Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.
Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.
Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.
Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16 - Hazel
Hazel
Aku tidak sedang mencarimu.
Tapi entah bagaimana, kau datang juga
Menabrak segala hal yang kukira sudah kukunci rapat,
Dengan tawa yang terlalu jujur
Dan tatapan yang membuat dunia terasa baru lagi.
Hazel.
Aku tidak tahu warna itu bisa sehangat cahaya,
Atau setajam pengakuan yang tak terucap.
Matamu menatap seolah tahu segalanya
Kau berbicara terlalu cepat,
Tertawa terlalu keras,
Hidupmu terlalu penuh intrik
Dan mungkin itulah mengapa aku tidak bisa berpaling.
Aku pernah bersumpah akan menjaga jarak,
Bahwa api dan dinding di dalam diriku cukup
Untuk menahan segala hal yang bisa menghancurkan.
Tapi setiap kali kau lewat,
Api itu berubah jadi cahaya,
Dan dinding itu runtuh sedikit demi sedikit.
Aku menulis namamu di antara jeda pikiranku,
Di antara kertas catatan yang tak pernah kuberi pada siapa pun.
Karena di dunia tempat segalanya harus tertata,
Kau adalah satu-satunya hal yang kubiarkan berantakan.
Hazel
Kau bukan sekadar warna di mata seseorang.
Kau badai kecil yang menampar sunyiku,
Kau napas yang membuat dunia tak lagi terasa dingin.
Dan meski aku tak bisa menyentuhmu,
Aku tahu,
Di setiap detak yang tak berani kuakui,
Kau selalu ada.
\~\~\~
Tyler
Aku menyesali pesan itu. “Ada hal penting yang harus kita bicarakan.” Kalimat yang terlalu terbuka, terlalu banyak arti di baliknya. Seharusnya kukirimkan saja detailnya lewat email formal, tanpa pertemuan tatap muka. Tapi entah kenapa, aku tak bisa. Mungkin karena bagian dari diriku ingin melihatnya lagi.
Dan semoga, semoga dia tidak memikirkan malam itu. Malam ketika aku kehilangan kendali. Saat napasnya yang beraroma karamel menyentuh kulitku, dan dinding pertahanan yang kubangun selama bertahun-tahun runtuh dalam sekejap.
Aku sudah berusaha mengubur semuanya. Namun setiap kali matanya menatapku, aku tahu aku gagal. Aku mencoba terlihat tenang, dingin, professional. Tapi di dalam diriku, semuanya kacau.
Namun hari ini bukan tentang itu.
Kemarin aku mengunjungi rumah Thomas, seperti biasa. Ia duduk di ruang tamu, wajahnya menegang tapi matanya masih menyala dengan semangat yang sama seperti dulu.
“Kau ingat soal proyek film yang Dean Stafford bicarakan?” katanya tiba-tiba. “Aku akan memproduserinya. Mungkin ini akan jadi proyek terakhirku sebelum aku mati.” Ia menatapku lama. “Dan aku ingin Sinclair yang menyutradarai.”
Aku sempat diam cukup lama untuk memastikan aku tak salah dengar. Thomas Hunt, yang selama ini begitu selektif, ingin Vee memimpin proyek terakhirnya. “Sisanya, ku serahkan padamu.” katanya pelan.
Bagaimana aku bisa menolak?
Dan kini aku duduk di kantorku—atau lebih tepatnya, kantor Thomas yang sementara kuisi—menunggu gadis itu datang. Segala hal di ruangan ini masih tentang dia. Foto Thomas dan Elara di hari pernikahan, buku-buku sinema yang ditulis dengan catatannya di margin, dan gulungan film tua di rak, saksi bisu dari masa yang sulit kuisi dengan kehadiranku sendiri.
Ketukan lembut di pintu menghentikan pikiranku. Aku segera merapikan postur, mengenakan kembali wajah dingin yang sudah jadi tamengku.
“Masuk.”
Pintu terbuka, dan seperti biasa, kehadirannya mengubah segalanya.
“Selamat pagi,” katanya dengan senyum cerah yang membuat ruangan terasa lebih hidup.
Ia duduk di kursi di depanku, tangannya memeluk tas di pangkuan. Aku menunduk sedikit, menahan diri agar tidak kehilangan fokus. “Terima kasih sudah datang,” kataku. “Ada hal penting yang ingin kusampaikan. Ini tentang tugas akhirmu.”
Matanya langsung berbinar. Aku melanjutkan dengan nada netral “Profesor Hunt akan memproduseri proyek film kampus tahun ini. Dan… dia secara spesifik meminta kau yang menyutradarainya.”
Mulutnya terbuka. “Apa?” Kata itu nyaris tidak terdengar.
Aku menjelaskan lagi, lebih tenang. “Detailnya masih dibicarakan. Ini proyek tahunan yang melibatkan beberapa jurusan. Tapi Profesor Hunt terkesan padamu, dan ingin kamu yang memimpinnya. Ini juga bisa menjadi proyek finalmu di Ashenwood.”
