Berawal dari pertemuan singkat di sebuah mal dan memperebutkan tas berwarna pink membuat Aldo dan Tania akhirnya saling mengenal. Tania yang agresif dan Aldo yang cenderung pendiam membuat sifat yang bertolak belakang. Bagaikan langit dan bumi, mereka saling melengkapi.
Aldo yang tidak suka didekati Tania, dan Tania yang terpaksa harus mendekati Aldo akhirnya timbul perasaan masing-masing. Tapi, apa jadinya dengan Jean yang menyukai Aldo dan Kevin yang menyukai Tania?
Akhirnya, Aldo dan Tania memilih untuk berpisah. Dan hal itu diikuti dengan masalah yang membuat mereka malah semakin merenggang. Tapi bukan Aldo namanya jika kekanak-kanakan, dia memperbaiki semua hubungan yang retak hingga akhirnya pulih kembali.
Tapi sayangnya Aldo dan Tania tidak bisa bersatu, lantaran trauma masing-masing. Jadi nyatanya kisah mereka hanya sekadar cerita, sekadar angin lalu yang menyejukkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebingungan
"Sebetulnya—" Aldo menggantungkan ucapannya saat dia teringat dan berpikir akan suatu hal. Dia menatap Bima dan juga Nico bergilir dengan kening berkerut. "Tunggu, tunggu. Kalau misalkan lo tahu Nico suka sama Amanda, kenapa lo bilang ke gue selimut tetangga lebih anget?" tanya Aldo. Telunjuknya terarah pada Bima.
Merasa kembali teraniaya membuat Bima meneguk ludahnya. "Gue—cuma buat drama untuk lo," ujar Bima gugup.
"Kalau gitu, Nico nggak suka sama Tania?" tanya Aldo.
Semua orang menggeleng.
"Nico nggak teleponan sama Tania?"
Semua orang menggeleng.
"Terus, kenapa kemarin kasih cokelat ke Tania?"
"Gue titipin cokelat itu untuk Amanda," jawab Nico. "Karena gue dengar dia mau ke kelas duluan," lanjutnya.
"Kalau gitu, waktu di rumah gue lo teleponan sama siapa?"
"Amanda."
Kepala Aldo bergerak ke arah Bima. Dia mengintimidasi Bima habis-habisan. Merasa ditatap keji oleh Aldo membuat Bima mengatupkan tangannya. "Gue tahu gue yang salah di sini. Gue minta maaf. Klarifikasi aja nih ya, Nico suka sama Amanda, bukan Tania," jelas Bima.
"Lo kenapa sih Bim, ngelakuin itu?" tanya Amanda.
"Ya ... gue cuma mau tahu aja, Aldo suka sama Tania atau enggak?"
Mendengar namanya disangkut pautkan membuat Tania menatap meminta penjelasan. "Lo gila ya, Bim?" tanya Tania.
"Gue masih waras."
Nabilla mendesah berat. "Udah ya, masalahnya clear. Enggak usah diungkit-ungkit lagi. Lo juga Bim, jangan ulangin lagi." Nabilla menunjuk Bima.
"Iya, maaf," ujar Bima.
Semua orang menghela napas panjang. Seolah tali yang semula terikat kencang kini melonggar. Suasana yang semula tegang kini mulai mencair.
"Lo mau pulang, 'kan, Man? Gue anterin ya," ujar Nico.
Amanda menggeleng. "Gue bawa mobil, lo istirahat aja di sini."
Nico mengangguk menyetujui.
"Ayo, Bil." Amanda bangkit berdiri.
"Duluan ya, awas jangan ribut-ribut lagi. Cape nih gue jadi hakim," ujar Nabilla.
Amanda dan Nabilla berlalu pergi meninggalkan UKS. Menyisakan keheningan antara Aldo, Nico, Bima, dan Tania.
"Gue juga ke ruangan dulu." Nico bangkit berdiri.
"Eh, gue juga ikut." Bima menyusul langkah Nico. Namun, sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu, dia berteriak, "Tania! Jangan lupa obatin luka Aldo, ya!"
Mendengar itu membuat sorot mata Tania dan Aldo berjumpa dalam orbit lurus. Keheningan di ruangan semakin terasa. Sama halnya seperti siluet oranye yang memantul dari kaca.
Tania menarik kursi yang semula diduduki Bima. Suasananya terasa begitu canggung. Tania yang biasanya mencerocos kini jauh berbanding terbalik.
"Mau apa?" tanya Aldo ketika Tania meraih kotak obat.
Tania kikuk. Dia jadi salah tingkah di depan Aldo. Dia hendak menaruh kembali kotak obat tersebut jika saja Aldo tidak mencekal pergelangan tangannya.
Rasanya disentuh Aldo seperti terkena sengatan listrik. Tubuhnya bergetar hebat. Hawa panas dan dingin bercampur aduk.
