Jaka, pemuda desa yang tak tahu asal-usulnya, menemukan cincin kuno di Sungai Brantas yang mengaktifkan "Sistem Kuno" dalam dirinya.
Dibimbing oleh suara misterius Mar dan ahli spiritual Mbah Ledhek, ia harus menjalani tirakat untuk menguasai kekuatannya sambil menghadapi Bayangan Berjubah Hitam yang ingin merebut Sistemnya.
Dengan bantuan Sekar, keturunan penjaga keramat, Jaka menjelajahi dunia gaib Jawa, mengungkap rahasia kelahirannya, dan belajar bahwa menjadi pewaris sejati bukan hanya tentang kekuatan, tetapi tentang kebijaksanaan dan menjaga keseimbangan dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ali Jok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Liku-Liku Laku dan Lelaku
Mereka bilang setelah seseorang mengkhianatimu, hidup akan berubah. Tapi yang tidak mereka beri tahumu adalah betapa membosankannya perubahan itu. Setelah kejadian dengan Galih, Padepokan Tirta Amarta berubah dari tempat pelatihan yang menyenangkan menjadi semacam penjara keamanan maksimum. Kabut pagi yang dulu menenangkan sekarang terasa seperti selimut basah yang menyesakkan.
"Konsentrasi, Le," bisik Mbah Ledhek, mencoba membimbing meditasiku yang gagal untuk kesekian kalinya. "Energi air tidak akan merespon jika hatimu dipenuhi keraguan."
Aku menghela napas panjang. "Bagaimana caranya, Mbah? Setelah kejadian dengan Galih... setiap kali aku mengambil keputusan, aku merasa seperti sedang bermain catur dengan nyawa orang lain sebagai taruhannya."
Eyang Retno menyentuh bahuku. "Kesalahan Galih bukanlah kesalahanmu, Jaka. Tapi itu pelajaran berharga. Kepercayaan butuh waktu untuk dibangun, tapi bisa hancur dalam sekejap." Katanya bijak, tapi yang kupikirkan adalah mudah saja bilang begitu, yang tidak kamu lihat adalah mimpi burukku setiap malam.
Sekarang, ada jadwal jaga bergiliran. Bahkan Banaspati yang biasanya bebas berkeliaran, sekarang terbang berpatroli seperti drone pengintai. Aku setengah berharap dia memakai seragam kecil dengan cap security.
Sekar mendekati kami, wajahnya masih menunjukkan bekas luka pertempuran. "Jalur air barat sudah diperiksa. Tidak ada jejak energi asing." Laporannya singkat, tapi matanya menatapku dengan cara baru, campuran antara terkesan dan khawatir aku akan melakukan sesuatu yang bodoh lagi.
"Terima kasih, Sekar," kataku, mencoba tersenyum.
"Jangan bersyukur dulu," sahutnya. "Kita masih harus membahas caramu menggunakan sistem kemarin. Itu... sangat ceroboh."
Mbah Ledhek mengangguk. "Sekar benar, Le. Menguras hampir semua energimu untuk tameng air itu tindakan nekat. Kau bisa mati."
"Tapi itu menyelamatkan semua orang," batinku lemah, merasa seperti anak kecil yang diomeli.
"Penyelamatan yang berisiko adalah kegagalan dalam strategi," tambah Eyang Retno. Aku mulai merasa dikeroyok oleh sebuah komite kebijaksanaan.
Jadi, pelajaran dimulai lagi. Tapi kali ini, mereka mengajarku untuk tidak hanya mengandalkan sistem, tetapi juga mendengarkan instingku. Seperti mencoba mengajari anak zaman modern untuk hidup tanpa WiFi.
"Coba tutup matamu," perintah Mbah Ledhek. "Rasakan energi di sekitarmu tanpa bantuan 'Mar' atau layar-layar itu."
Aku mematuhi. Awalnya, yang kurasakan hanya kegelapan dan suara gemericik air. Dan lapar. Selalu lapar. Tapi perlahan, aku mulai merasakan sesuatu yang lain, denyut energi halus dari setiap tetes air, dari setiap helai daun, bahkan dari nafas setiap orang di padepokan. Itu seperti mendengarkan simfoni yang selama ini tidak kusadari.
"Aku... aku bisa merasakannya," bisikku takjub.
"Selamat datang di dunia yang sebenarnya," ucap Eyang Retno. "Sistem hanyalah alat bantu. Pemahaman sejati datang dari dalam." Kedengarannya seperti iklan produk kesehatan, tapi ternyata benar.
