Arif Pradipta, begitu Emak memberiku nama ketika aku terlahir ke dunia. Hidup ku baik-baik saja selama ini, sebelum akhirnya rumah kosong di samping rumah ku di beli dan di huni orang asing yang kini menjadi tetangga baruku.
kedatangan tetangga baru itu menodai pikiran perjakaku yang masih suci. Bisa-bisanya istri tetangga itu begitu mempesona dan membuatku mabuk kepayang.
Bagaimana tidak, jika kalian berusia sepertiku, mungkin hormon nafsu yang tidak bisa terbendung akan di keluarkan paksa melalui jari jemari sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
⁵ Dua Telur Satu Sosis
"Maaf ya, Mbak. Aku gak sengaja ngerem mendadak."
Ku putar tubuh dan segera merengkuh tubuh berisi itu. Berharap perempuan milik orang ini segera tenang. Bagaimana pun juga, aku yang menyebabkannya ketakutan seperti ini.
'Mas Nata, ampun Mas. Semoga kamu gak melihat kejadian ini. Percayalah, aku memeluk istrimu hanya untuk membuatnya tenang. Bukan untuk merebutnya darimu.'
Haish, aku berbicara dengan diriku sendiri, karena kenyataan nya Mas Nata gak ada di tempat ini.
Setelah hati Mbak Rifani kembali tenang, kami melanjutkan perjalanan hingga berhenti di parkiran sebuah supermarket yang ada di kota ini. Mbak Rifani gak membiarkan ku menunggu di parkiran, dia mengajakku masuk
"Saya nggak nyaman kalo di dalam sendirian, kelihatan banget kalo nggak punya temen," ujarnya dengan tampang memelas.
Oke lah, kali ini biar ku temani dia. Anggap saja sebagai permintaan maaf ku yang hampir membuatnya celaka. Mbak Rifani mengambil kereta dorong, sementara aku hanya kowah-kowoh tanpa tahu apa yang harus ku lakukan.
Melewati lorong yang di samping kanan kirinya tertata berbagai kebutuhan rumah tangga, tangan Mbak Rifani dengan cekatan mengambil barang-barang yang ia perlukan.
"Kamu mau beli apa, Rif? Ambil aja, gapapa," ujar Mbak Rifani di sela-sela kesibukannya.
"Ah, iya Mbak." Namun, aku gak mengambil apapun, sadar kalau dompet ku gak ada isinya.
"Oh iya, boleh minta tolong dorongin ini? Udah mulai berat. Hihi," pintanya dengan suara yang begitu manis.
Sepertinya dia sudah melupakan kejadian yang membuatnya takut tadi, syukurlah.
"Oh, tentu saja," jawabku dengan memamerkan deretan gigi.
Kata pak ustaz, jika tidak mampu beramal dengan harta, maka perbanyaklah tersenyum, karena senyum di depan orang lain merupakan sedekah. Alibi ku sebagai seorang tuna dompet tebal. Haha.
Aku pun mendorong kereta yang mulai penuh dengan barang-barang. Kami berjalan beriringan. Beberapa pasang mata, menatap kami dengan ceria.
Pasti mereka berpikir jika aku dan Mbak Rifani adalah sepasang pengantin baru yang sedang romantis-romantisnya. Yaelah, kumat Kepedean ku.
Aku berpamitan menunggu di luar, ketika Mbak Rifani mengantre di kasir, dan perempuan baik hati itu mengiyakannya. Pasti rasanya malu sekali, ketika perempuan mengeluarkan kartu kredit, sementara si lelaki hanya bengong di belakang nya.
"Rif, mampir ke tempat makan itu dulu, yuk. Saya lapar."
Modiar, di kantong ku hanya tersisa dua puluh ribu yang rencananya mau ku belikan pertalite. Mana cukup untuk beli makanan di tempat semewah itu?
"Oh, aku menunggu di sini aja lah, Mbak. Mbak Rifani bisa 'kan ke sana sendiri?" Aku menolaknya dengan tetap memamerkan senyum.
"Udah, ayok. Tenang aja, nanti saya yang bayar," ucap Mbak Rifani to the point, seolah sudah mengerti alasanku menolak ajakannya.
"Aku udah kenyang loh, Mbak. Beneran. Kapan-kapan deh, kita makan bareng," kilahku, agar gak malu-malu amat.
"Ayoklah...." Mbak Rifani gak mengindahkan penolakan ku. Tangan nya dengan santai menggenggam lenganku agar menyeimbangkan langkah nya.
Akhirnya di sinilah kami berada, di tempat makan mewah-menurut kantong ku yang tipis. Mbak Rifani duduk di hadapan ku dengan meja bundar di tengah nya, setelah memesan makanan. Entah apa yang di pesan nya. Aku sih nurut saja, Iha wong di traktir juga.
