Anand dan Shan, dua sepupu yang tumbuh bersama, tak pernah membayangkan bahwa hidup mereka akan berubah begitu drastis.
Anand dikhianati oleh kekasihnya—wanita yang selama ini ia cintai ternyata memilih menikah dengan ayahnya sendiri. Luka yang mendalam membuatnya menutup hati dan kehilangan arah.
Di sisi lain, Shan harus menelan kenyataan pahit saat mengetahui kekasihnya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Pengkhianatan itu membuatnya kehilangan kepercayaan pada cinta.
Dalam kehancuran yang sama, Anand memutuskan untuk menikahi Shan.
Lantas apakah yang akan terjadi jika pernikahan tanpa cinta dilakukan? Akankah luka dapat disembuhkan dengan mereka menikah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 9
Mona berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan gelisah, matanya terus tertuju pada jam dinding yang seakan bergerak lebih lambat dari biasanya. Sudah hampir tengah malam, dan Anand belum juga pulang. Begitu lama menunggu, kekhawatirannya mulai berubah menjadi amarah.
“Ranika, kenapa Anand belum juga pulang? Apa yang dia lakukan sampai malam begini?” tanya Mona dengan nada khawatir, matanya penuh kecemasan.
Ranika yang duduk di sampingnya mencoba menenangkan. “Mungkin dia sedang banyak pasien di rumah sakit, Ma. Kan mama tahu sendiri, pekerjaan Anand sebagai dokter bisa sangat menyita waktu.”
Mona mendengus dan melangkah ke dekat jendela, membuka tirai dengan sedikit kasar. “Rumah sakit?? halah... alasan!! Aku yakin dia pasti bersama perempuan itu. Perempuan yang nggak jelas asal-usulnya itu!” Suaranya meninggi, penuh kebencian yang sulit disembunyikan.
Ranika menatap ibunya dengan rasa kesal, tetapi mencoba untuk tetap tenang. “Ma, Anand itu sudah dewasa. Dia tahu apa yang dilakukannya. Mikha itu sudah dikenal baik oleh kita semua.”
Mona tidak terima. “Baik? Apanya yang baik? Perempuan itu nggak punya keluarga, nggak ada latar belakang yang jelas! Aku sudah punya firasat bahwa dia berasal dari keluarga yang nggak baik, kalian semua itu buta, nggak bisa lihat dengan jelas. aku nggak akan biarkan cucuku menikah dengan perempuan seperti itu"
Virzha yang baru saja keluar dari ruang kerja mendengar percakapan itu. Ia menghela napas panjang, mendekati Mona, dan meletakkan tangannya dengan lembut di bahu ibu mertuanya.
“Mama, kita nggak perlu berbicara seperti ini. Anand adalah seorang dokter. Pekerjaannya memang kadang mengharuskannya untuk tetap di rumah sakit sampai larut malam,” ujar Virzha dengan suara yang menenangkan. “Nggak ada yang perlu dicurigai. Mikha itu orang baik, dan Anand jelas menyukainya. Kita harus mendukungnya.”
Namun Mona tetap bersikukuh. “Aku nggak peduli! Aku sudah merasa ada yang aneh dengan perempuan itu. Aku nggak akan biarin Anand terjebak dalam hubungan yang salah!” Ia pun berbalik, kembali berjalan mondar-mandir dengan wajah merah padam.
Ranika hanya bisa menatap ibunya dengan kesal, tetapi tak mampu berkata banyak. Ia tahu ibunya tidak akan berubah pikiran dengan mudah.
Virzha menatap Mona dengan tatapan penuh pengertian, tetapi juga ada kelelahan di matanya. “Aku paham perasaan mama, tapi nggak perlu memperburuk keadaan. Anand akan pulang dan segala sesuatunya akan baik-baik saja.”
Mona terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Aku nggak mau cucuku, Anand, membuat keputusan yang keliru. Aku sudah melihat cukup banyak hal dalam hidup ini, Virzha.”
Virzha mengangguk, mencoba menenangkan suasana, namun dalam hati, ia tahu bahwa hal ini baru permulaan dari perjalanan panjang untuk menjaga keharmonisan keluarga mereka.
***
Pintu rumah terbuka, dan Anand akhirnya masuk ke kediaman orang tuanya dengan langkah yang lelah. Raut wajahnya mencerminkan betapa capek nya ia setelah seharian penuh bekerja di rumah sakit. Begitu langkahnya terdengar, Mona yang sedang duduk di ruang tamu langsung bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri cucunya.
“Anand, kamu kenapa? Kamu nggak apa-apa kan nak?” tanya Mona, matanya langsung mengamati tubuh cucunya dengan cermat, seperti biasa. Wajahnya yang khawatir menunjukkan betapa besar rasa sayangnya.
