SPESIAL RAMADHAN
Sekuel dari cerita Jual Diri Demi Keluarga.
Setelah melewati masa kelam yang penuh luka, Santi memutuskan untuk meninggalkan hidup lamanya dan mencari jalan menuju ketenangan. Pesantren menjadi tempat persinggahannya, tempat di mana ia berharap bisa kembali kepada Tuhannya.
Diperjalanan hijrahnya, ia menemukan pasangan hidupnya. Seorang pria yang ia harapkan mampu membimbingnya, ternyata Allah hadirkan sebagai penghapus dosanya di masa lalu.
**"Menjemput Cahaya"** adalah kisah tentang perjalanan batin, pengampunan, dan pencarian cahaya hidup. Mampukah Santi menemukan kedamaian yang selama ini ia cari? Dan siapa pria yang menjadi jodohnya? Dan mengapa pria itu sebagai penghapus dosanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10_Cinta yang Belum Usai
“Umi dengar Aliya sudah pergi ke Mesir beberapa minggu yang lalu untuk melanjutkan studinya,” ujar Hana, ibu Fahri, seraya melangkah mendekati putranya.
Fahri duduk di balik meja kerjanya, matanya sibuk meneliti angka-angka pada layar laptop di hadapannya, sementara tangannya mencocokkan berkas fisik yang ada di tangannya ke file yang ada di layar laptop. Mendengar suara ibunya, ia tak langsung menoleh, hanya memberikan anggukan kecil.
“Ya, Fahri sudah tahu kabar itu, Umi.”
Hana menghela napas pelan, lalu menarik kursi di hadapan Fahri dan duduk dengan tatapan penuh selidik. Matanya yang lembut menyiratkan pertanyaan yang sejak lama mengendap dalam hatinya.
“Memangnya, apa sih kurangnya Aliya di matamu, Fahri?” tanyanya, suaranya lirih namun mengandung tekanan yang cukup dalam.
Fahri akhirnya mengangkat wajahnya. Matanya yang tajam menatap ibunya dengan tatapan lembut, sesaat sebelum kembali ke tumpukan dokumen di depannya. Ia diam sejenak, seolah memilih kata yang tepat.
“Tidak ada, Umi. Aliya itu gadis yang baik, cerdas, dan berpendidikan. Dia tidak ada kurangnya,” jawabnya datar.
Hana menautkan jemarinya di atas pangkuan, “lalu, apa alasanmu menolaknya?”
Keheningan menggantung di antara mereka. Hanya suara kipas laptop yang terdengar samar.
Fahri menghela napas berat. Ia tahu, ibunya hanya ingin yang terbaik untuknya. Tapi, ia tidak bisa memaksakan hati yang sudah terlanjur memilih.
“Bukan karena Aliya tidak cukup baik,” akhirnya Fahri bersuara, “tapi karena Fahri tidak bisa membohongi hati Fahri sendiri umi.”
Hana menatapnya penuh tanda tanya, “apa maksud mu Fahri, umi tidak mengerti?”
Fahri menutup dokumen di tangannya, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. Matanya menerawang, menembus masa lalu yang hingga kini masih menyesakkan dadanya.
Bertahun-tahun lamanya Fahri berusaha melupakan satu nama. Tapi semakin Fahri berusaha melupakannya, semakin nama itu melekat di hatinya.
Cinta masa kecilnya hingga kini masih menghantui dirinya. Seseorang yang sudah lama pergi, tapi tak pernah benar-benar hilang dari hatinya.
Matanya menatap kosong ke arah jendela, tapi sejatinya, ia tidak benar-benar melihat apa pun di luar sana. Pikirannya sedang terseret kembali ke masa lalu—ke hari-hari di mana hatinya pertama kali bergetar karena seorang gadis pendiam yang kini hanya menjadi bayang-bayang.
Ia masih mengingatnya dengan jelas. Gadis itu adalah teman satu sekolahnya saat SMP—seseorang yang selalu hadir di hari-harinya, seseorang yang senyumnya pernah menjadi penyemangatnya, seseorang yang membuatnya mengenal apa itu cinta.
Mereka memang tidak pernah bertegur sapa, tidak pernah berjalan bersama, apalagi bercanda ria. Tapi, gadis itu berhasil membuatnya jatuh cinta.
Saat itu, cinta masih polos dan sederhana. Tidak ada janji yang diucapkan, tidak ada kata "aku mencintaimu" yang terucap. Tapi di dalam hatinya, ia tahu gadis itu adalah seseorang yang istimewa.
Namun, waktu berjalan tanpa bisa ditahan. Setelah kelulusan, mereka berpisah, menempuh jalan masing-masing. Tanpa diminta, keadaan membuatnya tidak pernah lagi bertemu dengan gadis itu, di kebetulan manapun.
Namun, di hatinya hanya ada gadis itu seorang. Tanpa diminta, di tengah kesibukan yang menumpuk, pikirannya sering kali melayang pada satu sosok—seseorang dari masa lalu yang bahkan tak pernah benar-benar ia kenal.
Ia tidak tahu mengapa gadis itu begitu membekas di hatinya. Mereka tidak pernah berbicara, tidak pernah bertegur sapa, bahkan mungkin gadis itu tidak pernah menyadari keberadaannya. Namun, sejak pertama kali melihatnya, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang sulit dijelaskan, tapi cukup kuat untuk bertahan selama bertahun-tahun.
Ia mengingat cara gadis itu berjalan melewati koridor sekolah dengan wajah tertunduk karena malu, bagaimana jilbabnya tertiup angin saat ia berlari-lari kecil menuju lapangan saat bel sekolah berbunyi. Ia ingat bagaimana gadis itu tertawa bersama teman-temannya—suara yang tidak pernah ia dengar secara langsung, tapi selalu terasa akrab di telinganya.
