Untuk mengungkap penyebab adiknya bunuh diri, Vera menyamar menjadi siswi SMA. Dia mendekati pacar adiknya yang seorang bad boy tapi ternyata ada bad boy lain yang juga mengincar adiknya. Siapakah pelakunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
Pagi itu, Vera mengendarai motor dengan kecepatan sedang, mengikuti petunjuk alamat yang dikirim Dwiki semalam. Udara masih terasa dingin, embun pagi pun masih melekat di dedaunan. Sesekali, dia menguap kecil.
"Kenapa juga gue harus nganterin motor pagi-pagi begini?" pikirnya, sedikit kesal.
Setelah melewati beberapa gang dan belokan, akhirnya dia sampai di sebuah rumah dengan pagar besi tinggi yang tertutup rapat. Dia memeriksa layar ponselnya sekali lagi, memastikan alamat yang tertera di pesan dan mencocokkannya dengan rumah di depannya.
"Iya, ini tempatnya."
Vera menghentikan motornya tepat di depan pagar. Rumah itu cukup mewah dan luas. Tak ada suara dari dalam, seolah rumah itu masih terlelap dalam sunyi pagi. Dia mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan singkat:
"Gue udah di depan rumah lo."
Pesan terkirim. Vera menunggu sejenak, menatap rumah itu dengan penuh rasa ingin tahu.
"Kenapa rumahnya sesepi ini?"
Matanya beralih ke pagar yang terlihat sedikit berkarat. Lalu, dia melirik ke dalam celah pagar, mencoba melihat ke dalam. Namun, sebelum dia bisa mengamati lebih jauh, ponselnya bergetar.
Sebuah pesan dari Dwiki masuk.
"Tunggu."
Vera mendengus. "Singkat amat."
Sambil menunggu, dia kembali duduk di atas motor dan melipat tangannya di dada.
Dwiki akhirnya muncul dari pagar rumahnya, menuntun motor Vera dengan langkah malas. Pagi itu, wajahnya terlihat pucat, kontras dengan ujung bibirnya yang memar kebiruan. Dia menjagrak motor itu tepat di depan Vera sebelum mendongak menatapnya sekilas.
“Turun,” perintahnya singkat.
Vera turun dari motor, matanya langsung mengamati wajah Dwiki lebih dekat. Luka di bibirnya tampak parah, seolah baru saja menerima pukulan keras.
"Lo habis berantem?" tanyanya tanpa basa-basi.
Dwiki tidak menjawab. Dia justru mengenakan helmnya dengan cepat, lalu tanpa berkata apapun, dia menarik tangan Vera, menyeretnya menjauh dari motornya. "Mulai sekarang jangan ganggu gue lagi," katanya dingin.
Vera berdecak pelan. “Dih, padahal lo sendiri yang ganggu orang.”
Dwiki tak membalas, hanya menaiki motornya dan menyalakan mesin motornya.
Vera mengangkat bahu, lalu naik ke motornya sendiri. Begitu Dwiki melajukan motornya, Vera mengikutinya dari belakang.
"Kenapa gue ngerasa ada sesuatu yang nggak beres sama dia?" pikirnya. "Biasanya remaja yang nakal seperti Dwiki pasti di rumahnya ada sesuatu. Kalau dia tidak terlalu dimanja, justru sebaliknya. Dia sering menerima kekerasan di rumah."
Vera terus menjaga jarak di belakang Dwiki. Meski motor itu melaju cukup kencang tapi Vera bisa mengimbangi kecepatannya.
Tiba-tiba saja motor Dwiki oleng dan membuat Vera terkejut karen tidak ada apapun yang menghalangi laju motor Dwiki.
"Hei! Lo kenapa?!" seru Vera.
Sebelum sempat memperbaiki keseimbangan, tubuh Dwiki terpelanting ke samping. Motornya terguling dan jatuh menimpanya.
Brak!
“Dwiki!” Vera langsung mengerem mendadak dan melompat turun dari motornya setelah menjagrak miring.
Tanpa ragu, dia berlari ke arah Dwiki dan menarik motor yang menindih tubuhnya. Tangannya gemetar saat melihat kondisi cowok itu yang kini terbaring dengan wajah meringis kesakitan, satu tangannya mencengkeram perutnya erat.
"Lo kenapa?" suara Vera sedikit panik.
