Cole Han, gangster paling ditakuti di Shanghai, dikenal dingin dan tak tersentuh oleh pesona wanita mana pun. Namun, semua berubah saat matanya tertuju pada Lillian Mei, gadis polos yang tak pernah bersinggungan dengan dunia kelam sepertinya.
Malam kelam itu menghancurkan hidup Lillian. Ia terjebak dalam trauma dan mimpi buruk yang terus menghantuinya, sementara Cole justru tak bisa melepaskan bayangan gadis yang untuk pertama kalinya membangkitkan hasratnya.
Tak peduli pada luka yang ia tinggalkan, Cole Han memaksa Lillian masuk ke dalam kehidupannya—menjadi istrinya, tak peduli apakah gadis itu mau atau tidak.
Akankah Lillian selamanya terjebak dalam genggaman pria berbahaya itu, atau justru menemukan cara untuk menaklukkan hati sang gangster yang tak tersentuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab9
Keesokan harinya.
Studio tempat Lillian bekerja tampak sibuk dengan aktivitas pemotretan. Siang itu, Lillian berusaha keras fokus pada tugasnya sebagai fotografer profesional. Jemarinya lincah menekan tombol kamera, sementara tatapannya penuh konsentrasi mengikuti setiap pose model dan artis yang bergantian berdiri di depan lensa.
Rebecca, rekan kerjanya, berdiri tak jauh dari sana. Ia memperhatikan sahabatnya dengan seksama, sesekali tersenyum melihat bagaimana Lillian menutupi kelelahan dengan sikap profesional.
Beberapa saat kemudian, Lillian akhirnya menyelesaikan sesi terakhirnya. Ia menurunkan kamera dan menghela napas lega.
"Lillian, luar biasa. Hari ini semangatmu cukup bagus," ucap Rebecca sambil menepuk pelan bahu temannya.
Lillian menoleh, bibirnya melengkung tipis. "Aku hanya menjalankan tugasku. Kalau tidak ada semangat, mana bisa aku melanjutkannya," jawabnya dengan senyum samar yang menyembunyikan banyak hal.
Rebecca mengangguk mantap. "Baiklah, perhatiannya cukup. Ayo siap-siap!"
Lillian sedikit mengerutkan kening. "Apakah kita mau pergi ke suatu tempat?" tanyanya dengan ragu.
"Iya," jawab Rebecca antusias. "Aku ada tempat bagus yang akan aku perkenalkan padamu." Ia kemudian beranjak, meraih tasnya. "Aku pergi ambil tas dulu, tunggu aku di parkiran!" katanya sambil melambaikan tangan sebelum meninggalkan ruangan.
Begitu Rebecca menghilang dari pandangan, senyum di wajah Lillian pun sirna. Ia menarik napas kasar lalu menjatuhkan dirinya ke kursi terdekat. Pandangannya kosong menatap lantai studio.
"Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Dia tidak akan melepaskan aku begitu saja. Aku tidak ingin melihatnya lagi… apa lebih baik aku keluar negeri saja?" batin Lillian.
Malam hari.
Lampu-lampu neon berkilauan menyinari jalanan kota, dan salah satunya menerangi sebuah club malam mewah yang hanya dikunjungi kalangan atas. Musik berdentum dari balik pintu, bercampur dengan tawa riuh pengunjung yang berpakaian glamor.
"Rebecca, kenapa kita datang ke tempat ini?" tanya Lillian dengan nada ragu, langkahnya tertahan meski tangan halusnya sudah ditarik paksa oleh Rebecca. Tatapannya gelisah, menelusuri suasana asing yang penuh keramaian.
Rebecca tersenyum penuh percaya diri. "Lillian, selama ini kau hanya fokus pada Will yang tidak berguna itu. Sekali-sekali kau harus melihat dunia luar juga. Di sini ada banyak pemuda tampan dan gagah. Kau bisa panggil berapa saja yang kau suka," katanya sambil menarik sahabatnya masuk lebih dalam, menuju ruangan karaoke VIP.
Lillian menoleh kanan-kiri, merasa canggung. Lampu redup warna-warni membuat kepalanya sedikit pening. "Rebecca, jangan sembarangan. Kau tahu kalau aku tidak suka tempat berisik seperti ini," ujarnya dengan nada menahan.
"Sudah! Duduklah dulu," sahut Rebecca tegas sambil menekan bahu Lillian agar duduk di sofa empuk yang melingkar. "Malam ini lupakan semua perasaan sakit dan sedihmu. Jangan terpuruk hanya demi pria itu."
"Tapi..." Lillian membuka mulut, namun suaranya tenggelam oleh dentuman musik dari luar.
