Reno, adalah putra kedua dari tiga bersaudara. Papanya memiliki jabatan yang tinggi di suatu instansi pemerintah dan mamanya seorang pengacara terkenal, kakanya jebolan sekolah kedinasan yang melahirkan Intel negara. Sementara dia anak tengah yang selalu dibanding-bandingkan dengan kesuksesan sang Kaka, berprofesi sebagai TNI berpangkat Bintara. Tapi Reno adalah anak yang penurut dan paling berbakti pada kedua orangtuanya.
Keinginannya menjadi seorang TNI karena kejadian luar biasa yang mempertemukan dirinya dengan sosok yang sangat dia kagumi, sosok idola yang merubah hidup dan cara pandangnya.
Hingga pada suatu hari takdir mempertemukan Reno dengan Kanaya yang membantu cita-citanya menjadi seorang TNI terwujud.
Kanaya menemani Reno dari nol karena Reno tidak mendapatkan dukungan dari kedua orangtuanya.
Apakah cinta kasih Reno dan Kanaya akan berlanjut ke pelaminan, atau Kanaya hanya dimanfaatkan Reno saja untuk mencapai cita-citanya?
Yuks ikuti kisah Reno di Cinta Bintara Rema
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 : Kehadiranmu ...
Happy Reading ... 🩷🩷
Untuk pertama kalinya Yulan berjalan dengan gugup dan perasaan yang campur aduk saat melewati lorong yang akan membawanya menuju ruang pertemuan dengan narapidana. Sebagai pengacara tentu hal ini bukanlah yang pertama baginya, sering, bahkan jika sedang banyak kasus bisa tiap Minggu dia ke ruangan itu.
Akan tetapi hari itu adalah pertama kali baginya menjenguk Hartawan di penjara, biasanya dia melimpahkan kuasa pada rekan satu profesinya yang dia tunjuk sebagai kuasa hukum Wawan (Hartawan).
Setelah dipersilahkan duduk oleh sipir yang juga sudah mengenalnya, Yulan duduk dengan punggung yang tegak, tangan yang kini dingin berkeringat dia letakkan di bawah meja dan diatas pangkuannya.
Suara kunci besi terdengar nyaring saat sipir membukakan pintu penghubung dari lorong sel menuju ruang pertemuan. Dari kaca persegi panjang di pintu besi itu, tampil lah wajah Wawan yang kini memiliki brewok tak terurus. Tapi bibir pria itu tersenyum melihat siapa yang datang.
"Sayang ... Akhirnya kamu datang." ucapnya dengan tatapan mata penuh kerinduan.
Yulan mengulas senyuman ragu, dia tidak berani menatap wajah pria yang masih berstatus suaminya itu dengan lama, Yulan segera mengalihkan pandangannya ke tangan Wawan yang nyaris menggapai wajahnya.
"Kamu terlihat kurus, sayang." tangan besar dengan jari-jari panjang itu berhasil mengelus pipi Yulan dengan lembut.
Andai tidak pernah ada pengkhianatan, mungkin sentuhan lembut itu sangat ia rindukan, dari sentuhan tangan kekar itu, dia pernah merasa dicintai hingga ia merelakan seluruh hidupnya pada lelaki yang ada di depannya saat ini.
Yulan nyaris menangis saat merasakan lagi sentuhan suaminya, namun sekuat tenaga dia menahannya, sekuat tenaga dia mengigit daging pipi bagian dalam, agar tidak lolos isak dari bibirnya. Dia lalu mengingat, tangan kekar itu pernah menonjoknya, menamparnya berkali-kali hingga bibir dan pelipisnya robek.
"Bagaimana kabar anak-anak, sayang." tanya Wawan dengan nada lembut, sama seperti awal pernikahannya.
"Baik, Reno ... Masuk TNI." jawab Yulan dengan nada bergetar
Kepergian Reno menjalani pendidikan militer di Surabaya sedikit banyak merubah pola pikir dan perasaannya, tidak ada pelindungnya lagi di rumah, tidak ada hati yang nyaman yang selalu memberikan dirinya kekuatan dan rasa percaya diri. Yulan sangat membutuhkan putranya ada di sisinya, selalu.