Tiga hari berikutnya adalah bootcamp spiritual. Pagi hari aku berlatih jurus dengan Sekar, yang ternyata tidak pernah kehabisan energi untuk mengkritik. Siang hari aku belajar filosofi air dengan Eyang Retno, yang membuat kepalaku pusing. Malam hari aku bermeditasi dengan Mbah Ledhek, yang biasanya berakhir dengan aku tertidur dan didatangi mimpi aneh.
"Tapa Brata meningkat ke 60/100. Keseimbangan energi dalam tubuh semakin stabil," lapor Mar suatu pagi. Setidaknya ada yang menghargai usahaku.
Tapi yang lebih membanggakan adalah pujian dari Sekar. "Gerakanmu sudah tidak kaku lagi. Kau mulai mengalir seperti air." Aku hampir tidak percaya, pujian dari Sekar! Itu seperti mendapat bintang emas dari guru yang paling galak.
Hubungan kami mulai mencair. Di sela-sela latihan, kami berbincang tentang kehidupan.
"Apakah kau tidak takut?" tanya Sekar suatu sore. "Menjadi pewaris sistem, menjadi target para makhluk jahat..."
Aku memandang aliran air. "Tentu saja takut. Tapi ketakutanku pada kehilangan orang-orang yang kusayangi lebih besar." Aku mencoba terdengar bijak, meski dalam hati aku berpikir Ya, takut sekali. Sangat takut.
Sekar tersenyum kecil. "Jawaban yang bijak." Aku merasa menang sedikit.
Kemudian, sesuatu yang aneh terjadi. Saat aku sedang bermeditasi dan hampir tertidur, cincin di jariku tiba-tiba berdenyut dengan energi aneh.
"Peringatan: Gelombang energi anomali terdeteksi. Sumber: Tidak diketahui. Tingkat bahaya: Tinggi."
Aku membuka mata. "Mar, apa itu?"
"Energi tersebut tidak sesuai dengan pola mana pun dalam database. Sepertinya... sesuatu yang sangat tua."
Tiba-tiba, semua air di kolam suci mulai bergetar, membentuk pola spiral. Dari pusat spiral, bayangan seorang wanita muncul, dengan kalung persis seperti milikku, kalung itu hanya berbeda dengan tulisan Sri.
"Ibu?" bisikku tak percaya. Karena, ya, inilah saatnya untuk pertemuan keluarga yang tidak biasa.
Bayangan itu tersenyum sedih. "Jaka, anakku... dengarkan. Segel itu tidak boleh dibuka. Mereka akan mencobanya lagi..."
"Siapa 'mereka', Ibu? Apa yang mereka inginkan?"
"Yang Tersakiti... yang terbuang... mereka ingin membalikkan segalanya..." Bayangan itu mulai memudar. "Cari... Penjaga Naskah... di Gunung... Widara..."
Dan hilang. Tipikal orang tua, memberi petunjuk misterius lalu pergi begitu saja.
Keesokan harinya, aku menceritakan vision itu. "Gunung Widara?" Eyang Retno mengerutkan kening. "Itu tempat yang sangat berbahaya." Tentu saja. Karena tidak mungkin ibuku mengirimku ke tempat spa.
Akhirnya diputuskan aku, Sekar, dan Mbah Ledhek akan pergi. Eyang Retno dan yang lain menjaga padepokan. Aku membayangkan ini seperti tim pemberani dalam film, tapi dengan lebih banyak keluhan tentang jalan yang berbatu.
Perjalanan hari pertama lancar. Tapi semakin mendekati Gunung Widara, suasana semakin mencekam. Bahkan pepohonan terlihat seperti ingin lari dari tempat itu.
"Hutan ini... terasa berbeda," bisik Sekar.
Mbah Ledhek mengangguk. "Energinya kacau." Aku bisa merasakannya, seperti mendengarkan radio yang disetel di antara dua stasiun.
Tiba-tiba, Banaspati mendarat dengan tergopoh. "Ada sekelompok Jin Air di depan! Tapi... mereka berbeda." Dia menjelaskan mereka lebih ganas, dengan mata merah dan kulit menghitam.
"Peringatan: Jin Air terdeteksi telah terpengaruh energi kegelapan. Tingkat agresivitas meningkat 300%," lapor Mar. Bagus. Seperti tidak cukup menakutkan sebelumnya.
