NovelToon NovelToon
Cinta Terlarang Yang Menggoda

Cinta Terlarang Yang Menggoda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Romansa / Suami ideal
Popularitas:914
Nilai: 5
Nama Author: Mamicel Cio

Hana tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam semalam. Dari seorang mahasiswi yang polos, ia terjebak dalam pusaran cinta yang rumit. Hatinya hancur saat memergoki Dion, pria yang seharusnya menjadi tunangannya, selingkuh. Dalam keterpurukan, ia bertemu Dominic, pria yang dua kali usianya, tetapi mampu membuatnya merasa dicintai seperti belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Dominic Lancaster bukan pria biasa. Kaya, berkuasa, dan memiliki masa lalu yang penuh rahasia. Namun, siapa sangka pria yang telah membuat Hana jatuh cinta ternyata adalah ayah kandung dari Dion, mantan kekasihnya?

Hubungan mereka ditentang habis-habisan. Keluarga Dominic melihat Hana hanya sebagai gadis muda yang terjebak dalam pesona seorang pria matang, sementara dunia menilai mereka dengan tatapan sinis. Apakah perbedaan usia dan takdir yang kejam akan memisahkan mereka? Ataukah cinta mereka cukup kuat untuk melawan semua rintangan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jejak kepemilikan

Tengah malam, Hana menggeliat di tempat tidur, tenggorokannya terasa kering seperti padang pasir yang haus akan hujan. Matanya perlahan terbuka, menyesuaikan diri dengan cahaya temaram dari lampu tidur di sudut ruangan. Kepalanya masih terasa berat, tetapi tubuhnya tidak sepanas sebelumnya.

Dia mengerjapkan mata, melihat sekeliling dengan bingung. Ini… bukan kamarnya. Aroma maskulin yang khas memenuhi udara, memberikan sensasi hangat yang aneh di dalam dadanya.

Di seberang ruangan, Hana melihat sosok Dominic tertidur di sofa. Pria itu masih mengenakan kemeja putihnya, dengan beberapa kancing terbuka, memperlihatkan sebagian dadanya yang bidang. Wajahnya terlihat lelah, napasnya teratur, dan satu tangan menggantung di sisi sofa, seolah siap bangun kapan saja jika sesuatu terjadi.

Hana menatapnya lama.

Pria itu… membawanya ke sini. Merawatnya. Melindunginya.

Rasa bersalah tiba-tiba menyelinap di hatinya. Kenapa Dominic harus terus-terusan diseret dalam kekacauan hidupnya? Kenapa dia selalu menjadi orang yang harus menyelamatkannya?

Menelan ludah dengan susah payah, Hana memutuskan untuk mencari air minum. Dia mencoba bangkit, tapi lututnya masih lemas. Perlahan, dia berjalan menuju dapur, mencoba tidak membuat suara agar tidak membangunkan Dominic.

Tapi baru saja ia mengambil gelas dari rak, suara berat yang familiar terdengar dari belakangnya.

“Kamu seharusnya tidak bangun sendiri.”

Hana tersentak dan menoleh. Dominic sudah berdiri di ambang pintu dapur, matanya sedikit merah karena baru saja bangun tidur. Wajahnya tampak tegang, entah karena khawatir atau marah.

Hana menelan ludah.

"Aku haus..." suaranya serak.

Dominic tidak menjawab, hanya melangkah ke arahnya dan mengambil gelas di tangannya. Dengan tenang, ia menuangkan air dari dispenser dan menyerahkannya pada Hana.

Hana menerimanya dan meneguk dengan rakus, merasa tenggorokannya sedikit lebih lega.

Dominic menyandarkan diri ke meja dapur, menatapnya tanpa berkedip. "Bagaimana perasaanmu sekarang?"

Hana meletakkan gelasnya, menunduk. "Lebih baik..."

Dominic tidak langsung menjawab. Dia melipat tangannya di dada, mengamati Hana dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kau tahu apa yang terjadi padamu tadi?" tanyanya dengan suara rendah.

Hana mengerjapkan mata. Memori tentang Dion, makanan yang dia makan, sensasi aneh yang melanda tubuhnya, dan bagaimana Dominic datang menjemputnya mulai kembali ke dalam pikirannya.

Dia menggigit bibir. "Aku... Aku tidak tahu pasti. Tapi... ada yang tidak beres setelah aku makan makanan yang Dion bawa."

Dominic menghembuskan napas panjang, mengusap wajahnya. "Dion menjebakmu. Dia memberimu sesuatu dalam makanan itu."

"Obat...?" Jantung Hana berdetak lebih kencang.

