Arsyi seorang wanita sederhana, menjalani pernikahan penuh hinaan dari suami dan keluarga suaminya. Puncak penderitaannya terjadi ketika anaknya meninggal dunia, dan ia disalahkan sepenuhnya. Kehilangan itu memicu keberaniannya untuk meninggalkan rumah, meski statusnya masih sebagai istri sah.
Hidup di tengah kesulitan membuatnya tak sengaja menjadi ibu susu bagi Aidan, bayi seorang miliarder dingin bernama Rendra. Hubungan mereka perlahan terjalin lewat kasih sayang untuk Aidan, namun status pernikahan masing-masing menjadi tembok besar di antara mereka. Saat rahasia pernikahan Rendra terungkap, semuanya berubah... membuka peluang untuk cinta yang sebelumnya mustahil.
Apakah akhirnya Arsyi bisa bercerai dan membalas perbuatan suami serta kejahatan keluarga suaminya, lalu hidup bahagia dengan lelaki baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 9.
Malam itu setelah menitipkan baby Aidan pada Sinta, Arsyi melangkah keluar untuk bertemu Rendra dengan hati yang diliputi gelisah. Demi ide yang ia pendam, Rendra harus bersedia mendukungnya.
Bertanya pada beberapa pelayan, ia akhirnya mengetahui bahwa Rendra tak berada di kamar Raisa melainkan di ruang kerjanya. Dengan keberanian yang setengah dipaksakan, Arsyi mengetuk pintu. Suara rendah dari dalam mengijinkannya masuk.
“Ada apa? Ini sudah larut malam. Kenapa kau tidak menjaga anak itu?” suara Rendra terdengar dingin, tajam.
“Tuan kecil bersama Mbak Sinta. Saya... ingin mengajukan sebuah ide demi kesembuhan Nyonya Raisa.”
Sebelah alis Rendra terangkat, ada rasa ingin tahu yang samar terlihat. “Katakan.”
Arsyi menelan ludahnya, lalu dengan hati-hati ia berkata. “Saya bukan ingin ikut campur, tapi demi Tuan kecil... dan demi Nyonya Raisa, bisakah Tuan menceritakan, mengapa istri Tuan jatuh sakit?”
Tatapan Rendra seketika menggelap, ada badai yang berputar dalam matanya. “Lancang! Pergi!”
Arsyi tersentak, dadanya bergemuruh. Ia tahu dirinya baru saja menyentuh luka terdalam pria itu. Namun bukannya mundur, ia justru memberanikan diri.
“Apa Tuan tega membiarkan Tuan kecil tumbuh tanpa dikenali oleh ibu kandungnya seumur hidup?”
Rendra menatap Arsyi dengan pandangan menusuk, seolah hendak mengoyak keberaniannya.
“Kau__” kata-kata itu nyaris terlontar, tapi akhirnya tertahan di ujung bibirnya. Setelah hening panjang, ia mendesis. “Katakan idemu, tapi jangan berpikir aku akan mudah setuju.”
Arsyi menghembuskan napas panjang yang sejak tadi tertahan. Setidaknya, ia telah menembus dinding yang sulit ditembus. “Seperti yang saya katakan, saya butuh penjelasan. Saya ingin tahu alasan sebenarnya mengapa Nyonya Raisa sakit.”
Rendra bangkit dari duduknya, melangkah ke arah jendela besar. Punggungnya tegak, namun bayangan tubuhnya tampak rapuh diterpa cahaya lampu. Ia memejamkan mata, menahan sesuatu yang jelas masih menorehkan luka di hatinya. Dan perlahan, ia mulai membuka tabir yang lama terkunci.
Arsyi hanya bisa diam, mendengarkan Rendra bercerita bagaimana ia merelakan Raisa menikah dengan Rio meski ia mencintai wanita itu. Mereka bertiga adalah sahabat sejak SMA, dipertemukan oleh takdir.
Sesekali Arsyi mengangguk, hatinya makin tercekat oleh setiap kata yang terucap. Hingga pada akhirnya ia memahami, Raisa adalah perempuan yang teramat dicintai oleh dua pria namun juga perempuan yang nasibnya dihancurkan secara tragis.
“Jadi... kakak iparnya tega menodai Nyonya Raisa? Lalu, setelah itu... apa yang sebenarnya terjadi?” suara Arsyi bergetar oleh iba, namun ia memaksakan diri bertanya.
Rendra berbalik, mendekatkan wajahnya ke arah Arsyi. Tatapannya sedingin jurang terdalam. “Ini rahasia kelam kami! Jika kau tahu, kau harus berjanji dengan nyawamu. Sampai kapan pun, jika hal ini terhembus keluar... aku sendiri yang akan mencabut hidupmu.”
Glek!
Arsyi menelan ludahnya dengan susah payah. Rasa takut menjalar, tapi hatinya sudah bulat. “Jika saya melanggar, saya rela mati di tangan Anda.”
Rendra terdiam beberapa detik, ia memalingkan wajah lalu kembali bersuara dengan nada berat yang sarat luka.
“Saat Rio mengetahui apa yang diperbuat kakak laki-lakinya, ia mencoba membunuh kakaknya sendiri. Tapi insiden itu berakhir tragis... Rio yang kehilangan nyawa.”