Anand menghela napas panjang, lalu mengangguk lemas. "Aku nggak apa apa, Nek. Cuma capek, banyak pasien hari ini." Suaranya terdengar lelah, dan ia langsung menuju ruang tamu, berusaha menghindari pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut.
Mona tak bisa diam. “Ayo, segera duduk! Hehh ijaaaaaah, siapkan teh hangat dan makanan untuk cucu ku!” perintah Mona dengan nada penuh otoritas, seperti seorang ibu yang tidak akan membiarkan anaknya kelaparan.
Namun, Anand langsung menggelengkan kepala. “Nenek, aku benar-benar capek. Aku cuma ingin tidur. Mungkin lain kali aja…” jawab Anand dengan nada lembut, mencoba menghindar.
Tetapi Mona tetap bersikeras, matanya memandang cucunya dengan cemas. “eh eh... nggak Anand! Kamu harus makan dulu! Kalau nggak makan, nanti sakit!” Suaranya semakin keras, seakan tidak memberi ruang untuk penolakan.
Anand melirik ke arah kedua orang tuanya, Ranika dan Virzha, memberikan kode seakan memohon bantuan. Ekspresinya jelas, berharap mereka bisa menghentikan neneknya yang mulai berlebihan. Tetapi Virzha hanya mengangguk pelan, sementara Ranika terdiam, memandangi situasi ini dengan kebiasaan yang sudah sering ia lihat. Ranika hanya bisa menarik napas panjang.
Memang begitulah Mona. Tidak hanya kepada Anand, tetapi juga kepada anak-anak lain di keluarga, terutama Arkan, kakak laki-laki Anand. Arkan pernah bercerita tentang betapa posesifnya Mona, yang bahkan setelah ia menikah, masih merasa perlu mengatur setiap gerak-geriknya. Akhirnya, setelah menikah, Arkan memutuskan untuk pindah ke rumah sendiri agar bisa hidup lebih bebas dari kontrol berlebihan nenek mereka.
Anand tahu betul bahwa ini bukan hal baru, tapi tetap saja ia merasa kesal dan lelah. Dalam hatinya, ia berharap Mona bisa sedikit lebih mengerti dan memberi ruang untuknya.
"Nenek, jangan terlalu khawatirkan aku. Aku sudah cukup makan di rumah sakit tadi," ujar Anand, mencoba berbicara lebih tegas.
Namun Mona tetap dengan pendiriannya. “Kamu harus makan di sini, Anand! nenek nggak akan biarin kamu tidur sebelum makan!”
Virzha yang akhirnya merasa situasi ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, berdiri dan menatap istrinya dengan penuh pengertian. "Mama, Anand sudah lelah. nggak perlu dipaksa gitu. Biar dia istirahat dulu, kita bisa makan nanti," ucap Virzha dengan nada lembut namun tegas, berusaha menenangkan istrinya.
Mona tampak tak puas dengan keputusan itu, tetapi setelah beberapa saat, ia akhirnya mengalah, meskipun masih dengan wajah cemberut. “Baiklah, kalau begitu. Tapi kamu makan nanti ya anand?” tanyanya dengan nada tak sabar.
Anand hanya mengangguk pelan, merasa lega bisa mendapatkan sedikit ruang. Ia menghela napas, merasa sedikit lebih ringan, meski tahu bahwa neneknya akan terus mengkhawatirkannya seperti ini.
Anand mulai melangkah menuju tangga, berusaha untuk segera beristirahat setelah hari yang panjang dan melelahkan. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara Mona memanggil dari bawah.
"Anand, kamu pulang larut malam seperti ini, bukan karena Mikha kan?" suara Mona terdengar penuh kecurigaan, dan ia tetap berdiri di ruang tamu, memperhatikan cucunya dengan tatapan tajam. “Apa kamu habis bertemu dengannya?”
Anand terdiam sejenak, tak tahu harus menjawab apa. Ia menundukkan kepala sejenak, merasakan beban yang datang begitu saja. Memang benar, ia telah mencari Mikha seharian, tapi belum juga bertemu dengannya. Namun, ia tahu bahwa menjelaskan semuanya kepada Mona sekarang bukanlah hal yang mudah.
Dengan nafas yang dalam, Anand mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. "Nenek, aku sangat lelah hari ini. Banyak pasien di rumah sakit, aku hanya ingin tidur." Suaranya terdengar sedikit tegas, namun tetap sopan, berharap Mona bisa mengerti.
Mona masih berdiri di bawah tangga, tidak puas dengan jawaban itu. "Jadi, kamu nggak bertemu dengan Mikha hari ini?" tanyanya sekali lagi, kali ini suaranya lebih keras, seolah mendesak.