Dominic mengangguk. "Obat perangsang. Kamu beruntung aku datang tepat waktu."

"Dia... dia benar-benar..." Hana menggigit bibirnya lebih keras, rasa mual dan marah bercampur menjadi satu.

Tangan Dominic mengepal, rahangnya mengeras. "Dia sudah kelewatan. Dan aku tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja."

Hana menatapnya. Ada api kemarahan di mata Dominic, tetapi juga ada sesuatu yang lain, perlindungan. Kepedulian.

Tanpa sadar, air mata mulai menggenang di mata Hana.

"Kenapa... kenapa dia tega melakukan ini padaku?" suaranya bergetar.

Dominic langsung berdiri tegak dan mendekatinya. Dengan lembut, dia mengangkat dagu Hana agar gadis itu menatapnya.

"Karena dia tahu kamu bukan miliknya lagi dan dia tidak bisa menerima itu." suara Dominic rendah tetapi penuh ketegasan. 

Hana menggigit bibir, menahan isaknya.

Dominic mengusap pipinya dengan ibu jarinya, tatapannya melembut. "Kamu aman sekarang, Sayang. Aku ada di sini."

Hana mengangguk pelan, tetapi dalam hatinya, dia tahu badai ini belum berakhir.

"Pagi, Sayang..."

"Pa-gi..." Hana meringis ketika melihat tubuh Dominic yang penuh bekas kemerahan. 

Cahaya pagi yang menerobos masuk dari celah tirai apartemen membuat semua jejak itu terlihat jelas di kulit pria itu.

Dominic, yang masih setengah sadar, mengusap wajahnya dan duduk di tepi tempat tidur. Ia mengerang pelan, mungkin masih lelah setelah malam yang penuh drama.

Tapi saat melihat ekspresi nyengir Hana yang berusaha menahan tawa, alisnya langsung bertaut.

"Kamu ketawa apa?" tanya Dominic dengan suara serak.

Hana menunjuk dada dan lehernya.

"Itu... jejak karyaku?" ujarnya dengan nada menggoda.

"Tidak masalah. Aku suka tanda kepemilikanmu." Dominic mengangkat bahu santai, seolah tidak peduli.

Hana tersedak udara sendiri. Pipinya langsung merona. "Hei! Aku... aku tadi nggak sadar!"

Dominic terkekeh, lalu mendekat, membuat Hana otomatis mundur.

"Jadi, kamu bilang kalau sadar, kamu tidak akan melakukannya?" bisiknya sambil menahan senyum menggoda.

Hana menelan ludah, tetapi ia tidak mau kalah. Dengan mata berbinar penuh keberanian, ia berusaha menutupi kegugupannya. 

"Kalau aku sadar... mungkin aku akan melakukannya dengan lebih rapi," balasnya dengan lirikan menggoda.

Dominic terdiam sejenak, lalu tertawa pelan, terdengar dalam dan menggoda.

"Berani sekali kamu sekarang," gumamnya sambil mengusap rambut Hana yang masih sedikit berantakan.

Hana mengerucutkan bibirnya. "Salah siapa menggoda orang yang setengah sadar?"

Dominic menatapnya, matanya menggelap dengan sesuatu yang sulit diartikan. "Kalau begitu... bagaimana kalau kita ulang adegan tadi? Tapi kali ini kamu benar-benar sadar."

"Huuu itu mah maunya kamu!" Hana langsung melotot dan melempar bantal ke wajah Dominic.

Dominic hanya tertawa, menangkap bantal itu dengan mudah. "Aku hanya menawarkan, sayang. Siapa tahu kamu benar-benar ingin."

Hana mengerucutkan bibirnya lagi, kali ini lebih keras, dan berusaha menahan senyum yang hampir muncul di bibirnya. Meskipun ia berusaha menyangkal, ia tahu satu hal, hubungannya dengan Dominic semakin dalam.

Dan ia tidak bisa menghindari perasaan yang semakin kuat itu.

Hana masih bersandar di tempat tidur ketika Dominic kembali ke kamar, membawa nampan berisi sarapan. Senyum kecil terukir di wajahnya saat ia menaruh nampan itu di pangkuan Hana.

"Makan dulu," ucapnya lembut, lalu duduk di tepi tempat tidur.

Hana meliriknya dengan curiga. "Kenapa aku merasa seperti tahanan rumah?"

Dominic terkekeh. "Bukan tahanan rumah. Aku hanya ingin memastikan kamu istirahat dengan baik hari ini. Tidak ada kuliah, tidak ada kerja, hanya istirahat."