"Lo harus obatin gue karena gue udah bela lo."
Tidak ada bantahan, tidak ada penolakan. Tania refleks membuka kotak obat. Dia menempelkan kapas yang sudah diberi pembersih luka ke sudut bibir Aldo. Tatapan mereka bertemu. Aldo harus sedikit membungkukkan tubuhnya agar sejajar dengan Tania.
Ditatap seperti itu membuat perasaan melayang ke kayangan. Tania kikuk setengah mati. Aldo menatapnya dengan sangat intens. Seolah dia sedang meneliti tiap lekuk wajah Tania. Entah dia baru sadari atau belum. Tania punya mata bulat yang indah.
"Tania." Aldo meraih pergelangan tangan Tania. Menghentikan aktivitasnya. Perlahan, Aldo mendekatkan tangan Tania ke arah dadanya.
Tania menatap cengo dengan bibir sedikit terbuka. "Apa?"
"Gue punya firasat buruk yang akan terjadi sama lo. Dan sebelum firasat gue terjadi, gue mau jadi tameng lo."
Seperti adegan romantis di setiap segmen film romantis. Seperti adegan Jack yang hendak mencium Rose. Seperti itulah kira-kira tatapan Aldo yang tidak bisa Tania artikan.
"ALDO JANGAN NAFSU, OY!"
Mendengar teriakan itu membuat Aldo dan Tania terkesiap.
...******...
Jean sedang berada di dalam kamarnya. Dia tidak bisa menemukan posisi tidur yang nyaman. Selalu saja gelisah. Lebih dari sepuluh kali dia berganti posisi dalam waktu lima menit. Menunjukkan kalau dia sedang gelisah. Seprai di bawahnya acak-acak beserta dengan beberapa bantal yang tergeletak di lantai.
Pikirannya dipenuhi dengan nama Tania. Entah sejak kapan gadis ceroboh itu masuk ke dalam pikirannya.
Jean beringsut duduk. Dia memeluk kakinya.
Pintu kamarnya terbuka menampakkan sosok Rumi. "Kenapa bantal kamu berserakan? Banyak pikiran?" Rumi menaruh bantal di kasur lalu duduk berdekatan dengan Jean.
Jean menggeleng.
"Kamu jangan bohong. Ayo cerita, apa yang kamu pikirkan?"
Jean diam.
"Jean, kamu tahu 'kan kata dokter kalau kamu nggak boleh banyak pikiran? Mama nggak—"
"Mama tuh—" Jean menghentikan kalimatnya membuat Rumi mengernyit bingung. Dia kembali mengatur deru napasnya.
"Kenapa?"
Jean menggeleng. Bukan waktu yang tepat untuk bertanya kepada Rumi. "Enggak ada apa-apa. Jean cuma kepikiran tugas."
"Oh. Kamu makan sana. Dion beliin pizza."
"Iya."
Rumi beranjak keluar dari kamar Jean. Bertepatan dengan itu ponselnya bergetar. Dia terkejut bukan main saat nomor yang tidak dikenal menunjukkan sebuah foto. Yakni, foto Aldo dan Tania yang berada di dalam UKS dengan jarak intim.
...******...
Dion memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah seseorang. Dia tidak berniat turun, hanya membuka setengah kaca mobilnya. Dia mengamati keadaan rumah di depannya.
Kevin yang melihat hal itu ketika dia mengeluarkan motornya mengernyit bingung. Tak ingin dirundung rasa penasaran yang memunculkan berbagai pertanyaan, Kevin berjalan mendekat.
"Maaf, cari siapa Om?"
Dion berjingkrak kaget dan langsung menoleh ke arah Kevin. Dia meneliti Kevin dari bawah hingga atas.
"Om mau cari papa saya atau tante Mila?" tanya Kevin.
Dion tersenyum menggeleng. "Tidak. Saya hanya rehat sejenak. Permisi." Dion menutup kaca mobilnya lalu menjalankan mobilnya.
Kevin mengernyit bingung melihat hal itu. "Aneh," katanya.
Dion menyalakan bluetooth di telinganya saat di perjalanan.
"Semuanya baik-baik saja."
Setelah itu dia mengangguk dan mematikan bluetooth-nya.
...******...
Tania sedang berada di rooftop. Dia melihat pemandangan malam dari atas sana. Semenjak kejadian itu membuat Tania merasakan sesuatu yang aneh, yang sebelumnya tidak pernah dia rasakan. Tania mengingat semua kejadiannya dengan Aldo, dan juga Kevin. Dua orang itu yang sedang berkutat di kepalanya.
Derap langkah seseorang mulai terdengar mendekat namun tidak dia sadari. Perlahan, ketika tangannya mengelus lengannya sendiri, sebuah jaket disampirkan di bahunya.
"Dingin, 'kan?"