Apa jadinya jika seorang gadis remaja berusia 16 tahun, dikenal sebagai anak yang bar-bar dan pemberontak terpaksa di kirim ke pesantren oleh orang tuanya?
Perjalanan gadis itu bukanlah proses yang mudah, tapi apakah pesantren akan mengubahnya selamanya?
Atau, akankah ada banyak hal lain yang ikut mengubahnya? Atau ia tetap memilih kembali ke kehidupan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 9 - Kafilah Cinta
~💠💠💠~
Asrama santriwati berada di bangunan dua lantai yang cukup besar, terlihat bersih dan rapi. Sepanjang koridor, beberapa santri berlalu-lalang, ada yang membawa buku, ada juga yang bercanda dengan teman sekamarnya.
Setelah berada di depan salah satu kamar, Nadira berhenti dan Miska pun ikut berhenti.
"Ini kamarmu. Kamu sekamar dengan tiga santri lainnya," ujar Nadira sambil membuka pintu.
Saat masuk, di dalam sana ada empat ranjang bertingkat, satu lemari besar yang dibagi untuk empat orang, dan beberapa rak buku.
Lalu, dua santri yang sudah ada di dalam kamar menoleh ke arah mereka.
"Assalamu’alaikum," sapa Nadira.
"Wa’alaikumussalam," jawab mereka hampir bersamaan.
"Ini Miska, teman sekamar kalian yang baru," kata Nadira sambil menepuk bahu Miska pelan-pelan. "Miska, kenalan dulu, yuk."
Miska pun hanya mengangguk kecil.
Kemudian salah satu dari mereka, seorang gadis berkacamata dengan wajah lembut, tersenyum ramah dan menyapanya. "Halo, Miska. Aku Fatin."
Lalu yang lainnya, gadis berwajah cerah dengan lesung pipit di pipinya, ikut menyapa. "Aku Hana. Selamat datang di ‘rumah kedua’ kita."
Lagi-lagi Miska hanya tersenyum tipis tanpa menjawab.
"Aku taruh koper kamu di sini, ya," kata Nadira sambil mendorong koper Miska ke sisi ranjang yang kosong.
Setelah memastikan Miska sudah sedikit tenang, Nadira pun pamit.
"Kalau butuh sesuatu, kamu bisa cari aku di ruang pembimbing. Semangat, ya, Miska."
Setelah Nadira keluar, suasana di kamar pun terasa canggung.
Hana duduk di ranjangnya dan menatap Miska dengan penasaran. "Miska, kamu dari mana?," tanyanya.
"Jakarta," jawab Miska singkat.
"Oh, sama kayak aku! Berarti kita bakal nyambung banget!," seru Hana semangat.
Tapi Miska hanya mengangkat alis dan tidak merespons lebih jauh.
"Miska, kalau butuh apa-apa, bilang aja, ya. Kita di sini keluarga," tambah Fatin.
Miska hanya diam, lalu akhirnya menjawab. "Makasih."
"Nah, gitu dong. Jangan diem-dieman terus. Kita bakal tinggal bareng, loh!," balas Hana seraya tersenyum senang.
Namun, Miska hanya mengangguk kecil, lalu membalikkan badan dan pura-pura sibuk merapikan barang di kopernya.
"Tetep saja, tempat ini asing untuk gue!!."
**
Pagi pertama di pesantren terasa begitu asing bagi Miska. Sejak azan subuh berkumandang, suasana kamar sudah ramai.
Fatin dan Hana langsung bangun begitu alarm berbunyi, sementara seorang lagi, yang Miska baru tahu namanya Salsabila, sudah lebih dulu berwudhu tanpa perlu dibangunkan.
Lalu Miska?
Ia masih meringkuk di bawah selimut dan berharap semua ini hanya mimpi buruk.
"Miska, ayo bangun," suara Fatin terdengar lembut memanggilnya.
"Iya, nanti," gumam Miska malas, dan setengah sadar.
Tapi Fatin tidak menyerah. "Subuh berjamaah wajib, Mis. Kalau telat, bisa kena hukuman dari pengurus asrama," jelasnya.
Lalu, Miska pun membuka matanya sedikit, lalu melirik Fatin yang sudah berdiri di samping ranjangnya. Hana juga ikut menatapnya, tapi dengan ekspresi lebih santai.
"Kalau kamu belum biasa bangun pagi, kita bisa bantu," ujar Hana sambil tersenyum.
"Aku bisa sendiri," jawab Miska seraya menghela napas.
Fatin pun hanya mengangguk, lalu pergi bersama Hana dan Salsabila ke kamar mandi.
Begitu mereka keluar kamar, Miska kembali menutup matanya. Apa sih susahnya solat sendiri di kamar? Kenapa harus berjamaah? pikirnya kesal.
Tapi belum sampai lima menit, pintu kamar terbuka lagi, dan kali ini suara Nadira lah yang terdengar.
"Miska, ayo bangun."
Miska hanya menggigit bibirnya, karena kali ini, ia tidak bisa menghindar.
Dengan enggan, Miska bangkit, lalu meraih mukena seadanya, dan berjalan gontai ke kamar mandi.
Masjid pesantren cukup besar, dengan karpet hijau yang bersih dan rapi. Semua santri duduk bershaf rapi setelah salat, lalu mendengarkan tausiyah pagi dari seorang ustaz yang duduk di depan mimbar.
Adapun Miska, ia duduk di shaf paling belakang dan berusaha menahan kantuk.
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…" suara ustaz menggema.
"Kalau gitu, kenapa gue harus ada di sini?," batin Miska.
Sementara, Hana yang duduk di sebelahnya menoleh dan tersenyum kecil. "Ngantuk ya?," bisiknya pelan.
Miska menatapnya sekilas, lalu mengangguk.
Hana pun terkekeh lalu membalas, "Nanti juga biasa. Awal-awal aku juga gitu."
Miska tidak menjawabnya lagi, lalu kembali menunduk sambil memainkan ujung mukenanya.
Setelah tausiyah selesai, semua santri kembali ke asrama untuk bersiap-siap sekolah. Miska berjalan lambat-lambat dan berharap hari ini cepat berakhir.
Tapi sayangnya, ini baru saja dimulai.
**
Kelas di pesantren ternyata tidak jauh berbeda dari sekolah biasa, hanya saja, porsi pelajaran agama lebih banyak.
Di kelas, Miska duduk di bangku belakang karena berharap tidak terlalu menarik perhatian. Tapi tetap saja, ada beberapa santri yang tampak penasaran dengannya.
Seperti halnya seorang gadis berkacamata yang duduk di sebelahnya. Ia tersenyum ramah lalu menyapa, "Halo, aku Rahma. Baru pertama kali pesantren, ya?."
Miska meliriknya sebentar, lalu mengangguk. "Kelihatan, ya?," tanya ketus.
Meski sikap Miska begitu, tapi Rahma terkekeh. "Dari cara dudukmu aja udah kelihatan belum betah," ujarnya.
"Aku emang gak betah," jawab Miska seraya mendengus.
Rahma tidak tampak tersinggung. Sebaliknya, ia justru tertawa pelan. "🤭🤭Santai aja. Aku dulu juga gitu. Lama-lama bakal terbiasa," ungkapnya.
Sebelum Miska sempat menjawab, seorang ustazah masuk ke dalam kelas lalu membuka pelajaran pertama hari itu.
"Baik, anak-anak, hari ini kita akan membahas tentang akhlak dalam Islam…"
BERSAMBUNG...