Setelah berhasil kabur dari Ayah angkatnya, Iyuna Marge memutuskan untuk bersekolah di sekolah elite school of all things Dengan Bantuan Pak kepala yayasan. Ia dengan sengaja mengatur nilainya menjadi 50 lalu mendapat kelas F. Di kelas F ia berusaha untuk tidak terlihat mencolok, ia bertemu dengan Eid dan mencoba untuk memerasnya. Begitu juga beberapa siswa lainnya yang memiliki masa lalu kelam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggara The Blukutuk³, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi yang cerah, lagi
Di keesokan harinya, "Nghh~" Iyuna berguling-guling dalam keadaan setengah sadar, selimutnya melilit tubuhnya seperti kepompong yang berantakan. Rambut panjangnya tersebar di atas bantal seperti kipas yang terbuka lebar.
Ia kemudian membuka matanya perlahan, kelopaknya berat melawan cahaya redup pagi yang menyusup melalui tirai. "nngh~" lalu mengucek kedua matanya dengan punggung tangannya, gerakan melingkar yang lambat. Ia bangkit duduk di tempat tidurnya dengan gerakan tersentak, membuat kancing baju tidurnya yang setengah terbuka tersingkap sedikit, menampakkan kulit pucat di bawahnya.
Pandangannya yang masih kabur tertuju pada ponsel yang terletak di mejanya, berkedip-kedip dengan cahaya biru keputihan. Tangannya menggapai, jari-jarinya menyapu permukaan meja sebelum berhasil menggenggam benda itu. "Apa ini?" gumamnya, matanya menyipit menatap layar ponsel yang menyala sendiri, cahayanya memantul di iris matanya yang masih berkabut kantuk.
Ia menatap jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 04.20 AM, angka-angka digital itu berpendar terang di ruangan yang masih gelap. Ibu jarinya mengusap layar untuk membuka kunci, lalu melihat sebuah notifikasi pesan dari kontak bernama RV12A. Ia menekan notifikasi itu dengan gerakan cepat, dan muncul sebuah pesan di layar. Benar, Iyuna menyimpan nomor Rakha sebagai RV12A.
"Ini?" gumam Iyuna, alisnya bertaut sementara matanya menyusuri setiap kata di layar ponselnya dengan intensitas tinggi.
Isi pesannya adalah:
"Sesuai janjiku, ini adalah Email dan Password untuk mengakses data siswa di DriveCloud. Email:***** & Password:****"
Iyuna langsung menyibakkan selimutnya dengan gerakan kasar, lalu beranjak dari tempat tidurnya dengan terburu-buru. Baju tidurnya yang agak terbuka bergoyang tertiup angin dari jendela kamar, namun ia tidak menyadarinya. Kakinya bergerak cepat, hampir tersandung karpet kecil di samping tempat tidur. Ia langsung berlari keluar kamar tidur, langkahnya bergema di lorong sepi rumahnya, dan mencari sesuatu di tas ranselnya yang tergeletak di sofa ruang tengah. Tangannya mengeluarkan sebuah laptop dari dalam tas dengan gerakan tak sabar, menariknya keluar seperti menemukan harta karun.
Iyuna kemudian meletakkan laptop ke atas meja kerjanya dengan hentakan ringan, lalu membukanya dengan satu gerakan cepat. Layarnya menyala, menerangi wajahnya dengan cahaya kebiruan yang kontras dengan kegelapan ruangan. Tak lupa ia melangkah ke dapur, membuka kulkas dengan tarikan kuat hingga botol-botol di dalam pintu kulkas bergetar pelan. Tangannya meraih sekaleng soda dingin, jari-jarinya berembun saat memegang kaleng itu.
Kembali ke meja, ia menenggak sodanya dengan cepat, bulir-bulir dingin menetes di dagunya. Ia menggerakkan jarinya di trackpad dengan keterampilan seorang pianis, cepat dan presisi. Jemarinya menari di atas keyboard, mengetikkan Email & password yang diterimanya ke laman DriveCloud untuk mengakses data siswa yang ia minta sebelumnya. Suara ketikan itu memecah keheningan pagi buta.
Setelah halaman terbuka, matanya yang tajam menelusuri dari atas ke bawah data dari seluruh siswa Elite School Of All Things. Pupilnya bergerak cepat, menyerap informasi dengan kecepatan yang tidak wajar. Jarinya menggeser scroll mouse dengan gerakan pendek dan cepat, sementara otaknya merekam setiap detail yang tampil di layar. Ia menggigit bibir bawahnya dengan konsentrasi penuh, sesekali menyesap sodanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
Lalu, ia berhenti di satu titik, jarinya membeku di atas trackpad. Matanya terpaku pada deretan kolom yang berisi nama siswa tertentu. "Reza Cardwel?" gumam Iyuna, suaranya nyaris tak terdengar.