Matanya berair. Tangannya gemetar kecil. “Saya—saya merasa terhormat. Terima kasih.”
Aku hanya mengangguk. Senyumnya pecah—tulus, bahagia, penuh cahaya.
“Sulit dipercaya. Saya cuma mahasiswa pindahan, dan beliau ingin saya yang menyutradarai?” Ia terkekeh, menghapus air mata di sudut matanya. “Kalau ternyata ini cuma mimpi, saya akan menghantuimu, tahu?”
Aku hampir tersenyum. Hampir. Tapi sebelum sempat, tatapan kami bertemu. Lama.
Pipinya memerah, dan ada sesuatu di udara, hal yang menegangkan sekaligus lembut.
“Apa… ada hal lain yang ingin kita bicarakan?” katanya pelan.
“Tidak,” aku menjawab datar. “Itu saja pesan dari Profesor Hunt.”
Dia menatapku lebih dalam. “Bukan itu maksudku,” katanya lagi, suaranya pelan tapi tajam. Ia mencondongkan tubuh sedikit, mata hazelnya menembusku tajam, dan aku tak bisa berpaling.
Sebelum aku sempat bicara, ketukan lain terdengar.
“Profesor Hill?”
Aku menutup mata sejenak, menarik napas dalam. “Ya, silakan masuk.”
Pintu terbuka, dan Dr. Emerson muncul—kepala departemen Film, wajahnya serius seperti biasa. “Maaf mengganggu,” katanya cepat. “Ada revisi anggaran untuk proyek Hunt, dan Dean Stafford ingin review-nya sebelum tengah hari. Thomas bilang hanya kau yang dia percayai.”
Waktu yang benar-benar tidak tepat.
Aku menoleh ke Vee. “Tunggu di sini sebentar.”
Ia bersandar di kursinya, senyumnya tipis tapi suaranya pelan dan dingin. “Pergilah. Jangan biarkan Dean Stafford menunggu.”
Aku menatapnya sejenak, ragu, tapi tahu aku tak punya pilihan. Lalu aku mengikuti Dr. Emerson keluar, menutup pintu di belakangku.
\~\~\~
Vee
Aku merasa seperti naik roller coaster. Pagi ini, aku hampir menyeret kakiku untuk datang ke sini, ke ruangannya. Sejak pesan itu datang, aku tidak bisa tidur. “Ada hal penting yang harus kita bicarakan.” Aku kira, kami akan membicarakan malam itu. Tentang jarak yang tiba-tiba terbentang di antara kami setelah hampir… mencium satu sama lain.
Tapi ternyata, bukan itu. Ia malah berkata bahwa Profesor Hunt menunjukku untuk menyutradarai proyek film kampus. Beberapa minggu terakhir aku khawatir tidak punya ide untuk tugas akhir, dan sekarang, proyek itu datang sendiri ke pangkuanku. Rasanya seperti mimpi. Dan sekarang aku di sini, sendirian, di ruangannya.
Aku melangkah pelan, membiarkan mataku menjelajahi setiap sudut ruangan. Aku selalu membayangkan kantor Thomas Hunt penuh dengan poster film lama, tapi yang kulihat di sini justru seperti time capsule. Rak buku penuh literatur sinema klasik, gulungan film tua di sudut, dan aroma kertas lama bercampur kopi hitam yang samar-samar masih hangat.
Aku berjalan ke mejanya. Di sana, tergeletak sebuah notebook kulit berwarna cokelat tua, sedikit terbuka, dengan tulisan tangan yang langsung kukenal.
Tulisan Tyler.
Aku tahu tidak seharusnya menyentuhnya. Tapi rasa penasaranku terlalu kuat, seperti sesuatu menarikku mendekat. Aku menunduk, dan melihat satu kata besar tertulis di atas halaman.
Hazel
Dadaku menegang. Tanpa sadar, aku menarik buku itu ke arahku, jemariku bergetar saat membalik halamannya.
Aku tidak sedang mencarimu.
Tapi entah bagaimana, kau datang juga
Menabrak segala hal yang kukira sudah kukunci rapat,
Dengan tawa yang terlalu jujur
Dan tatapan yang membuat dunia terasa baru lagi.
Aku berhenti bernapas. Setiap baris terasa seperti menampar dadaku. Aku terus membaca, tak bisa berhenti, walau setiap kalimat terasa seperti membuka lapisan demi lapisan rahasia yang tak seharusnya kubaca.
Aku menulismu di antara jeda pikiranku,
Di antara kertas catatan yang tak pernah kuberi pada siapa pun.
Karena di dunia tempat segalanya harus tertata,
Kau adalah satu-satunya hal yang kubiarkan berantakan.
Suara di kepalaku berdesir. Jantungku berdetak terlalu keras. Setiap kata—setiap tawa, setiap pengakuan tersembunyi—semuanya mengarah pada satu hal yang tak bisa ku pungkiri.