Pertempuran pun terjadi. Sekar bergerak cepat, tapi luka yang dibuatnya sembuh seketika. Jin Air ini seperti zombie dengan kemampuan regenerasi super.
"Mereka menyembuhkan diri terlalu cepat!" teriak Sekar.
Aku mencoba mengendalikan air, tapi energi gelap menolak pengaruhku. "Airnya... tidak mau menuruti perintahku!" Rasanya seperti dicuekin oleh elemen yang seharusnya menjadi sahabatku.
Mbah Ledhek berteriak, "Mereka telah tercemar! Kita harus memurnikan mereka dulu!"
Tapi kami terkepung. "Jaka, gunakan sistemmu! Cari kelemahan mereka!"
Aku menutup mata. "Mar, lakukan pemindaian mendalam!"
"Memindai... Terdeteksi inti energi gelap di dada setiap Jin Air."
"Bagaimana menghancurkannya?"
"Memerlukan energi pemurnian dengan frekuensi tinggi. Saran: Kombinasikan kendali air dengan energi Tapa Bratamu."
Aku menarik napas dalam dan mencoba berkonsentrasi. Tetesan air berkumpul, berputar membentuk spiral berpijar. "Sekar, Mbah! Alihkan perhatian mereka!"
Dengan erangan, aku melepas energi itu. Sorotan air murni menyembur, mengenai inti energi gelap di dada Jin Air. Begitu intinya hancur, mereka kembali ke wujud asli sebelum menghilang. Aku terengah-engah, lututku gemetar.
"Kau berhasil," kata Sekar, membantuku berdiri. Pujian lagi! Hari ini adalah hari yang baik.
Kami melanjutkan perjalanan dengan lebih waspada. Gunung Widara sekarang terlihat jelas, puncaknya diselimuti awan gelap yang tidak wajar, seperti topi raksasa yang murung.
Di kaki gunung, ada desa kecil yang sepi. Penduduknya terlihat ketakutan, menutup jendela ketika kami lewat. Aku bertanya pada seorang wanita tua, "Apa yang terjadi di sini?"
Dia melihatku dengan takut. "Pergilah! Ini tempat terkutuk! Yang Tersakiti sudah bangkit!" Lalu dia lari. Aku mulai berpikir bahwa dalam petualangan ini, semua orang yang kutemui salah satu ketakutan, salah satu mencoba membunuhku.
Malamnya, kami berkemah di pinggir desa. Api unggun menyala, dan aku hampir tertidur ketika tangisan anak kecil terdengar dari hutan.
Kami bergegas mencari sumber suara. Seorang anak laki-laki terperangkap di pohon yang hampir roboh di tepi jurang. Tanpa pikir panjang, aku memanjat untuk menyelamatkannya. Tapi pohon itu roboh, menjatuhkan kami berdua ke jurang.
"Jaka!" teriak Sekar.
Dengan reflek, aku mengerahkan kekuatannya. Air dari dasar jurang menyembur, membentuk bantalan yang menyelamatkan kami. Aku terengah-engah—ternyata instingku bekerja ketika benar-benar dibutuhkan.
Orang tua anak itu berterima kasih, tapi wajah mereka penuh ketakutan. "Malam ini adalah malamnya Mereka."
"Siapa 'Mereka'?" tanya Mbah Ledhek.
"Para arwah yang Tersakiti. Mereka yang mati karena pengkhianatan. Setiap bulan purnama, mereka bangkit mencari balas dendam."
Aku teringat vision ibuku. "Apakah ada Penjaga Naskah di gunung ini?"
Wajah mereka berubah pucat. "Jangan cari dia! Dia adalah sumber kutukan ini!" Informasi yang sangat membantu dan sama sekali tidak membingungkan.
Tiba-tiba, angin berhembus kencang, membawa suara erangan yang mengerikan. Dari balik kabut, puluhan bayangan muncul, para arwah dengan mata kosong. Dan yang paling mengerikan seorang kesatria tua dengan zirah rusak dan pedang berdarah.
"Pengkhianat!" teriak sang kesatria, menunjuk ke arah desa.
Aku, Sekar, dan Mbah Ledhek berdiri bersiap. Di puncak gunung, sosok Penjaga Naskah yang misterius mengamati semuanya. Petualanganku semakin aneh, dan aku mulai berpikir bahwa hidupku yang sederhana di desa dulu tidaklah terlalu buruk.
Walaupun latar belakangnya di Indonesia, tapi author keren gak menyangkut-pautkan genre sistem dengan agama🤭
bantu akun gua bro