"Kelas 10E? Baiklah," gumamnya, mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya sebagai tanda ia sedang berpikir.
Ia kemudian bangkit dengan gerakan cepat, Ia berjalan ke kamar mandi untuk bersiap, mengambil handuk dari gantungan dengan tarikan kuat, lalu mandi dan berpakaian seragam dengan gerakan-gerakan efisien. Rambut panjangnya ia sisir dengan rapi, menyisakan sedikit gelombang alami di ujungnya.
Di sekolah, tepatnya pukul 05.50 AM, koridor-koridor masih sepi dengan cahaya lampu yang baru dinyalakan. Saat itu, Iyuna masih dalam perjalanan, kakinya melangkah di trotoar, dengan tas tersandang di punggungnya.
Di kelas, sudah ada Eid dan Sherin. Eid sedang membaca buku di mejanya, jarinya membalik halaman dengan gerakan hati-hati, matanya fokus menelusuri setiap baris tulisan. Sementara Sherin sedang menghapus papan tulis, tangannya bergerak dengan ritme konstan, menghasilkan suara decitan khas penghapus pada permukaan papan tulis.
"Hei Eid, maukah kau ikut denganku sebentar?" tanya Sherin, nadanya cukup tegas sementara ia meletakkan penghapus papan tulis kembali ke tempatnya.
"Kemana?" tanya Eid, mengangkat wajahnya dari buku, alisnya terangkat penasaran.
Sherin mendekat dengan langkah-langkah panjang dan cepat, ia menggeret bahu Eid dengan tarikan yang tidak bisa dibantah. "Sudahlah, ayo," — "Tu-tunggu," ucap Eid, terseret-seret, kakinya hampir tersandung kaki meja.
Mereka pun berhenti setelah berjalan cepat melewati beberapa koridor. Sherin membawa Eid di halaman kamar mandi, tempat yang tersembunyi di balik tangga, dan tempat itu saat ini sepi, hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang tidak tertutup rapat.
"Brwak!" Sherin menghalau Eid dengan gerakan tiba-tiba, lalu mendorongnya ke tembok dengan kedua tangannya. Suara punggung Eid yang membentur dinding bergema pelan di area yang kosong itu.
Eid kaget, tubuhnya tersentak, "E-eh?" ia menoleh ke kanan kiri dengan panik, matanya melebar, wajahnya memerah seperti kepiting rebus.
Sherin tersenyum jahil, bibirnya melengkung nakal sementara matanya berkilat. "Hei Eid? Mengapa dirimu akhir-akhir ini begitu dingin kepadaku?" ucap Sherin, nadanya agak gelisah, jemarinya memainkan kerah kemeja Eid dengan gerakan lambat.
Eid membuang muka, kepalanya berputar ke samping, menghindari tatapan langsung. "Ng-nggak kok," ucapnya gugup, jari-jarinya meremas tepi bajunya sendiri.
"Apa kau marah karena perilaku ku di SMP?" ucap Sherin, ia menunduk, rambutnya jatuh menutupi sebagian wajahnya seperti tirai.
"Aku tau kok! Itu memang tidak bisa dikembalikan lagi! Tapi-tapi, aku tidak ingin kehilanganmu, Eid!" ucap Sherin, matanya berkaca-kaca berkilau ditimpa cahaya pagi, tangannya mencengkeram pundak Eid, jarinya menggali kain seragam.
Eid mengelus lembut pipi Sherin dengan punggung tangannya, gerakan perlahan seperti menyentuh kelopak bunga yang rapuh. "Nggak kok, itu bukan salahmu—"
"—Itu salahku karena aku tidak bisa melindungimu waktu itu, lagipula waktu itu Sherin melindungiku kan?" ucap Eid, nadanya melembut mengusap air mata Sherin yang mulai mengalir, jempolnya mengikuti jalur basah di pipi gadis itu.
"Hiks... Hiks," Sherin pun mulai menangis di depan Eid, bahunya berguncang, tubuhnya merosot perlahan seolah kehilangan kekuatan.
Eid hanya bisa menatapnya sembari tersenyum lembut, matanya menyiratkan kasih. "Udah yah," ucapnya sambil mengelus lembut kepala Sherin, jarinya menyisir helaian rambut gadis itu dengan sentuhan yang nyaris tak terasa.
"Hwaaa~" tangis Sherin semakin kencang, air matanya mengalir deras seperti hujan.
