"Uang lima puluh ribu masih kurang untuk kebutuhan kita, Mas. Bukannya Aku tidak bersyukur atas pemberian dari mu dan rezeki kita hari ini. Tetapi itu memanglah kenyataannya." kata Zea, dia wanita berusia 25 tahun yang sudah memiliki dua anak, istri dari Andam pria yang sudah berusia 37 tahun ini.
"Apa katamu?" geram Andam. "Lima puluh ribu masih kurang? Padahal Aku setiap hari selalu memberi kamu uang Zea, memangnya uang yang kemarin Kamu kemana'kan, Hah!" tanya Andam, dia kesal pada Zea karena menurutnya dia sangatlah boros menggunakan uang.
Setiap hari dikasih uang masa selalu habis, kalau bukan boros, apa itu namanya? Setiap hari padahal Andam sudah mati-matian bekerja menjadi pedagang buah dipasar pagi, tentu saja dia kesal karena Zea selalu mengeluh uangnya habis.
"Mas, Aku sudah katakan! Uang yang setiap hari Kamu kasih untukku belum cukup untuk kebutuhan kita! Kamu mendengar tidak sih!" teriak Zea, dia sudah lelah memberitahukan pada suami tentang hal ini.
penasaran? baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Taurus girls, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ZTS 31
Sampainya dirumah.
Giska langsung turun dari mobil ketika mobil sudah berhenti digarasi dengan baik. Gean dan Andam yang melihat tingkah Giska pun sama-sama kebingungan.
"Adikmu kenapa Ge?" tanya Andam.
Gean mengedikan kedua bahu. "Aku tidak tahu, Yah."
Andam menggeleng heran dan segera turun dari mobil, begitu pula dengan Gean. Mereka berjalan masuk ke dalam rumah bersama-sama dengan posisi Gean merangkul bahu Ayahnya. Tinggi Gean yang melebihi Andam membuat Andam merasa bangga.
Ketika mereka memasuki rumah, Giska sudah tidak terlihat diruang tamu. "Giska?" panggil Andam.
Tidak ada jawaban.
Gean dan Andam saling menatap, sama-sama penasaran kemana Giska pergi.
"Giska, apa kamu dikamar?" tanya Gean sambil berjalan menuju kamar Giska. Andam mengikuti di belakangnya. Ketika mereka membuka pintu kamar Giska, mereka menemukannya sedang duduk di atas tempat tidur, menatap sesuatu di tangannya.
"Giska, apa yang terjadi?" tanya Andam dengan lembut, mencoba memahami keadaan anaknya.
Giska menoleh, dan baru sadar kalau kak Gean dan Ayahnya ada di belakangnya. "Ayah... Kak Gean..." ucapnya lirih.
Gean dan Andam mendekati Giska, penasaran apa yang ada di tangannya. Ketika mereka melihat lebih dekat, ternyata Giska memegang ponsel yang terdapat pesan singkat berisi foto cincin pertunangan dengan tulisan "Levis dan Vivi" di atasnya. Wajah Giska terlihat bingung dan sedih.
"Apa itu?" tanya Gean, suaranya penuh tanda tanya.
Giska tidak menjawab, hanya menatap foto cincin itu dengan mata berkaca-kaca.
Andam duduk di sebelah Giska, merangkulnya dengan hangat. "Giska, ceritakan apa yang terjadi. Apa ini tentang Levis?"
Yeah, Andam sudah tahu jika Giska memanglah menjalin hubungan dengan Levis sudah dua tahun ini. Bahkan, Giska pernah bercerita padanya jika Levis akan melamarnya dan akan menikahinya jika sudah lulus S2. Levis pun sering datang ke rumah ini jika malam minggu.
Giska mengangguk pelan, air matanya mulai mengalir. "Aku merasa kecewa, Ayah... Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, Levis menghianati ku," ungkapnya.
Gean duduk di sebelah mereka, menempatkan tangan di bahu Giska. "Kita akan hadapi ini bersama, Dik. Apa pun yang terjadi, kita akan selalu ada di sini untukmu."
Andam mengangguk setuju. "Kami akan mendukungmu, Giska. Sekarang, ceritakan semuanya." Giska menarik napas dalam-dalam, siap untuk berbagi ceritanya.
"Levis sudah janji akan melamar aku, Yah, Kak ... tapi ternyata ... Kalian pasti tahu apa maksudnya ini, kan?" Giska tak bisa menahan kesedihannya. "Dia mengirim foto in--"
Ucapan Giska terhenti ketika ponselnya bergetar dan menampakan nama Levis di layarnya. Giska menatap Ayah dan kak Gean dengan mata memerah karena tadi mengeluarkan air mata.
"Biar aku saja yang menerima telepon itu," Gean mengambil paksa ponsel Giska dan menempelkannya di telinga setelah menerima panggilan tersebut.
