Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7
Datangnya ajakan dinner dari Janu tiga hari setelah insiden di supermarket membuat Kayanara galau berat. Pasalnya, sejak hari itu sampai sekarang, Janu sama sekali tidak menghubunginya. Sekalinya muncul, lelaki itu malah langsung mengajak makan malam.
“Aduh, mampus. Janu kayaknya beneran mau bahas soal kejadian di supermarket," gumamnya seraya menggigiti kuku jari selagi menunggu Michelle mengangkat telepon.
Di saat seperti ini, tidak ada orang lain yang bisa dia tuju selain perempuan itu. Lagi pula, Michelle adalah alasan kenapa dirinya bisa bertemu dengan Janu hingga akhirnya berada di situasi seperti sekarang. Jadi setidaknya, Michelle harus bantu bertanggung jawab.
“Hmm?” Michelle menjawab panggilan setelah cukup lama.
“Janu ngajak dinner," sahut Kayanara tanpa tedeng aling-aling.
“Bagus, dong. Terus kenapa malah telepon gue, bukannya siap-siap?”
“Harus gue iyain?”
Michelle terdengar berdecak. “Ya iyalah, Kay! Kan biar PDKT kalian maju lagi satu langkah. Gimana, sih?!”
Kayanara menghela napas rendah. “Kalau Janu ngajakin gue dinner buat bahas soal si bontot gimana?”
“Nggak akan! Janu bukan tipikal yang kayak gitu, percaya sama gue!”
“Tapi—“
“Udah, sana iyain, terus lo siap-siap!”
Telepon diputus sepihak, meninggalkan Kayanara yang berdiri mematung di depan cermin besar di sudut kamarnya.
“Beneran harus diiyain nih?”
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
Pukul tujuh, Kayanara turun ke lobi apartemen karena Janu sudah sampai. Dia akhirnya mengiyakan ajakan dinner sesuai arahan Michelle. Toh, mau ditolak pun, kalau sudah waktunya Janu meminta pertanggungjawaban atas perlakuan kasarnya terhadap Narendra tempo hari, dia juga tetap tidak akan bisa kabur ke mana-mana.
Sebelum keluar dari lobi, Kayanara melipir sebentar ke toilet di lantai itu. Hanya untuk mematut dirinya sekali lagi.
Outfit yang dia kenakan malam ini adalah yang sudah biasa menjadi style andalannya. Kaus putih polos pas badan, dibalut leather jacket warna hitam dan dipadukan dengan celana jeans warna serupa. Rambut legamnya yang sudah hampir menyentuh pinggang dia biarkan tergerai, wajahnya hanya dipulas bedak tipis dan liptint warna pumpkin.
Beres berbenah, kaki berbalut sneaker warna putih itu mengayun keluar dari toilet. Kayanara tidak terlalu suka membawa tas, jadi dompet dan ponselnya dia masukkan ke dalam saku jaket yang lumayan luas.
Di area parkir, Kayanara menemukan Janu sudah standby di atas motor gedenya. Dua helm fullface tersedia. Satu nangkring di atas tangki depan, satu lagi di setang sebelah kiri.
Kayanara terpaku sesaat setelah sadar bahwa outfit mereka match, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Terlihat seperti sudah janjian untuk memakai outfit couple sebelumnya.
“Hai!” Sapaan disertai lambaian tangan dan senyum cerah itu menarik kesadaran Kayanara kembali.
“Hai,” sapanya balik, lantas melanjutkan langkah yang sebelumnya terhenti.
Wewangian mewah dari Dolce & Gabbana K EDT yang Janu pakai seketika membuat Kayanara terbuai. Tanpa sadar telah mengendus aroma yang beterbangan di udara itu dengan rakus. Seakan tidak rela membaginya dengan manusia lain di sekitar.
“Kita naik motor nggak apa-apa, kan? Mobilnya lagi dipakai sama anak-anak.” Janu membuka obrolan seraya mengulurkan helm yang berukuran lebih kecil.
Kayanara menerima helm tersebut, lantas menjawab, “Iya, nggak apa-apa.” Lalu mengenakan helmnya.
Janu menyalakan mesin motor usai mengenakan helmnya, tak lupa menurunkan footstep agar Kayanara mudah naik.
“Sorry, can I....”
Janu mengangguk, mempersilakan Kayanara menggunakan kedua bahunya sebagai pegangan.
