke posko tentara sepuluh menit kemudian Elon dan Isak sudah datang.
"Ana harus dirujuk ke kota. Peralatan disini tidak bisa menolong Ana. Nanti hubungi suaminya."
Dengan bantuan Elon dan Isak, Ana dinaikan ke mobil tentara dan yang menemani Ana adalah dokter Rea dan Paul. Dan satu keluarganya.
"Komandan, bisa berapa lama kita sampai ke kota?"
"Bisa setangah jam."
"Dalam nama Yesus." Rea tahu itu tidak mungkin jika bekendara dengan kecepatan normal. Namun dia serahkan semua perjalanan ini kepada Tuhan dan percaya kepada kapten Elon.