Dia menulis ini. Tentang aku.
Tanganku gemetar saat sampai di bagian akhir.
Dan meski aku tak bisa menyentuhmu,
Aku tahu,
Di setiap detak yang tak berani kuakui,
Kau selalu ada.
Aku menutup buku itu cepat-cepat, menahannya di dada. Jantungku berdetak kencang, seperti ingin melompat keluar. Panas menjalari wajahku, dan dunia seolah berhenti berputar.
Kemudian, bunyi pintu terbuka memecah keheningan.
Aku menoleh, dan di ambang pintu, Tyler berdiri.
Tatapan matanya langsung jatuh ke notebook di pelukanku. Dan untuk pertama kalinya sejak aku mengenalnya, Tyler Hill terlihat panik.
\~\~\~
Tyler
Waktu berhenti. Dia berdiri di sana, memeluk notebookku erat di dadanya. Mata hazelnya—yang selama ini jadi pusat duniaku—terbuka lebar, campuran antara bersalah, takut, dan terluka. Aku tahu bahkan sebelum melihatnya lebih dekat, dia membaca Hazel.
Denyut nadiku tak beraturan. Tenggorokanku kering, terlalu sempit untuk menelan udara.
“Vee,” suaraku keluar serak, lebih kasar dari yang seharusnya.
Dia tidak bergerak, tidak juga menurunkan buku itu. Tatapannya menembusku, langsung ke inti semua yang kutahan selama ini.
“Kamu… tidak seharusnya membaca itu,” ucapku akhirnya. Aku melangkah masuk, menutup pintu di belakangku. Tanganku masih menahan pegangan, seperti aku butuh sesuatu untuk berpijak.
Suaranya pelan, tapi mantap. “Ini tentang aku, kan?”
Aku memejamkan mata sejenak. Mencari kekuatan yang entah di mana letaknya. Namun saat kubuka lagi, dia masih berdiri di sana, mencariku, memintaku jujur.
“Seharusnya kamu tidak membacanya,” ulangku, kali ini lebih pelan, sambil mendekat.
“Itu bukan jawaban.” Nada suaranya tajam, tapi matanya bergetar, seolah menahan marah dan kecewa yang sama dalamnya. Ia memeluk buku itu makin erat. “Katakan saja, Tyler. Kamu nulis aku ke dalam puisimu, lalu kenapa selama ini kamu berpura-pura?!”
Kata-katanya menamparku. Dada ini sesak dengan semua yang kutahan, semua yang seharusnya tidak pernah keluar. Aku mengatupkan rahang, mencoba bicara dengan logika terakhir yang kumiliki. “Apa pun yang terjadi di antara kita… ini salah, Vee. Aku masih dosenmu. Kamu masih mahasiswa. Ini tidak boleh terjadi.”
Dia tertawa, tapi tawanya terdengar getir. “Lalu kenapa malam itu kau melihatku seperti itu?!” Matanya memanas, basah. “Kenapa kamu menulisku dalam puisi? Kenapa kamu mendekat kalau kau nggak benar-benar menginginkannya?! Apa aku cuma permainan bagimu?”
Aku tak bisa menjawab. Kata-kataku mati di tenggorokan.
“Kamu bikin aku bingung, tahu nggak!” suaranya pecah, marah tapi juga terluka. “Ku pikir ada sesuatu di antara kita. Dari caramu menatapku, dari caramu berbicara. Tapi kemudian kamu dingin, seolah semuanya cuma ilusi, seolah itu nggak pernah terjadi!”
Setiap katanya menghantam tembok pertahananku, dan aku tahu, tembok itu sudah hancur.
Dia menggeleng, menatapku dengan getir. “Kalau kamu pikir ini salah, maka jangan pernah melihatku lagi dengan tatapan itu. Jangan pernah menulis aku lagi. Jangan—” Dia menarik napas, suaranya tercekat. “Aku bahkan nggak tahu kenapa aku—”
Aku tidak berpikir lagi. Tanganku sudah lebih dulu menyentuh pipinya, dan bibirku menutup jarak di antara kami.
Ciuman itu bukan ciuman yang lembut. Itu penuh keputusasaan, penuh amarah, penuh semua hal yang tidak sempat kami ucapkan selama berbulan-bulan. Dia mencengkeram kerah bajuku, menarikku lebih dekat, dan untuk sesaat, dunia berhenti. Hanya kami berdua, di antara bibir kami yang beradu, dan napas yang tersengal.
Saat akhirnya kami terpisah, aku kehabisan napas. Matanya menatapku, lembut, takut, dan sangat indah. Dunia terasa berbahaya dalam jarak sedekat ini.
Aku menempelkan keningku di keningnya. Suaraku hampir tak terdengar.
“Ini… alasan kenapa aku menarik diri, Vee.” Aku memejamkan mata. “Karena aku nggak tahu… apakah aku bisa berhenti.”
\~\~\~