Arsyi membekap mulutnya agar teriakan tak meluncur keluar, tubuhnya bergetar hebat.
“Rio meninggal tepat di depan Raisa,” lanjut Rendra, suaranya serak. “Ia menyaksikan pria yang paling ia cintai meregang nyawa di hadapannya. Sejak saat itu... Raisa tenggelam dalam jurang depresi. Keluarga Rio menutup rapat tragedi itu, bahkan menyiksanya setiap kali Raisa mencoba mengingat. Untung saja aku datang, meski terlambat. Saat kutemukan, Raisa sudah berada di ambang kehancuran.”
Rendra menahan napas, lalu meneruskan dengan getir. “Tak lama, Raisa hamil. Ia histeris, berteriak tak ingin mengandung anak kakak iparnya. Aku sendiri tak pernah tahu, apakah bayi itu darah daging Rio... atau hasil nista dari pria keji itu. Tapi saat itu aku memutuskan satu hal, aku akan melindunginya. Aku menikahinya, namun... tak ada perubahan. Raisa semakin memburuk, hingga akhirnya harus kutitipkan pada fasilitas rumah sakit jiwa terbaik. Tetapi, tetap saja tak ada kemajuan sampai hari ini.”
Arsyi menunduk, kedua tangannya mengepal erat di dada. Matanya panas, dadanya perih. Hidup Raisa, ternyata tak berbeda jauh darinya. Disiksa, dipenjara dalam luka dari keluarga suaminya. Bedanya, penderitaan Raisa jauh lebih kejam. Wanita itu korban pemeerkosaann, dan korban kehilangan cinta sejatinya dalam satu waktu.
Keheningan menggantung setelah kalimat terakhir Rendra lenyap ditelan udara. Ruangan kerja itu seolah membeku, hanya terdengar detak jam dinding yang kian menekan dada.
Arsyi menatap pria di depannya dengan perasaan campur aduk. Antara iba, hormat sekaligus getir. Betapa berat beban yang dipikul Rendra selama ini, betapa dalam luka yang ia simpan sendirian.
Namun lebih dari itu, Arsyi justru semakin yakin. Raisa tidak boleh terus terpuruk dalam kegelapan. Bukan hanya demi dirinya, melainkan juga demi seorang bayi kecil yang berhak merasakan kasih sayang ibunya.
“Tuan... saya mungkin hanyalah orang luar yang tak tahu apa-apa tentang luka kalian. Tapi saya percaya... Nyonya Raisa masih bisa diselamatkan. Mungkin tidak untuk kembali seperti dahulu, tapi setidaknya... untuk mengenali Tuan kecil, untuk merasakan sedikit cahaya dalam hidupnya.”
Rendra menoleh perlahan, matanya memerah seolah ada bara yang lama terpendam. “Kau bicara seakan itu mudah! Berbulan-bulan ini aku berjuang, tapi hasilnya nihil. Raisa semakin hancur, semakin menjauh dari dunia!”
Arsyi menggenggam tangannya erat di depan dada, seolah menahan perihnya sendiri. “Saya mengerti. Saya pun... pernah terjebak dalam jurang yang sama, Tuan. Luka yang ditorehkan oleh orang yang seharusnya melindungi, justru menghancurkan. Tapi... bukankah justru karena itu, kita tak boleh menyerah?”
Kata-kata Arsyi menggema di dalam hati Rendra, memecah kebekuan yang selama ini ia pendam. Untuk pertama kalinya, lelaki itu terlihat rapuh seakan topeng kekuatannya runtuh.
Akhirnya dengan suara rendah penuh getir, Rendra berkata. “Kau benar... tapi aku takut. Takut melihat Raisa semakin tersiksa, takut ia menolak bayinya. Bagaimana bila semua usahamu hanya membuat lukanya semakin dalam?”
Arsyi menatapnya dengan mata berkaca-kaca, tapi penuh keteguhan. “Mungkin saya bukan siapa-siapa, Tuan. Tapi izinkan saya mencoba. Demi Nyonya Raisa... dan demi Tuan kecil Aidan, yang berhak dipeluk ibunya. Jika semua gagal, saya akan menanggung semua risikonya.”
Rendra terdiam lama. Pandangannya jatuh pada meja kerjanya, lalu beralih pada wajah Arsyi yang tampak begitu tulus.
Helaan napas berat meluncur dari dadanya, seolah melepaskan beban yang selama ini tak pernah ia bagi pada siapa pun. “Baiklah... aku akan memberimu kesempatan. Tapi ingat Arsyi... satu kesalahan kecil saja, aku tak akan ragu menghentikanmu dan menghukummu!”
“Terima kasih, Tuan. Saya berjanji, saya akan melakukan segalanya untuk Nyonya Raisa dan Tuan kecil.”
“Apa ide mu?“
“Begini...“ Arsyi mulai menjelaskan idenya.
Rendra mendengarkan ide Arsyi tanpa menginterupsi, lantas di balik tatapannya... ada harapan.
Sementara Arsyi dengan langkah gemetar namun mantap, keluar dari ruangan itu setelah menjelaskan idenya. Malam terasa semakin dingin, namun di dalam dadanya nyala tekad kecil mulai tumbuh. Tekad untuk mengembalikan cahaya pada seorang perempuan, yang hampir seluruhnya ditelan kegelapan.
Esoknya...