Putri Regina Prayoga, gadis berusia 28 tahun yang hendak menyerahkan diri kepada sang kekasih yang telah di pacari nya selama 3 tahun belakangan ini, harus menelan pahitnya pengkhianatan.
Tepat di hari jadi mereka yang ke 3, Regina yang akan memberi kejutan kepada sang kekasih, justru mendapatkan kejutan yang lebih besar. Ia mendapati Alvino, sang kekasih, tengah bergelut dengan sekretarisnya di ruang tamu apartemen pria itu.
Membanting pintu dengan kasar, gadis itu berlari meninggalkan dua manusia yang tengah sibuk berbagi peluh. Hari masih sore, Regina memutuskan mengunjungi salah satu klub malam di pusat kota untuk menenangkan dirinya.
Dan, hidup Regina pun berubah dari sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 27. Bayar Dengan Cinta.
“Aku mencintaimu.. Reginaaa… mmhhh.”
Itulah kalimat yang William ucapkan saat boy, memuntahkan lahar panasnya. Pria itu lupa mencabut, sehingga boy muntah di dalam.
Regina yang tadinya melayang ke langit, karena pe-lepasan dan kata cinta dari William, tiba-tiba tersentak. Ia kemudian mendorong tubuh William yang sedang berada di atasnya, membuat pria itu hampir terjungkal ke lantai.
“Will.. minggir” Wanita itu kemudian lari kedalam kamar mandi. Ia bahkan sampai berjongkok di atas closet duduk.
“Honey, ada apa?” William menyusul dengan nafasnya yang tersengal dan tubuhnya yang masih polos.
Pria itu mengerenyitkan alisnya, kala mendapati sang sekretaris berjongkok di atas closet duduk.
“Honey, ada apa?” Tanyanya mendekat ke arah wanita itu.
Regina menghela nafasnya pelan. Sungguh dia ingin marah pada William.
“Kenapa boy muntah di dalam?” Ucapnya terdengar panik.
William menganga, namun sedetik kemudian ia dengan cepat mengatupkan bibirnya.
‘Astaga boy, kenapa kamu tidak memperingatkan aku? Jika sampai Regina marah, kamu juga yang ikut susah nanti.’
“Honey.. maafkan boy, maksudku, maafkan aku. Aku terlalu larut dalam rasa yang kamu berikan. Hingga lupa mencabutnya.”
Regina tak tau harus berkata apa lagi, ia juga ikut larut dalam rasa yang William berikan. Dan selain itu, Regina juga tidak bisa marah kepada William. Entah kenapa..
“Ayo turun. Kita mandi.” William mengulurkan tangan kepada wanita itu. Mereka kemudian membersihkan diri di bawah kucuran air.
“Hari ini bukan masa subur mu kan, Hon?” Tanya William yang kini tengah berbaring di ranjang dengan satu tangan menumpu kepalanya.
“Bukan.” Ucap Regina riang. Ia baru saja mengecek aplikasi kalender yang dapat menghitung masa subur, dan kapan tanggal datang bulan tiba di ponselnya.
Wanita itu kemudian mengambil tempat di sebelah sang atasan.
“Apa kamu tidak mau mengandung anakku?” Tanya William berpura-pura sendu.
“Bukannya tidak mau, tetapi belum waktunya. Aku perlu memantapkan hati terlebih dulu.”
William meraih jemari sang sekretaris kemudian mengecupnya dengan sayang.
“Aku serius. Aku menunggu sampai kapan pun kamu siap.”
William kembali mengikis jarak di antara mereka, dengan menyatukan bibir satu sama lain. Saat tengah asyik memadu kasih, ponsel William yang ada di atas nakas, tiba-tiba menjerit. Pria itu pun menyudahi, kemudian meraih benda pipih pintar itu.
“Ya, Rom?” Ucap William saat benda pintar itu menempel di telinganya.
“Kamu dimana? Aku dan Alisha sekarang di klub.”
Mendengar ucapan sang sahabat, William menoleh ke arah jam kecil yang ada di atas nakas. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam.
“Ah tidak. Aku lelah, Rom. Baru selesai lembur.” Jawab William ambigu.
“Lembur dimana? Alisha bilang tadi sore kamu sempat ke kafenya.” Ucap Romi tak percaya begitu saja.
“Biasalah. Lembur di apartemen.” Jawab William terkekeh. Ia melirik sang sekretaris yang mulai memejamkan matanya.
“Hon, kemarilah. Tidur disini.” Ucap William tanpa sadar panggilan masih terhubung.
Pria itu menarik kepala sekretarisnya, dan merebahkan di atas dadanya.
“Hallo, Will..? Jangan katakan jika kamu—?” Romi sengaja menjeda ucapannya, ia tau William mengerti maksud perkataannya.
“Ya, apa lagi. Tentu saja.” Jawab William terkekeh.
“Maaf aku tidak bisa datang. Kalian bersenang-senanglah.”
Panggilan pun berakhir, William kembali menyimpan ponselnya di atas nakas. Ia kemudian mendekap erat tubuh wanita yang dicintainya.
Sementara itu, di klub milik William, Alisha merasa jengah mendengar percakapan Romi dan pemilik klub itu.
Ia sengaja meminta Romi menyalakan pengeras suara, ingin tau dimana William, namun apa yang ia dapat? Justru hal yang membuat hatinya berdenyut nyeri.
