HALIM
Di dunia yang dikuasai oleh kegelapan, Raja Iblis dan sepuluh jenderalnya telah lama menjadi ancaman bagi umat manusia. Banyak pahlawan telah mencoba menantang mereka, tetapi tidak ada yang pernah kembali untuk menceritakan kisahnya.
Namun, Halim bukanlah pahlawan biasa. Ia adalah seorang jenius dengan pemikiran kritis yang tajam, kreativitas tanpa batas, dan… kebiasaan ceroboh yang sering kali membuatnya berada dalam masalah. Dengan tekad baja, ia memulai perjalanan berbahaya untuk menantang sang Raja Iblis dan kesepuluh jenderalnya, berbekal kecerdikan serta sistem sihir yang hanya sedikit orang yang bisa pahami.
Di sepanjang petualangannya, Halim akan bertemu dengan berbagai ras, menghadapi rintangan aneh yang menguji logikanya, dan terlibat dalam situasi absurd yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar sedang menjalankan misi penyelamatan dunia atau justru menjadi bagian dari kekacauan itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ILBERGA214, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 19: Perjalanan Tanpa Bayangan
Mentari bersinar cerah di langit biru, mengiringi langkah Halim dan Rian yang melanjutkan perjalanan ke barat. Jalan setapak yang mereka lalui kini dihiasi rerumputan hijau yang bergoyang diterpa angin. Pepohonan tinggi berdiri kokoh di sepanjang jalur, membentuk koridor alami yang terasa sejuk.
Rian tampak jauh lebih ceria dibanding hari-hari sebelumnya. Dengan apel yang tersisa di tangannya, ia sesekali melompat kecil sambil menikmati pemandangan sekitar. Halim, di sisi lain, berjalan dengan langkah perlahan, memastikan tidak ada bahaya di depan.
..."Rian, perutmu masih kenyang?" tanya Halim setelah beberapa saat....
..."Masih, Kakak!" jawab Rian sambil mengangguk semangat. "Apelnya enak banget!"...
Halim tersenyum tipis. Meski perjalanan ini berbahaya, melihat Rian tersenyum seperti itu membuatnya merasa sedikit lebih ringan.
..."Kalau kamu lapar lagi, kasih tahu kakak, ya? Kita masih punya bekal dari Pak Darman."...
..."Iya!"...
Perjalanan mereka berlanjut tanpa banyak gangguan. Suara burung bernyanyi mengisi udara, memberikan suasana damai yang jarang mereka rasakan sejak awal perjalanan. Sesekali, Rian bertanya tentang nama tanaman atau suara binatang yang mereka temui, dan Halim menjawab dengan sabar.
..."Apa itu tadi, Kak?" tanya Rian sambil menunjuk burung berwarna biru yang terbang melintasi mereka....
..."Itu burung merak biru langka," jawab Halim. "Katanya kalau kamu bisa melihatnya dari dekat, itu pertanda keberuntungan."...
..."Benarkah?" Mata Rian berbinar. "Aku berharap bisa melihatnya lebih dekat!"...
Halim mengangguk, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa keberuntungan bukanlah sesuatu yang bisa diandalkan dalam dunia yang dipenuhi ancaman.
Beberapa jam kemudian, suara gemericik air mulai terdengar dari kejauhan. Rian, yang penasaran, berlari mendahului Halim untuk mencari sumber suara itu.
..."Kakak Halim! Ada sungai!" serunya dengan gem:bira....
Halim menyusulnya dan mendapati sebuah sungai berair jernih mengalir perlahan. Airnya begitu bersih hingga dasar sungai yang penuh dengan bebatuan kecil terlihat jelas. Di tepiannya, rerumputan tumbuh subur, dihiasi bunga liar berwarna kuning dan ungu.
..."Bagus sekali," gumam Halim sambil menatap sungai itu....
..."Kak, boleh aku main air sebentar?" pinta Rian dengan mata berbinar....
...Halim tersenyum, lalu mengangguk. "Boleh, tapi jangan terlalu jauh ke tengah. Dan hati-hati, ya."...
Tanpa menunggu lebih lama, Rian melepas sandalnya dan berlari kecil menuju tepian sungai. Kakinya menyentuh air dingin, membuatnya tertawa riang.
..."Segar banget!" serunya....
Halim duduk di salah satu batu besar di dekat sana, mengawasi Rian dengan saksama. Meski terlihat santai, ia tetap waspada terhadap kemungkinan adanya monster air.
Sambil menunggu, Halim membuka kantong bekal yang diberikan Darman. Ia mengeluarkan beberapa potong roti kering dan apel, kemudian memakannya perlahan.
..."Nikmatin momen kayak gini itu penting," pikirnya. "Siapa tahu kapan lagi bisa istirahat dengan tenang."...