"Aku bersyukur, anak itu punya cita-cita. Tadinya aku pikir dia akan jadi anak berandalan yang susah di atur. Walaupun, aku kecewa dia hanya berpangkat Bintara nantinya." ucap Wawan.
"Kalau aku yakin dia akan jadi orang yang sukses dari banyak hal, tidak masalah apapun pangkatnya bagiku, dia sudah melakukan yang terbaik, yang dia bisa." jawab Yulan
"Sayang, apa kamu sudah menjenguk putriku dari Lidia?" tanyanya tak tahu malu.
Yulan menaikan pandangannya, dia tatap suaminya penuh kebencian. Wawan terkesiap mendapati tatapan itu. Lelaki itu langsung menunduk.
"Aku bawakan ini!" Yulan lemparkan sebuah dokumen yang masih terlihat rapih di dalam amplop.
Lelaki itu mengapai amplop putih dengan logo rumah sakit. Dengan hati-hati dia membuka amplop itu, seakan berita gembira yang akan dia baca di tiap kalimat di sana.
Seketika bola matanya melebar, bibirnya menganga dan tangannya mulai bergetar. Dia terus menatap tiap tulisan yang baru saja dia baca.
"Ini—tidak mungkin! Ini—palsu, iya! ... Ini pasti hasil test yang palsu! Kamu ingin membodohi ku, Yulan!! Dia hanya tidur denganku, tidak mungkin anak itu milik orang lain!" suaranya meninggi dan di telinga Yulan terasa menggelegar.
"Untuk apa aku membodohi mu, memang kamu yang dengan sukarela dibodohi olehnya!" pekik Yulan
Tangan yang sejak tadi tenang di atas pangkuannya, kini mengepal dengan kencang.
Kalau saja bukan karena menjaga attitude sebagai profesi pengacara, ingin rasanya dia tonjok lelaki yang masih menyandang status suaminya itu.
"Jadi selama ini dia membodohi aku? Anak itu bukan anakku?" ucapnya ragu, ada penyesalan di nada bicaranya itu.
"Dan ... Ini kabar gundikmu yang lain. Euis kerja jadi TKW di arab, anaknya entah dia berikan pada siapa." Yulan melemparkan tablet yang memutar akun medsos Euis, mantan Baby sitternya.
"Kalau dia memang darah dagingmu, aku bersedia mengurusnya, tapi kalau bukan, aku tidak sudi berbagi rezeki pada anak orang lain. Anak kandungku sendiri, selalu aku batasi keperluannya, masa aku harus banting tulang buat anak haram mereka!" gerutu Yulan.
Wawan menatap istrinya dengan tatapan mengiba, entah apa yang dia inginkan kali ini. Yulan melengos saat mendapati tatapan mengiba itu.
"Tolong cari anakku dari Euis, Lan." pintanya
Bener kan ...! Pasti ada maunya.
"Aku tidak janji. Prioritasku buah hatiku sendiri. Dan mereka yang akan menemaniku hingga tua." sindir Yulan
Dasar lelaki tak tahu malu, anak dipangku dilepaskan, beruk dalam rimba disusukan.
Yulan mengakhiri pertemuan dengan Wawan walaupun perasaannya masih menggantung, sebenarnya dia sangat ingin meminta cerai dari Wawan. Tapi saat di depan lelaki itu, kata-kata yang sudah ia susun kembali mengendap di dasar hatinya. Entah Wawan yang memiliki pelet agar Yulan tunduk dan patuh padanya, atau memang masih ada rasa sayang di hatinya.
Mengingat dulu, saat mereka masih sama-sama berstatus sepupuan. Hartawan adalah sepupu sekaligus Kaka angkat yang sangat melindungi dan sayang padanya, hingga Yulan sangat menghormatinya.
Atas dasar itu pula, dia bersedia di nikahkan dengan Wawan, meski harus mengorbankan cinta dari lelaki baik yang menjadi cinta pertamanya.