Dwiki mencoba bangkit, tapi tubuhnya melemah. Nafasnya tersengal, keringat dingin membasahi dahinya.
Vera semakin curiga. Dia meneliti wajah Dwiki yang pucat pasi, lalu pandangannya turun ke tangan Dwiki yang terus menekan perutnya seolah menahan sesuatu.
"Perut lo sakit?"
Dwiki tetap diam, rahangnya mengeras. Vera semakin kesal.
"Lo habis berantem sama siapa? Jangan pura-pura kuat kalau ternyata lo itu lemah!"
Dwiki menutup matanya sesaat, berusaha mengatur nafas. “Bukan urusan lo!
Vera mendecak kesal. “Sial! Ini pasti gara-gara do'a orang-orang yang telah lo sakiti, tapi kalau lo sampai mati di sini, gue yang bakal ribet!"
Tanpa menunggu jawaban, Vera berjongkok di samping Dwiki, meraih lengannya, dan melingkarkannya ke bahunya.
"Lo bisa jalan?"
Dwiki menggeleng lemah.
Vera mengumpat dalam hati, tapi tetap berusaha membantu. Dia menahan beban tubuh Dwiki semampunya dan menyeretnya ke tepi jalan.
"Kita ke rumah sakit sekarang! Biar gue bonceng lo!"
Dwiki menggelengkan kepalanya sambil melepas helmnya. "Gak perlu!"
"Lalu lo mau apa? Masih mending gue mau nolongin lo!"
Dwiki mendorong tangan Vera yang masih menahan tubuhnya. "Gue bisa sendiri." Dwiki berusaha untuk berdiri tapi perutnya terasa sangat sakit. Rasa sakit itu tepat di bekas luka tendangan ayahnya semalam.
Vera sudah tidak tahan lagi. Dia memaksa menyingkap seragam Dwiki dan melihat luka memar membiru di perut bagian kirinya serta sedikit bengkak. "Dwiki, luka kayak gini kenapa lo biarin! Ini kena lambung lo! Lambung lo pasti luka."
Dwiki menepis lagi tangan Vera. "Gue udah biasa! Lo pergi dari sini!"
"Ya udah." Vera kembali berjalan menuju motornya tapi dia melihat Dwiki yang akhirnya jatuh pingsan. Dia urung menaikinya dan kembali mendekat. Dia menghentikan mobil yang melintas di dekat jalan itu.
"Tolong antar dia ke rumah sakit," kata Vera di dekat kaca mobil yang berwarna hitam itu.
Kaca mobil itu terbuka. "Kenapa?" tanya pengemudi mobil itu.
Tapi tatapan mata Vera kini tertuju pada Sagara yang duduk di dekat pengemudi. "Dwiki pingsan," kata Vera.
"Papa, biarkan saja. Aku tidak mau terlambat."
Vera melebarkan matanya mendengar perkataan Sagara. "Hei! Gue tahu dia musuh lo! Tapi ini tentang kemanusiaan. Kalau lo gak mau ya udah!" Vera berbalik karena dia sangat kesal dengan tingkah Sagara. "Dia pikir hebat kayak gitu. Gue juga sebenarnya malas nolong Dwiki! Ini hanya demi kemanusiaan."
Vera terus mendumel dan melepas helmnya lalu dia letakkan di dekat motor. Kemudian dia menarik tubuh Dwiki. Dia akan membawanya sendiri jika tidak ada yang menolongnya.
"Aku akan antar ke rumah sakit," kata Shaka sambil meraih tubuh Dwiki lalu membawanya masuk ke dalam mobil.
Vera segera mengamankan motornya dan motor Dwiki lalu dia ikut naik di mobil itu dan menahan tubuh Dwiki di kursi penumpang. "Nanti setelah menurunkan kami, Om langsung pergi saja. Antar anak Om biar gak rewel."
Sagara melirik kesal pada Vera. "Jangan bilang pada Dwiki, kalau Papa gue yang nolong."
"Iya! Gue gak akan bilang!"
"Entah apa permasalahan kalian, tapi lebih baik selesaikan baik-baik. Sebentar lagi kalian semua akan lulus," kata Shaka. Dia melirik wajah Vera dari rearspion beberapa kali. "Kenapa sepertinya aku pernah melihat kamu?"
Vera menelan salivanya. Dia sudah mengubah penampilannya apa papanya Sagara masih mengingatnya?
ok lanjuuut...