Eid hanya terus mengelus lembut Sherin hingga tangisnya mereda, tangannya bergerak dalam pola menenangkan. Setelah tangisnya mereda, napasnya masih tersengal-sengal, Sherin lalu mengejutkan Eid dengan mendorongnya hingga Eid terjatuh ke lantai. "Brwak!" punggung Eid membentur lantai dengan suara keras, dan Sherin langsung menindih Eid di bawahnya, lutut dan tangannya mengapit tubuh lelaki itu. Karena Sherin lebih tinggi dari Eid, Eid jadi tidak bisa bergerak, terkunci oleh berat tubuh dan posisi Sherin di atasnya.
Sherin menahan kedua tangan Eid di atas kepalanya dengan cengkeraman kuat, jari-jarinya melingkar di pergelangan tangan Eid. Ia lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Eid dengan gerakan lambat namun pasti, napasnya terasa hangat menerpa wajah Eid. "Mmcchh~" benar, Sherin mencium bibir Eid dengan ciuman dalam selama 10 detik, matanya terpejam rapat, bulu matanya bergetar halus.
Mata Eid melebar seperti bulan purnama, wajahnya memerah hingga ke telinga, panas menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia hanya menerimanya saja tanpa melawan, tubuhnya kaku seperti patung. Setelah bibir mereka terlepas dengan suara lembut, Sherin tersenyum puas. "Itu pertama kali bagiku lohh," ucap Sherin, tersenyum jahil ke arah Eid, jari telunjuknya menelusuri garis rahang Eid.
"A-Apa? Be-benarkah?" tanya Eid gugup, suaranya bergetar seperti daun di tiupan angin.
Sherin mengangguk, gerakan kepalanya yang mantap membuat rambutnya berayun pelan. Ia lalu memalingkan wajahnya dengan malu, rona merah menjalar di pipinya. "Kau tau? Saat itu, aku tidak dicium," ucapnya, jarinya memainkan kancing seragam Eid.
Pipi Eid memerah semakin dalam, seperti buah apel matang. "O-oh begitu yah, lalu, mengapa kau memberikannya padaku?" tanya Eid, menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, gerakan khas saat ia merasa canggung.
"Itu karena, aku menyukaimu," goda Sherin, menyentuh hidung Eid dengan ujung jarinya dalam gerakan main-main.
Lalu, "Ekhem," suara deham dari pintu mengejutkan mereka, suara itu tajam dan dingin seperti mata pisau. Seseorang berdiri di belakang mereka, siluetnya terpotong cahaya pagi.
Mendengar itu, Sherin langsung kaget dan reflek berdiri dari tubuh Eid dengan gerakan menyentak, hampir tersandung kakinya sendiri. Ia menengok ke belakang dengan gerakan leher yang terlalu cepat. "T-t-t-tidak tidak! Ini tidak seperti yang kau lihat—"
"—Iyuna!" elak Sherin, mengibas-kibaskan tangannya di udara dengan panik, jari-jarinya bergerak seperti kipas rusak.
Iyuna bersandar ke dinding dengan sikap santai, satu kakinya ditekuk dengan telapak kaki menempel di dinding. "Apa yang kalian lakukan disini? Berdua?" ucapnya datar, matanya menyapu pemandangan di depannya dengan ekspresi tak terbaca.
"Etto..." ucap Sherin, otaknya berputar cepat memikirkan alasan, tangannya memainkan ujung seragamnya dengan gelisah.
"Kau sendiri? Kenapa kau disini?" tanya Eid, nadanya meninggi, bangkit dari lantai dengan gerakan defensif. Ia tampak kesal melihat Iyuna, matanya menyipit tajam.
"Sudahlah, jangan mengelak. Aku melihat kalian dari awal," ucap Iyuna datar, tangannya menyisir rambutnya ke belakang dengan gerakan mulus.
"D-d-d-dari awal?" ucap Eid kaget, wajahnya memerah seperti tomat matang, keringat dingin mulai membasahi dahinya.
"Ya, aku melihat Sherin yang mendorongmu ke tembok hingga saat kalian berciuman," ucap Iyuna datar, matanya tak berkedip.
"Ya, tapi itu tidak penting sih," sambungnya, mengangkat bahu dengan sikap tak acuh.
Iyuna kemudian mengeluarkan beberapa kertas dari sakunya dengan gerakan terlatih, kertas itu terlipat-lipat rapi. "Nah," ucapnya, melempar santai kertas itu ke tangan Eid, lemparan yang tepat sasaran.
"Apa ini?" tanya Eid penasaran, jari-jarinya membuka lipatan kertas dengan hati-hati, matanya menyipit untuk membaca tulisan di dalamnya.
"Sebarkan, tempelkan di tembok-tembok," perintah Iyuna, tangannya membuat gerakan menyebar di udara.
Membaca kertas itu, mata Eid terbelalak tak percaya, pupilnya mengecil karena syok. "I-inikan!"