Hana menatapnya, sedikit tidak nyaman. "Tapi aku tidak bisa terus-terusan mengandalkanmu, Daddy. Aku masih punya tanggung jawab—"

Dominic menghela napas, lalu mengusap rambutnya dengan penuh kasih sayang. "Aku tahu, sayang. Tapi kali ini, biarkan aku yang menangani semuanya."

Hana menelan ludah. Ada sesuatu di mata Dominic yang membuatnya sulit untuk menolak.

"Apa maksudmu?" tanyanya akhirnya.

Dominic menatapnya dengan serius. "Hari ini aku akan mengurus semua barangmu di kost. Kamu tidak perlu kembali ke sana. Semua sudah aku pindahkan ke apartemenku."

Hana membeku. "Daddy..."

"Aku tidak ingin kamu tinggal di tempat itu lagi, tempat itu tidak aman untukmu. Kamu tahu sendiri apa yang terjadi kemarin malam. Aku tidak akan membiarkan hal seperti itu terjadi lagi." lanjutnya dengan nada tegas. 

Hana menggigit bibirnya, merasa bimbang. Ia tahu Dominic hanya ingin melindunginya, tapi ini terlalu cepat.

"Aku belum siap," bisiknya.

Dominic tersenyum kecil, lalu menggenggam tangannya. "Aku tidak memaksamu untuk melakukan apapun, Sayang. Aku hanya ingin memastikan kamu aman. Ini bukan tentang siapa yang lebih dominan dalam hubungan ini. Ini tentang keamananmu."

Hana menunduk, memainkan ujung selimut dengan gugup. "Tapi kalau aku pindah ke sini... apa kata orang?"

Dominic mengangkat dagunya, membuat mata mereka bertemu. "Biar saja mereka bicara. Yang penting, aku tahu di mana kamu berada, dan aku bisa menjagamu dengan baik."

Hana menatapnya dalam, mencoba mencari keraguan di wajah pria itu, tapi tidak ada. Dominic benar-benar serius.

Setelah beberapa saat, Hana akhirnya menghela napas pasrah. "Baiklah..."

"Pintar." Dominic tersenyum puas, lalu mengecup keningnya.

Hana menggerutu. "Kamu ini mengaturku seperti aku ini anak kecil."

Dominic tertawa. "Tidak, aku hanya memastikan istriku aman."

Hana langsung terbatuk. "Istri? Aku belum menikah denganmu, Daddy!"

Dominic mengangkat bahu. "Tunggu saja sebentar lagi. Kamu tidak akan punya pilihan selain menikah denganku."

Hana memutar matanya, tetapi jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu Dominic bukan orang yang suka bercanda soal hal seperti itu.

Dan entah kenapa... ia tidak keberatan sama sekali.

"Aku tahu, aku terlalu tampan untuk terus kamu lihat. Nikamati saja ketampananku, Sayang... Dengar ya, nanti anak kita akan setampan aku!" kata Dominic penuh percaya diri. 

Hana melipat tangan di depan dada, menatap Dominic dengan tatapan geli sekaligus kesal.

"Kamu ini terlalu percaya diri, tahu nggak?" ujar Hana, mencibir kecil.

Dominic menyeringai, lalu duduk di sampingnya dan merangkul bahunya. "Bukan percaya diri, sayang. Aku hanya mengatakan fakta."

Hana mendengus pelan. "Fakta apanya? Anak? Kita bahkan belum menikah, Daddy!"

Dominic mengangkat bahu, wajahnya tetap santai. "Itu masalah kecil. Nanti juga menikah. Lagipula, aku yakin anak kita akan tampan seperti aku atau cantik seperti kamu."

Hana menatapnya tajam. "Kamu ini bicara seperti aku sudah hamil saja!"

Dominic terkekeh, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Hana. "Kalau kamu mau hamil, aku bisa memastikan itu terjadi lebih cepat."

"Daddy!" Hana langsung memukul bahu Dominic dengan wajah merah padam.

Dominic tertawa keras, menikmati ekspresi kesal sekaligus malu dari kekasihnya. Ia lalu menarik Hana ke dalam pelukannya, membiarkan gadis itu menggerutu di dadanya.

"Tenang saja, sayang. Aku akan menikahimu secepat mungkin, dan setelah itu… kita bisa memikirkan soal anak." bisiknya lembut di telinga Hana. 

Hana tidak bisa berkata-kata lagi. Jantungnya berdetak begitu cepat, dan di dalam dekapannya, ia tahu Dominic benar-benar serius.

"Jangan terlalu difikirkan, lebih baik kita praktekkan!"

"Daddy!"

Bersambung... 

1
Mastutikeko Prasetyoningrum
semangat buat kakak penulisnya smoga ini awal cerita yg alurnya bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!