Anatasya menyembunyikan identitasnya sebagai putri bungsu keluarga konglomerat dari suaminya. Ia membantu Adrian membuka perusahaan. Tapi siapa sangka ternyata Adrian tidak pernah mencintai Anatasya, dia bahkan jijik dengan bau amis yang melekat pada tubuh istrinya.
Suatu hari, Adrian menceraikan Anatasya dan mengungkapkan bahwa dia memiliki pacar, yaitu Clara, seorang wanita kaya dan cantik yang merupakan adik sepupu dari keluarga Santoso.
Anatasya merasa hancur dan terhina. Tasya akan membuat orang yang menyakiti nya membayar mahal dibantu oleh ketiga abangnya. Damian, Julian dan Rafael.
Ketiga Abangnya tidak akan membiarkan adik bungsu mereka terluka.
Bagaimana reaksi Adrian dan keluarga nya setelah mengetahui jika wanita yang selama ini mereka hina adalah putri konglomerat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Anak Haram
Sandi, Yogi, dan Bram, Mereka saling berpandangan, bertanya-tanya siapa wanita yang tiba-tiba mengaku sebagai adik Rafael.
Yogi, dengan alis terangkat tinggi, menatap Clara dengan curiga. "Adik Rafael?" tanyanya, suaranya sarat dengan ketidakpercayaan.
"Bukannya adik Rafael itu Tasya ya? Terus kamu siapa?"
Bram, yang berdiri di samping Yogi, menambahkan dengan nada tegas, "Sebenarnya kamu itu siapa? Kami baru saja bertemu adik Rafael. Aku bisa lapor polisi kalau kamu nggak jujur." Matanya menyipit, menilai setiap reaksi di wajah Clara.
Clara, yang hatinya bergejolak antara amarah dan ketakutan, menelan ludah. 'Ternyata Kak Rafael mengenalkan Tasya sebagai adiknya. Kak Rafael ternyata suka sama wanita sialan itu,' batinnya, rasa cemburu dan dendam semakin membara.
"Kalian salah paham," ujarnya, suaranya sedikit bergetar. "Aku benar-benar adik sepupu Rafael. Tasya itu cuma penipu yang hanya ingin naik ranjang kakakku."
Ucapan Clara menyulut kemarahan teman-teman Rafael. "Brengsek!" seru salah satu dari mereka, matanya memancarkan amarah.
"Berani-beraninya kamu bicara seperti itu tentang Tasya!"
Tepat pada saat itu, Rafael muncul, ekspresinya keras dan dingin. "Kamu bilang apa?" tanyanya, suaranya rendah dan mengancam. Di sampingnya, Tasya berdiri dengan tenang, kedua tangannya bersidekap dada, menatap Clara dengan tatapan tajam.
Clara, yang wajahnya pucat pasi, tergagap, "Kak Rafael, akhirnya kamu kembali."
Rafael melangkah mendekat, matanya menatap Clara dengan tajam. "Kamu umpatin Tasya apa?"
"Maaf, Kak Rafael," kata Clara, berusaha menahan air mata. "Aku cuma nggak mau kakak ditipu. Wanita itu bukan wanita baik-baik. Kalau kakak nggak percaya, kakak bisa tanya pada Pak Adrian dari grup Pratama."
"Adrian juga datang?" tanya Rafael, alisnya terangkat.
"Ah, iya," jawab Clara, sedikit lega karena memiliki saksi.
"Kebetulan aku ada urusan sama dia. Di mana dia? Panggil dia ke sini!" perintah Rafael, suaranya tegas.
"Beneran? Oke, aku telepon dia," kata Clara, mengeluarkan ponselnya dengan tangan gemetar.
Clara, dengan langkah cepat dan wajah tegang, menjauh untuk menelepon Adrian.
Di belakangnya, Yogi menghampiri Rafael, matanya penuh pertanyaan. "El, apa dia benar-benar adikmu?" tanyanya, suaranya pelan namun penuh ketidakpercayaan.
Rafael, dengan ekspresi datar, menjawab singkat, "Bukan."
Yogi mengangguk, seolah membenarkan kecurigaannya sendiri. "Sudah kuduga," gumamnya. "Dia sama sekali nggak sebanding dengan Tasya. Bahkan satu jari pun dia kalah cantik dengan Tasya. Gimana bisa dia adikmu." Nada suaranya mengandung campuran antara keheranan dan ketidaksetujuan.
Sementara itu, Tasya berbisik kepada Rafael, "Kak, jangan berlebihan. Kudengar Paman sangat memanjakan anak haram itu. Bagaimanapun, sebagai senior keluarga Santoso, kita harus kasih hormat." Suaranya lembut namun tegas, menunjukkan kebijaksanaannya.
Rafael mengangguk, menenangkan Tasya dengan tatapan lembut. "Tenang, kakak tahu."
***
"Halo, Kak Adrian. Kak Rafael setuju ketemu kakak. Cepat ke sini! Bawa Winda juga," seru Clara, suaranya penuh kemenangan, saat sambungan telepon tersambung.
"Rafael setuju bertemu?" tanya Adrian, suaranya terdengar kaget bercampur curiga.
"Benar, aku bilang sama Kak Rafael kalau Tasya itu bukan wanita baik-baik, dia baru cerai dari kamu langsung jalin dengan pria lain. Kelihatannya dia marah dan menyuruhku untuk memanggil kakak. Nanti kakak harus manfaatkan kesempatan ini untuk injak-injak wanita itu," jelas Clara, nadanya penuh kebencian.