“Kamu dengar? Dia bahkan sudah tidur dengan wanita itu. Aku rasa, William hanya berhubungan dengan satu orang wanita, tetapi wanita itu belum menerima cinta William.”
Alisha menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Ia menarik dan membuang nafasnya pelan.
‘Wanita seperti apa itu? Mau di ajak tidur tanpa ikatan?’ Batin Alisha.
“Dan itu artinya, aku sudah tidak memiliki harapan lagi.” Namun, itu yang keluar dari bibirnya.
Romi merasa frustrasi. Bukannya ia sudah mengatakan tadi, meski harapan itu ada, namun mereka akan susah bersatu.
“Sudahlah, Al. Jangan rusak persahabatan kita, hanya karena rasa cinta yang tidak mungkin bersatu.”
Alisha pun hanya mampu mengangguk kecil.
*****
“Kamu mau ke klub?” Tanya Regina di dalam dekapan William. Wanita itu mengendus aroma sabun yang masih tertinggal di kulit pria tampan itu.
“Tidak, Hon. Jujur, aku sangat lelah.”
Regina mencebik.
“Sudah tau lelah, masih saja minta lembur.”
William terkekeh, ia semakin mengeratkan pelukannya pada Regina.
“Kalau lembur bersama mu itu, tidak pernah mengenal kata lelah, Hon.”
Regina tersenyum dalam pelukan sang atasan. Hubungan mereka sangat ambigu, Regina tidak menjawab pernyataan cinta William, namun wanita itu juga tidak pernah menolak saat pria itu mengajaknya berbagi peluh.
“Terima kasih.” Ucap Regina berbisik. Namun, William masih dapat mendengarnya.
“Untuk apa, Hon?”
Eh? Regina tersentak karena William menjawabnya.
“Karena kamu sangat baik padaku. Memberiku uang jajan, tempat tinggal, dan—.”
“Dan apa?”
“Dan memberiku kasih sayang.”
“Itu semua tidak gratis, Hon. Dan aku tidak mau kamu membayarku dengan uang. Karena uangku, sudah pasti lebih banyak darimu.”
Regina mendongak, menatap wajah tampan sang atasan. Wajah bersih tanpa noda atau pun bekas jerawat.
“Lalu, aku harus membayar dengan apa?”
“Bayarlah dengan dirimu. Dengan cinta terakhir yang hanya akan kamu berikan kepada aku seorang. Tanpa ada pria lain lagi.”
“Tapi kamu tau kan, aku—.”
“Aku tau, Hon. Dan aku akan menunggu mu. Asalkan penantianku tidak sia-sia. Takutnya, aku lelah menunggu, tetapi kamu malah berakhir dengan pria lain lagi.”
Regina menggelengkan kepalanya dengan cepat.
“Tidak akan. Kamu tau, untuk membuka hatiku untukmu saja, aku masih belum berani, takut tersakiti lagi. Apalagi membuka hati untuk pria yang lain lagi, itu tidak mungkin. Aku takut memulai hubungan yang baru karena aku takut sakit hati lagi, Will. Aku takut setelah aku benar-benar mencintai, aku akan di kecewakan lagi.”
William menarik kepala Regina dan membenamkan di atas dada bidangnya. Ia mengusap lembut, surai indah milik wanita itu.
“Tidak akan lagi, Hon. Tidak akan ada kekecewaan lagi di masa depan. Hanya akan ada cinta yang melimpah untukmu.”
“Terima kasih, Will.”
‘Maafkan aku, Will. Tetapi aku janji, kamu akan menjadi pria terakhir dalam hidupku.’
****
Di tempat lain, di sebuah unit apartemen milik Tamara, kini wanita itu telah tergolek tak berdaya di atas tempat tidur.
Alvino masih bekerja keras di atasnya. Pria itu tiba-tiba datang dalam keadaan mabuk, dan langsung menguasai tubuh Tamara.
“Al…”
“Sebentar lagi, sayang.” Alvino membungkam bibir sekretarisnya dengan sebuah ciuman.
Beberapa saat kemudian, pria itu menekan semakin dalam, hingga sesuatu menyembur hangat di bawah sana.
“Reginaaa… aku mencintaimu..”
Deg!!!
Tamara tersentak, ini untuk pertama kalinya Alvino meneriakkan sebuah nama. Dan itu, nama perempuan lain. Hati Tamara semakin terasa teriris.
Dalam keadaan mabuk pun, pria itu masih mengingat kekasihnya. Apa tidak sedikitpun Alvino ingat, jika dirinya yang selalu memenuhi kebutuhan batin pria itu?
Merasa sang atasan sudah terlelap, Tamara menggeser tubuh pria itu dari atas tubuh polosnya.
Ia kemudian setengah bangkit, dengan mengapit selimut di dadanya.
Tangan kanan wanita itu terulur, meraih laci nakas, kemudian mengambil sebuah ponsel dari dalam sana.
Menghela nafasnya pelan, ia pun membulatkan tekatnya, mengirim sebuah pesan kepada Regina. Tentu dengan nomor ponsel yang baru, dan tidak ada orang lain yang tau.
“Nona Regina, apa kamu pikir kekasihmu setia?” Isi pesan yang di ketik Tamara, tak lupa ia mengambil gambar tubuh bagian atas Alvino yang terlihat polos.
Setelah itu, ia pun mengirim pesan itu ke nomor ponsel Regina.
“Kita lihat, Al. Sampai kapan hubungan kalian akan bertahan.”
.
.
.
Bersambung