Rebecca tersenyum penuh keyakinan, lalu mendekat dan berbisik, "Aku akan panggilkan beberapa pria tampan. Malam ini kita lupakan semua kesedihan kita." Tatapannya nakal, penuh semangat.
Lillian menghela napas dalam, menatap sahabatnya yang tampak begitu berbeda malam ini. Dalam hatinya, ia mengeluh pelan, "Aku yang putus cinta, kenapa dia yang butuh pria?"
Ia menyandarkan punggung, matanya kosong menatap langit-langit ruangan karaoke, sementara bayangan masa lalu masih menghantui pikirannya.
***
Di lantai tiga club malam itu, salah satu ruangan karaoke VIP dipenuhi cahaya temaram. Sofa hitam berbentuk melingkar menambah kesan mewah, sementara dentuman musik dari luar terdengar samar.
Di ruangan itu, Cole duduk dengan tenang bersama seorang temannya. Tangannya menggenggam gelas kristal berisi minuman berwarna gelap, sementara jaket kulit hitam membalut tubuh kekarnya. Tatapan matanya tajam, penuh perhitungan, seolah sedang menimbang sesuatu yang berat.
"Cole, belakangan ini kau sedang mengincar gadis itu. Apakah kau serius, atau hanya untuk bersenang-senang?" tanya temannya, Jhon, dengan nada bercanda. Ia melirik Cole sambil mengangkat alis. "Selama aku mengenalmu, kau tidak pernah bereaksi sedikit pun pada wanita yang aku kenalkan."
Cole meneguk minumannya pelan sebelum menjawab dengan suara berat, "Dia adalah satu-satunya wanita yang membuatku ingin memilikinya. Sekadar memuaskan atau cinta, aku akan tahu setelah lama bersamanya."
Jhon tertawa kecil, tapi kemudian nada suaranya berubah serius. "Ha? Cole, kalau dia gadis dari keluarga baik-baik, lebih baik kau serius. Tapi kalau dia pekerja club malam, kau bisa mencarinya kapan saja, setiap kali menginginkannya."
Cole memutar gelas di tangannya, matanya menyipit. "Jhon, dua orang kalau bersama... apakah harus selalu serius?"
"Tentu saja!" jawab Jhon tegas. "Bukankah kau bilang gadis itu tunangan adikmu? Kalau kau mengincarnya, maka kau harus serius."
Cole menyandarkan tubuh ke sofa, suaranya tenang tapi dingin. "Aku hanya ingin memilikinya. Itu saja."
Jhon menghela napas, lalu mencondongkan tubuh ke depan. "Tanyakan saja pada dirimu, Cole. Andaikan kau melihat dia kembali bersama adikmu, atau berjalan dengan pria lain, apa kau akan marah? Cemburu? Kalau kau masih bisa santai, berarti itu bukan cinta—hanya hasrat. Tapi kalau kau terbakar amarah dan cemburu… itu namanya cinta. Kau harus bisa membedakan."
Cole terdiam sesaat, lalu mendengus meremehkan. "Cemburu? Marah? Apakah mungkin seorang gangster sepertiku akan bersikap bodoh seperti itu demi seorang wanita?"
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Julian, salah satu anak buah Cole, melangkah cepat masuk.
"Bos!" serunya dengan wajah tegang.
Cole mengangkat kepalanya. "Ada apa?"
"Aku melihat Nona Mei di kamar VIP lantai dua," jawab Julian dengan suara menekan.
Jhon menoleh penasaran. "Siapa Nona Mei?"
Julian menatap bosnya sejenak sebelum menjawab singkat, "Gadis incaran bos."
Jhon terbelalak. "Apa? Apakah dia wanita malam? Bukankah dia tunangan adikmu? Tidak mungkin adikmu berhubungan dengan wanita semacam itu, kan?"
Tatapan Cole langsung berubah dingin. Rahangnya mengeras, matanya menyipit penuh ancaman. "Apa yang dia lakukan di sini? Apakah dia menemui Will lagi?"
Julian menggeleng cepat. "Bukan! Nona Mei datang bersama temannya… dan mereka memanggil lima pria tampan."
Suasana ruangan langsung menegang. Cole yang tadinya duduk tenang kini menegakkan tubuhnya. Tangannya menggenggam gelas dengan kuat, lalu menghentakkannya ke meja hingga menimbulkan bunyi keras. Cairan dalam gelas tumpah, dan Jhon bersama Julian terkejut melihat ekspresi murka yang muncul di wajah bos mereka.
"Tidak marah? Tidak cemburu? Hampir saja meja ini terbelah dua karena emosimu," ucap Jhon.
Tanpa sepatah kata pun, Cole beranjak dari ruangan itu sambil menahan emosinya.