"Oke, tunggu aku. Aku segera ke sana," ucap Adrian, menutup telepon dengan senyum licik.
Clara, dengan senyum puas, membayangkan Tasya dipermalukan di depan Rafael. Dendamnya pada Tasya membuatnya rela melakukan apa saja.
"Kak Rafael setuju bertemu kita, Kak?" tanya Winda, matanya berbinar penuh harapan.
"Sepertinya tebakanmu benar. Tamu yang diundang Rafael itu Clara. Kalau tidak, dia tidak akan mau bertemu dengan kakak," ucap Adrian, matanya menyipit penuh perhitungan.
"Sayang sekali, kalau saja yang diundang itu putri keluarga Santoso. Kakak bisa ambil kesempatan untuk jadikan dia milik kakak. Dan aku juga bisa lebih dekat sama Rafael. Meski disayangkan bukan putri keluarga Santoso, tapi itu lebih baik daripada Tasya sialan," gerutu Winda, masih terus mengumpat Tasya, mantan kakak iparnya.
"Tidak penting siapa yang diundang, masih lebih baik itu bukan Tasya. Soal putri keluarga Santoso, cepat atau lambat dia akan jadi milikku. Ayo!" seru Adrian, nada suaranya penuh keyakinan.
***
"Kak Rafael, ini Pak Adrian dari grup Pratama," ucap Clara dengan senyum yang dibuat-buat, berusaha mencairkan suasana tegang yang entah kenapa tiba-tiba ia rasakan. Adrian menjulurkan tangannya, menampilkan jam tangan mewahnya.
"Pak Rafael, apa bapak masih mengingat saya? Kita pernah bertemu di pesta amal keluarga Santoso waktu itu," sapa Adrian dengan nada sok akrab. "Sayangnya, pertemuan kita diwarnai sedikit kesalahpahaman. Saya datang hari ini dengan itikad baik untuk meminta maaf atas kejadian tersebut."
Rafael menatap Adrian datar, tanpa membalas uluran tangannya. Clara dan Winda, yang berdiri di samping Adrian, saling bertukar pandang cemas.
"Kudengar kau dan Tasya bercerai karena latar belakang Tasya yang kurang baik?" tanya Rafael, suaranya dingin dan menusuk seperti es. Matanya menelisik setiap inci wajah Adrian.
Adrian tertawa kecil, meremehkan. "Itu hanya salah satu faktor, Pak Rafael. Tapi sejujurnya, alasan utama saya menceraikan wanita itu karena dia penuh dengan kebohongan. Dia tidak punya keinginan untuk berubah menjadi lebih baik, dan yang paling menjijikkan, dia berselingkuh di belakang saya."
"Selingkuh?" ulang Rafael, alisnya sedikit terangkat namun ekspresinya tetap sulit dibaca.
"Benar sekali," jawab Adrian dengan nada penuh kemenangan. "Tasya itu wanita sialan yang gila hormat. Dia tidur dengan banyak pria, Pak Rafael.
Bahkan asisten pribadi Anda dan beberapa pelayan di keluarga Santoso juga dia layani. Saya tidak tahan lagi hidup dengan wanita seperti itu, jadi saya putuskan untuk mengakhiri pernikahan ini."
Amarah Rafael mendidih di dalam dadanya mendengar hinaan Adrian terhadap adik perempuannya. Namun, ia berusaha keras untuk mempertahankan ketenangannya, bagai gunung es yang kokoh. Clara dan Winda tampak semakin tidak nyaman dengan arah pembicaraan ini.
"Namun, yang kudengar, kesuksesan Pak Adrian saat ini justru berkat dukungan dan koneksi dari mantan istri Anda," ucap Rafael, tatapannya kini mengunci mata Adrian dengan intensitas yang mengintimidasi. Ada nada ancaman yang tersirat dalam setiap katanya.
Adrian tersentak, sedikit kehilangan kepercayaan diri. "Pak Rafael, saya bisa mencapai kesuksesan ini berkat usaha dan kerja keras saya sendiri.
Sejujurnya, Clara, sepupu Anda sendiri, yang banyak membantu dan memberikan dukungan kepada saya. Sementara Tasya? Dia hanyalah seorang penjual ikan yang tidak mengerti apa-apa tentang bisnis. Bahkan, dia tidak pantas membawakan sepatu Clara. Benar kan, Sayang?" Adrian melirik Clara sambil terkekeh sinis.
"Memang!" jawab Rafael dengan nada yang penuh penekanan, membuat Adrian dan Winda tersenyum bangga. Clara pun ikut tersenyum tipis, merasa sedikit lega karena Rafael seolah memihaknya.
Namun, senyum itu seketika membeku saat Rafael melanjutkan ucapannya dengan nada dingin dan menusuk, "Clara itu hanyalah anak haram kedua pamanku."
Mata Clara melotot tak percaya. Adrian dan Winda pun terkejut bukan kepalang.
"Tasya bahkan tidak pantas membawakan sepatu Clara?" ulang Rafael, kini dengan nada mencemooh. "Tentu saja tidak pantas. Seorang wanita terhormat seperti Tasya tidak akan sudi menyentuh kaki wanita rendahan seperti dia."
"Ma-maksudnya?" tanya Adrian dengan suara tercekat, wajahnya pucat pasi. Winda di sampingnya tampak sama terkejutnya.
Clara menggelengkan kepalanya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Kak Rafael, kenapa Kakak memperlakukan aku seperti ini?" tanyanya dengan suara bergetar. "Meskipun aku anak haram ayahku, tapi aku tetap sepupumu." ucap Clara terisak.
...----------------...