Ia bahkan tidak tahu namanya dengan pasti. Yang ia tahu hanyalah bahwa gadis itu ada, pernah ada di dalam dunianya, meskipun hanya sebagai sosok yang dilihatnya dari kejauhan.
Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, ia bertanya-tanya—di mana gadis itu sekarang? Apakah dia masih seperti dulu? Apakah dia bahagia? Apakah dia pernah, walau hanya sesaat, menyadari keberadaannya?
Atau semua ini hanya khayalan seorang pria yang terjebak dalam kenangan semu, mencintai seseorang yang bahkan mungkin tak pernah tahu bahwa ia ada?
Bertahun-tahun berlalu, ia telah bertemu banyak wanita, ia mencoba jatuh cinta kembali. Namun, nyatanya cinta baru hanya mampu menyamarkan cinta lama, namun tidak pernah benar-benar menghilangkannya.
Hati kecilnya menyimpan harapan yang bahkan ia sendiri takut untuk akui. Jika takdir mengizinkan, akankah mereka dipertemukan lagi? Ataukah cinta ini memang ditakdirkan hanya sebagai kenangan yang tak akan pernah tergapai?
Hana mengamati wajah putranya, lalu tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang tak disangka.
“Kamu tidak naksir Santi, kan?” tanyanya tajam yang membuyarkan lamunan Fahri.
Fahri terkejut, lalu tertawa kecil, “Umi, kok bisa berpikiran begitu sih?”
“Ya, siapa tahu,” jawab Hana santai, namun, wajahnya berubah serius, "tapi kalau iya, Umi tidak setuju. Kamu tahu kan, bagaimana masa lalunya?”
Fahri langsung menatap ibunya. Nada ibunya mungkin terdengar biasa saja, tetapi ia tahu, di baliknya ada penolakan yang tegas.
“Umi...” Fahri menarik napas panjang, "jangan membahas aib orang lain. Itu dosa.”
Hana terdiam, tetapi ekspresinya masih menyiratkan ketidaksukaannya.
“Umi hanya mengingatkan,” katanya akhirnya.
“Umi tenang saja. Fahri hanya berniat menolong Santi, tidak ada maksud lain.”
Hana memandangi putranya lama, lalu mengangguk pelan.
“Baiklah kalau begitu. Tapi jangan sampai niat menolong itu berujung pada hal yang tidak diinginkan.”
Sebagai seorang ibu, normal rasanya jika Hana ingin putranya yang telah ia didik dan sekolahkan tinggi-tinggi mendapatkan pasangan yang terbaik, yang akan sehidup semati bersama putranya.
Fahri tersenyum, “Fahri tahu batasannya, Umi.”
Hana mengangguk lagi, lalu bangkit dari kursinya, “kalau begitu, Umi tinggal dulu. Jangan begadang. Jaga kesehatan.”
Fahri tersenyum lembut, “siap, Umi.”
Setelah ibunya pergi, Fahri kembali menyandarkan tubuhnya pada kursi. Namun, pikirannya sudah tidak lagi tertuju pada laporan keuangan. Sebuah nama kembali mengisi relung hatinya—nama yang bertahun-tahun ia simpan, tapi tak pernah bisa ia miliki.
Dan di antara kenangan itu, muncul bayangan seorang gadis dengan masa lalu yang rumit. Santi. Kenangan bagaimana pertama kali ia bertemu dengan Santi, kembali menghantui pikirannya.
Ia merasa Santi hanyalah korban keadaan, dan aslinya ia tidaklah seburuk masa lalunya. Ia tidak memilih profesi itu serta-merta karena nafsu, melainkan untuk bertahan hidup.
Hati kecilnya bertanya-tanya... Apakah ia benar-benar hanya ingin menolong Santi? Ataukah takdir sedang mempermainkan perasaannya?
Lalu, bagaimana dengan gadis di masa lalunya, yang bahkan hingga saat ini masih memenuhi relung hatinya. Tak perduli bagaimana kabarnya saat ini? Apakah ia masih hidup? Apakah dia masih sendiri atau sudah menikah? Apakah dia masih menjadi gadis pendiam dan pemalu atau sudah berubah? Ia tidak perduli, nyatanya hatinya masih belum bisa melupakannya.
jgn asal nyosor..
bahaya donk..
kan udah jadi ustad..
😀😀😀❤❤❤❤❤
myngkin saja ada yg lihat mereka lagi ambil vairan pel atau saat nuang di lantai..
❤❤❤❤❤
halalin aja.
😀😀😀❤❤❤❤
😀😀😀❤❤❤❤❤
dingin..
menghanyutkan..
❤❤❤❤❤❤😉
pasti Adam.paham Santi punya daya tarik pemikat..
mudah2an..
Adam.mau halalin Santi lebih dulu...
❤❤❤❤❤
mudah2an karena sama2 pendosa..
jadi sama2 mau neryonat dan menyayangi..
❤❤❤❤❤
Santi jadi gak kuat..
😀😀😀❤😉❤
atau jgn2 Dam pernah tau Santi sblm mereka ktmu di bus.
mungkinkah hanya Adam yg tulus mau nikahi Santi..
mengingat ibu Adam kan udah meninggal.. .
jadi gak ada yg ngelarang seperti ibu Fahri..
❤❤❤❤❤❤
jadi penasarannn...
siapa akhirnya jodoh Santi..
❤❤❤❤❤❤
saingan terberat Santi datang..
😀😀❤❤❤❤
😀😀😀❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
jadi penasarannn..
❤❤❤❤❤❤