Yulan berjalan dengan bimbang menuju mobil yang terparkir di halaman lapas. Dia berdiri sejenak di depan mobilnya, tangannya menggenggam gawai yang sejak tadi dia tatap. Ponsel itu berdering ...
"Iya mas, baik ... Aku akan ke sana." Yulan menarik sudut bibirnya ke atas.
Dengan lihai dan lincah, Yulan mengendarai mobilnya menuju sebuah apartemen di tengah ibu kota.
Suara ketukan sepatu pantopelnya mengisi lorong apartemen yang sepi saat itu. Dengan menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan, dia memberanikan diri memencet bel sebuah unit apartemen di lantai 45 itu.
"Masuk lah ... " Suara bariton menyambut kehadirannya.
Setelah menutup pintu, Lelaki itu merentangkan lengannya, agar Yulan masuk dalam pelukannya.
"Aku merindukanmu ... " bisiknya.
"Aku juga." balasnya dengan senyuman manis.
Lama mereka berpelukan dengan suara degup yang saling berpacu, getaran itu selalu ada, tidak pernah melemah saat bertemu maupun berjauhan. Bahkan, mendengar namanya saja disebut, hatinya langsung bergetar menahan kerinduan.
"Reno sangat merindukanmu, Mas ... " ucap Yulan
"Aku terus memantaunya, walaupun belum bisa menemuinya sekarang."
"Maaf jika aku tidak mampu membuatnya sesuai keinginanmu, menjadi seorang perwira. Dia terlalu semangat saat pembukaan Dikmaba dibuka." sesal Yulan
"Tidak masalah, mungkin sudah takdirnya di sana. Tapi kita bisa beri dia kesempatan dan motivasi untuk kuliah hukum sesuai harapan kamu."
"Bagaimana dengan Kanaya?"
"Dia sudah mengikuti alur yang kakek neneknya berikan, aku bisa apa? Untuk menemuinya saja sebuah kemustahilan." keluh Sandi
Mereka berjalan bergandengan mendekati jendela kaca besar yang menampilkan suasana lalu lintas kota Jakarta yang selalu ramai.
"Apa kamu sudah meminta cerai padanya?" tanya Sandi
"Belum, saat menemuinya tadi, kata-kata kembali tertahan di tenggorokan." sesal Yulan
Sandi mengecup pucuk kepala Yulan dengan lembut. "Kamu harus lebih banyak sabar menghadapinya, Lan."
Yulan menaikan dagunya untuk menatap wajah Sandi.
"Kamu tidak marah?" tanyanya
"Untuk apa aku marah, semua keputusan ada di kamu. Aku laki-laki bebas sekarang. Apapun keputusanmu, aku hargai. Dan aku akan selalu mencintaimu, Yulan. Perasaan ini tidak akan berubah." Sandi menundukkan wajahnya menatap manik hitam milik wanita yang dia cintai.
"Dia ayah dari anak-anakmu, tanyakan mereka sebelum kamu mengambil keputusan." pesan Sandi
"Davin sudah mengizinkan, Reno dan Lalita ... Aku belum berani mengatakan pada mereka. Reno sangat menghormati dan menyayangi Wawan."
"Reno memang memiliki kepribadian yang menarik, hatinya selalu lembut pada siapapun." ucap Sandi
"Dua Minggu lagi penutupan Pusdikdasmil, apa kamu akan menemuinya? Dia pasti sangat senang, Mas."
"Saat ini belum bisa, mata-mata Cipto ada di mana-mana. Aku tidak ingin Reno mengalami penindasan di sana. Lelaki tua itu bukan manusia jika keinginannya tidak kita penuhi."
Yulan menatap jauh langit biru dari jendela kaca, ada kekhawatiran di hatinya jika jatidiri Reno terungkap.
"Mama merindukanmu, Ren!" lirihnya.
...☘️☘️☘️☘️☘️...
B e r s a m b u n g ...
Hai Gaes... Selamat menjalankan ibadah puasa. Semangat !!
Jangan lupa tinggalkan jejak ya ... Author akan mengapresiasi partisipasi pembaca setia setiap novelku, Terima kasih 🩷🩷