Anand memutar matanya sejenak, merasa frustasi dengan pertanyaan yang terus diulang. Ia tahu betapa besar perhatian Mona terhadapnya, tetapi kadang, perhatian itu terlalu berlebihan.
"Nenek, aku bilang, aku sangat lelah. Aku pulang karena capek, bukan karena Mikha," jawab Anand lagi, berusaha lebih tegas, meskipun di dalam hatinya ada keraguan yang tak terucapkan.
Mona tetap berdiri di sana, menatap cucunya dengan raut wajah yang sulit ditebak. Namun akhirnya, setelah beberapa detik, ia menghela napas panjang. “Yaudah, Anand. Tapi kamu harus berhati-hati. nenek hanya ingin kamu tahu, nggak semua orang bisa dipercaya,” katanya dengan nada yang lebih lembut, meskipun masih ada kekhawatiran di matanya.
Anand mengangguk pelan, merasa sedikit lebih lega meskipun Mona tetap tidak sepenuhnya puas dengan jawabannya. Ia melanjutkan langkahnya naik ke lantai atas, berusaha untuk segera beristirahat, berharap besok akan menjadi hari yang lebih baik tanpa ada pertanyaan yang tak henti-hentinya.
***
Mikha duduk di sudut kamar dengan tubuh yang terkulai lemas, mengenakan pakaian yang sudah robek di beberapa bagian. Sisa-sisa kepergian seorang pria yang semalam begitu mabuk masih terasa menghantui. Pria itu kini terkapar di atas tempat tidur, tak sadarkan diri, tubuhnya tertidur pulas setelah meneguk beberapa botol minuman keras. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara napas pria itu yang berat.
Mikha menundukkan kepala, meremas kedua tangannya yang gemetar. Perutnya terasa sangat sakit, seakan ada sesuatu yang tidak beres di dalam tubuhnya. Ia memegangi perutnya yang mual, berusaha menahan segala rasa sakit yang datang begitu mendalam. Kepalanya terasa pusing, pandangannya berputar-putar. Mungkin ini akibat dari kelelahan fisik dan emosional yang tak kunjung reda.
Rasa mual itu semakin menjadi, membuat Mikha terengah-engah, tubuhnya mulai berkeringat dingin. Tanpa bisa menahan lagi, ia bangkit terburu-buru dan berlari menuju kamar mandi. Namun, langkahnya goyah, dan tubuhnya hampir terjatuh sebelum ia sempat mencapai pintu. Ia terpaksa bersandar pada dinding, berusaha mengatur napas. Rasa mual semakin parah, tubuhnya tidak lagi bisa ia kendalikan.
Di dalam kamar mandi, Mikha menundukkan kepala, membungkuk di atas wastafel dengan napas yang terengah-engah. Tangannya memegangi perutnya yang terasa kram, tubuhnya bergetar karena rasa mual yang tak tertahankan. Ia mencoba untuk muntah, namun hanya ada rasa pahit yang tertinggal di mulutnya.
Air matanya mengalir tanpa bisa dibendung, bercampur dengan rasa sakit yang menusuk tubuhnya. Seluruh tubuhnya merasa hancur, lelah, dan sangat terluka. Setiap detik terasa begitu berat, seolah ia terperangkap dalam kesakitan yang tak berujung. Mikha menundukkan kepala lebih dalam, berusaha menahan tangisnya, tetapi itu semua sia-sia. Ia sudah terlalu lama menahan semuanya sendirian.
Setelah beberapa saat, Mikha perlahan-lahan merangkak ke pojok kamar mandi, duduk dengan punggung menempel di dinding dingin. Kepalanya terasa berat, pikirannya kacau. Ia merasa hampa, terperangkap dalam dunia yang penuh dengan penolakan dan luka. Semua yang telah ia lalui, semua yang ia lakukan, kini terasa sia-sia. Ia merasa tidak berharga, bahkan tak ada tempat lagi untuknya di dunia ini.
Di luar, pintu kamar tetap tertutup rapat. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalam, tak ada yang peduli. Mikha hanya bisa menangis dalam diam, berusaha menahan segala rasa sakit yang semakin menggerogoti tubuh dan jiwanya. Setiap tetes air mata yang jatuh mengandung harapan yang pudar, dan perasaan bahwa ia telah kehilangan segalanya.
"Anand... apakah aku masih pantas buat kamu? maafkan aku"
Virzha sebenarnya mencintai istrinya cuman krn dibawah pengaruh ibu nya Ranika jadi kayak gitu, Anand juga cintanya terlalu besar buat Mikha dan effort nya dia gak main main, sedangkan Mikha? neneknya meninggal gara-gara si Mona dan Ranika, dia nggak cinta tapi demi neneknya dia cuman pengen balas dendam🥺🥺
eps 1 udh menguras tenaga sekale