Giska dan Andam hanya bisa terdiam dan semoga saja Gean tidak mengeluarkan kata-kata kasar pada Levis.
"Levis, apa yang kamu lakukan?" tanya Gean dengan nada tegas, tetapi tetap kalem. Di sisi lain, Giska dan Andam saling menatap, penasaran apa yang akan dikatakan Gean kepada Levis.
"Gean, aku... aku bisa bicara dengan Giska?" tanya Levis dengan nada gugup.
Gean menggeleng, meskipun Levis tidak bisa melihatnya. "Tidak sekarang. Aku ingin tahu apa yang terjadi. Foto itu apa?" Gean menanyakan langsung ke pokok permasalahan.
Levis terdiam sejenak sebelum menjawab. "Aku... aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya, Gean. Aku memang sudah tidak serius dengan Giska. Aku sudah bertemu dengan orang lain..."
Gean menghela napas, berusaha menahan amarahnya. "Kamu tahu bahwa Giska sudah sangat mencintaimu, dan kamu menghianatinya seperti ini?"
Giska menunduk, air matanya kembali mengalir mendengar pengakuan Levis. Andam merangkulnya lebih erat, memberikan dukungan diam-diam.
"Gean, aku tahu aku salah. Aku tidak bermaksud menyakiti Giska. Tapi aku sudah tidak bisa berpura-pura lag--"
Gean memotong pembicaraan Levis. "Cukup. Jangan hubungi Giska lagi. Kamu sudah cukup menyakiti adikku." Setelah itu, Gean menutup telepon dan mengembalikan ponsel ke Giska.
Giska menatap Gean dengan mata berlinang. "Terima kasih, Kak," bisiknya.
Andam mengangguk, memberikan isyarat kepada Gean untuk memeluk Giska. Gean langsung memeluk adiknya erat-erat. "Kamu tidak sendirian, Dik. Kita akan melalui ini bersama."
Andam berdiri dan mengusap bahu Giska. "Kita akan baik-baik saja, Giska. Kamu masih punya kita."
Giska merasa sedikit lega, meskipun kesedihan masih menghantuinya. Namun, dengan dukungan keluarga, dia tahu bahwa dia bisa melewati ini semua.
Setelah beberapa saat, Giska akhirnya bisa menenangkan diri. Gean dan Andam terus memberikan dukungan dan semangat kepadanya. Mereka duduk bersama di kamar Giska, mencoba mengalihkan pikiran dari kesedihan.
"Ayah akan membuatkan teh hangat untuk kita," kata Andam, berdiri dari tempat duduknya. "Ayah rasa itu bisa membantu menenangkan pikiran."
Gean mengangguk setuju. "Aku akan menemani Ayah," katanya, mengikuti Andam keluar dari kamar Giska.
Setelah mereka pergi, Giska merasa sedikit lebih tenang. Dia menarik napas dalam-dalam dan mencoba memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Dia tahu bahwa dia harus melupakan Levis dan fokus pada dirinya sendiri.
Ketika Andam dan Gean kembali dengan teh hangat, Giska sudah sedikit lebih baik. Mereka duduk bersama dan menikmati teh hangat sambil berbicara tentang hal-hal yang lebih positif.
"Aku pikir kita harus melakukan sesuatu yang menyenangkan hari ini," kata Gean, tersenyum. "Apa kamu mau pergi ke bioskop atau makan diluar?"
Giska tersenyum kecil. "Aku rasa itu ide yang bagus," katanya.
Gean mengangguk setuju. "Aku akan memesankan tempat direstoran favoritmu. Kita bisa makan malam disana nanti."
Giska merasa sedikit lebih bahagia dengan rencana tersebut. Dia tahu bahwa dengan dukungan keluarga, dia bisa melewati kesedihan ini dan memulai hidup baru.
Setelah makan malam direstoran favorit Giska, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan disekitar kota. Udara malam yang sejuk dan pemandangan kota yang indah membantu Giska melupakan kesedihannya sedikit demi sedikit.
Ketika mereka sedang berjalan, Gean tiba-tiba berhenti dan menunjuk ke arah sebuah kafe yang sedang mengadakan live music. "Hei, aku suka tempat ini. Mau masuk dan mendengarkan musik sebentar?" tanya Gean.
Giska mengangguk setuju. Mereka masuk ke kafe dan memesan minuman sambil menikmati musik yang dimainkan oleh band lokal. Giska merasa sedikit lebih rileks dan mulai menikmati waktu bersama kakaknya.
Ketika mereka sedang mendengarkan musik, Giska melihat seseorang yang tidak asing baginya. Orang itu adalah teman kuliahnya, Riko, yang sedang duduk disudut kafe dengan temannya.
Giska tersenyum dan melambaikan tangan kepada Riko. Riko melihatnya dan langsung mendekati mereka.
tapi aku gakkk🤧🤧🤧