Kaki kiri menginjak footstep, kedua tangan memegang bahu Janu, dan hap! Kayanara sudah berhasil duduk di jok belakang.
“Sorry, boleh pegangan? Takut kamu jatuh.”
Tanpa menjawab, Kayanara memegang kedua sisi pinggang Janu. “Ayo.”
Janu mengangguk, lalu tancap gas. Mengarungi malam penuh debu jalanan dengan diiringi perasaan tidak keruan.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
Restoran Korea halal menjadi destinasi mereka untuk dinner. Janu bilang, ini juga atas rekomendasi Michelle. Oh, terima kasih sekali lagi kepada perempuan itu karena sudah berperan banyak kali ini.
Beberapa menu makanan yang mereka pesan sudah habis dilahap, mereka juga sempat berbincang-bincang sebentar soal pekerjaan masing-masing. Dan dari situ, Kayanara baru tahu kalau salah satu platform tempatnya menerbitkan artikel adalah milik Mahen. Pemuda itu membuat sendiri situsnya, mengelolanya dari awal sampai kini termasuk ke dalam jajaran platform ternama dan paling banyak dikunjungi di internet.
Setelah perbincangan cukup panjang, mereka mengambil jeda untuk saling diam. Pada jeda itu, Kayanara kembali terpikirkan soal Narendra dan dua kali pertemuan mereka yang sama-sama tidak berjalan baik.
Kayanara melirik ke arah Janu yang tampak melemparkan pandangan ke luar, pada gerimis tipis yang perlahan berubah menjadi tetesan hujan.
Berpikir sebentar, dia memberanikan diri memulai pembicaraan. Dipanggilnya Janu dengan suara pelan hingga lelaki itu kembali menatapnya.
“Aku ... minta maaf," ucapnya pelan. Tidak bohong, dia deg-degan parah sekarang.
“Minta maaf soal apa?”
“Soal si bungsu yang kupingnya aku jewer di depan banyak orang. Mahen pasti udah cerita sama kamu, kan?"
Tanpa diduga, Janu malah tertawa kecil sambil menuang air minum ke dalam gelas, lalu dia tenggak. “Saya kira soal apa. Kalau soal itu, sih, kamu nggak perlu minta maaf. Selama Naren salah, kamu boleh hukum dia dan kasih tahu mana yang benar.”
Respons Janu yang tetap tenang justru membuat Kayanara kebingungan. “Tapi aku jewer kuping dia, loh? Itu termasuk tindakan kekerasan.”
“Iya, terus?”
“Kamu nggak ada niatan buat laporin aku ke polisi?”
Janu malah kembali tertawa, cukup keras hingga membuat beberapa pengunjung memandang ke arah mereka.
“Kenapa juga saya harus laporin kamu ke polisi cuma karena masalah sepele kayak gitu? Lagi pula, saya yakin kamu nggak akan bertindak sejauh itu kalau Naren nggak kelewatan.” Janu mengambil jeda sebentar untuk menarik napas, lalu melanjutkan, “Justru saya yang harusnya minta maaf karena masih gagal mendidik Naren buat jadi anak yang baik. Saya terlalu sibuk mencari nafkah, sampai nggak merhatiin kebutuhan Naren yang lain.”
Mendengar Janu berkata begitu, Kayanara jadi semakin merasa bersalah. Meskipun Naren super-duper menyebalkan, dia tidak pernah berpikir itu adalah kesalahan orang tuanya dalam mendidik. Kayanara tahu Naren hanya sedang berada di umur-umur doyan rebel saja. Sesuatu yang normal. Hanya butuh waktu untuk membuat anak itu mengerti dan berhenti bertingkah seenaknya.
Setelah terpaku sesaat, Kayanara menatap Janu begitu lekat. Bibir tipisnya begitu ringan terbuka, memberikan satu statement yang dia harap bisa membantu Janu untuk tidak lagi merasa bahwa dirinya kurang sebagai orang tua.
“No, you’ve done your best. Aku tahu nggak mudah untuk jadi orang tua tunggal.” Sama tidak mudahnya dengan menjadi yatim piatu di usia yang masih belia, seperti dirinya.
Bersambung....
BONUS! SEDIKIT GAMBARAN OUTFIT KEMBARAN JANU DAN KAY.
Kiw kiw, Mas, godain aku, Mas...
Teteh penakluk bocah kematian.