Kami berbincang-bincang sambil menunggu pesanan makanan datang, sesekali menyeruput minuman masing-masing. Gak pakai acara cheers, karena ini bukan dinner nya sepasang kekasih. Jiiaah.
Seorang pelayan membawa dua piring makanan dan mempersilakannya pada kami. Ternyata Mbak Rifani pesan nasi goreng spesial pakai toping telur ceplok dan sosis.
"Kamu suka telur nggak, Rif?"
"Suka."
'Suka kamu' lanjut ku dalam hati.
Aku melongo ketika tiba-tiba Mbak Rifani menyendok telurnya dan menaruhnya dalam piringku.
"Biar tambah spesial. Hihi," ujarnya..
Aku memandangi piringku. Dua telur satu sosis? Aku 'kan jadi membayangkan yang nganu-nganu.
Apa yang kita pikirkan saat ini, sama, Mbak?
"Yang spesial buat orang spesial ... nasi goreng toping dua telur satu sosis, biar cepet gedhe. Hehe." Mbak Rifani melanjutkan kalimat nya.
"Apa yang gedhe, Mbak? Aakh... jangan membuatku dewasa sebelum waktunya, Mbak."
Uhuk!
Mbak Rifani sampai terbatuk-batuk mendengar ucapanku.
"Dih, Arif. Dasar kamu nya aja yang udah mesum duluan. Maksud saya tuh, makan dan yang banyak biar cepet gedhe. Kamu 'kan masih masa pertumbuhan."
"Iya iya, aku udah tahu maksud, Mbak Rifani, kok. Lagi pengen bercanda aja. Hehe. Lagian 'kan aku emang udah dewasa, udah sembilan belas tahun loh. Boleh dong, mikirin yang agak dewasa dikit? Wkwkk."
"Udah, buruan di makan. Nanti keburu dingin loh."
"Iya."
Kami pun menikmati nasi goreng masing-masing. Rasanya enak. Seenak perasaan ku ketika menatap wajah Mbak Rifani. Jiah.
"Rif, menurutmu, apa yang membuat seorang laki-laki nggak tertarik pada wanita?"
Tiba-tiba Mbak Rifani bertanya dengan nada serius ketika makanan di piring ku sudah tandas. Padahal nasi di piring nya sendiri masih tersisa separuh, tapi sepertinya perempuan itu sudah gak bernafsu untuk menghabiskannya.
"Ada banyak hal sih. Bisa karena wajah si perempuan kurang menarik, bisa juga kelakuan nya yang kurang baik," jawabku asal. Gak ahu siapa yang sedang di bahas nya.
"Menurutmu, wajahku menarik gak?"
"Lebih dari menarik lagi, Mbak. Udah bisa bikin para pria klepek-klepek, itu mah."
"Ah masa? Termasuk kamu gak?"
"Iya." Ups keceplosan.
"Eh, nganu. Maksudku, setiap lelaki yang memandang Mbak Rifani, pasti akan langsung tertarik," imbuhku, biar gak di anggap tertarik pada perempuan milik orang.
"Kalo perilaku ku gimana? Apa aku sering berbuat nggak baik?"
"Sejauh aku mengenal, Mbak Rifani, Mbak adalah wanita baik. Buktinya sekarang, Mbak, mau mentraktirku di tempat ini."
Aku mulai penasaran, kenapa perempuan berwajah meneduhkan itu tiba-tiba menanyakan hal semacam itu.
"Memangnya kenapa, Mbak? Ada yang mengganggu pikiran, Mbak?" Akhirnya aku menanyakannya juga.
"Iya, aku penasaran. Kenapa suamiku akhir-akhir ini jadi sering keluar kota. Apa dia sedang mau menjauhiku ya?" Mbak Rifani melayangkan kalimat tanya retoris.
Dia gak membutuhkan jawaban ku, karena dia pun tahu jika aku gak begitu mengenal suaminya. Mungkin Mbak Rifani hanya butuh teman curhat. Maka yang bisa ku lakukan hanya menjadi pendengar yang baik.
Kata orang, mencurahkan unek-unek pada orang yang d di percaya, bisa mengurangi beban hati tersebut. Mungkin istrinya Mas Nata itu sudah mulai mempercayaiku.
"Mungkin karena Mas Nata memang sedang di tugaskan ke luar kota oleh atasannya, Mbak. Positive thinking aja." Aku mencoba menghiburnya.
"Lagian, kata Angga, Mas Nata itu cemburuan 'kan? Jealous itu tanda sayang loh, Mbak," lanjut ku.