Rian terus bermain dengan ceria. Ia memercikkan air ke wajahnya, membentuk lingkaran kecil dengan tangan mungilnya. Tawa polosnya menggema, membawa suasana damai yang jarang dirasakan Halim belakangan ini.
Namun, tanpa mereka sadari, dari kejauhan, sepasang mata kuning mengintai di balik semak-semak.
Saat matahari mulai condong ke barat, Halim memutuskan bahwa sudah waktunya melanjutkan perjalanan.
..."Rian, ayo bersihkan kaki kamu. Kita lanjut jalan."...
Rian mengangguk patuh. Ia membilas kakinya dengan air sungai, lalu mengenakan kembali sandalnya. Namun, sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, semak-semak di dekat mereka bergoyang dengan keras.
Halim langsung berdiri dengan waspada. Tangannya meraih pedang di pinggang, matanya mengamati sekitar.
..."Siapa di sana?" seru Halim....
Dari balik dedaunan, seekor makhluk kecil muncul. Seekor rubah berbulu putih dengan ekor panjang yang menggulung lembut. Matanya yang bersinar keemasan menatap Halim dan Rian dengan rasa ingin tahu.
..."Rubah salju?" gumam Halim....
...Rian terpesona. "Lucu banget!"...
Rubah itu tidak menunjukkan tanda-tanda agresif. Sebaliknya, ia mendekat perlahan, seolah mencoba memahami siapa yang berdiri di hadapannya.
..."Jangan dekat-dekat, Rian," ujar Halim pelan. "**Kita tidak tahu apakah dia berbahaya atau tidak**."...
Namun, rubah itu hanya duduk di hadapan mereka, ekornya melambai pelan. Ada sesuatu yang aneh, makhluk itu terlihat cerdas, seolah memahami situasi.
..."Dia... mengawasi kita sejak tadi," gumam Halim....
..."Kakak, dia nggak kelihatan ganas," kata Rian dengan nada lembut. "Boleh aku mendekat?"...
...Halim ragu. Namun, setelah menimbang sejenak, ia mengangguk. "Pelan-pelan saja dan hati-hati. Jangan buat dia takut."...
Rian mendekati rubah salju dengan hati-hati. Tangannya terulur pelan, mencoba menyentuh bulu putih lembutnya. Namun sebelum tangannya menyentuhnya, rubah itu berdiri dan berlari kecil ke arah hutan.
..."Eh? Dia pergi!" seru Rian kecewa....
...Halim menghela napas lega. "Mungkin dia cuma penasaran."...
..."Semoga kita bisa ketemu dia lagi," ujar Rian sambil tersenyum....
...Halim tersenyum kecil. "Ayo, kita lanjut."...
Langit mulai memerah saat Halim dan Rian kembali berjalan di jalan setapak. Meskipun perjalanan ini masih panjang, semangat Rian tetap terjaga, terutama setelah pertemuan singkat dengan rubah salju tadi.
..."Kakak Halim," panggil Rian tiba-tiba....
..."Hmm?"...
..."Kalau Kakak berhasil mengalahkan Raja Iblis, apa Kakak bakal tetap jalan-jalan kayak gini?"...
Halim terdiam sejenak. Pertanyaan itu sederhana, tapi jawabannya tidak.
..."Kakak... tidak tahu," jawab Halim jujur. "Mungkin kakak bakal istirahat kembali ke desa tempat tinggal kakak. Tapi kalau ada yang butuh bantuan, kakak tidak akan diam aja."...
...Rian mengangguk, lalu tersenyum. "Kalau aku besar nanti, aku juga mau bantu banyak orang kayak Kakak!"...
...Halim menatap anak itu dengan bangga. "Kalau kamu punya hati yang baik, itu udah cukup buat bantu orang lain."...
Langkah mereka terus berlanjut di bawah langit yang perlahan berubah menjadi gelap. Di kejauhan, samar-samar terlihat cahaya desa berikutnya, menandakan bahwa tempat singgah selanjutnya sudah semakin dekat.
Meski perjalanan ini dipenuhi bahaya, saat-saat seperti ini mengingatkan Halim bahwa masih ada kehangatan di dunia ini. Dan selama masih ada alasan untuk melangkah, ia akan terus berjalan.
..."Untuk masa depan yang lebih baik."...
sekarang semakin banyak yang mengedit dengan chat GPT tanpa revisi membuat tulisan kurang hidup. saya tahu karena saya juga pakai 2 jam sehari untuk belajar menulis. Saya sangat afal dengan pola tulisan AI yang sering pakai majas-majas 'seolah' di akhir kalimat secara berlebihan dengan struktur khas yang rapih.
ya saya harap bisa diedit agar lebih natural.
Udah baca eps 1 ini, ceritanya lumayan menarik. Kapan² gue kesini lagi ya kalau ada waktu, Semangat.