Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
Pagi-pagi sekali, Sabrina sudah terbangun karena suara berisik dari dapur. Terdengar suara panci jatuh, diikuti tawa ngakak khas Miran, Andi, dan Ridwan. Sabrina mengusap wajahnya dengan kesal, merasa belum puas tidur setelah perjalanan panjang kemarin.
Dia berjalan ke dapur dengan langkah gontai, tetapi alisnya langsung terangkat begitu melihat ketiga adiknya sedang "berperang" di ruang makan.
"Astaga, kalian ngapain sih pagi-pagi udah bikin rusuh?!" seru Sabrina.
Miran, dengan mulut penuh nasi, langsung menjawab. "Sengaja biar Kakak bangun bantuin Bunda!"
Sabrina melotot. "Miran, kalau mau bangunin, tinggal panggil, jangan bikin rumah kayak pasar malam!"
Abiyan yang duduk di ujung meja ikut menengahi. "Miran, nggak boleh gitu. Dia itu Kakak kamu!"
Namun, Ridwan, si bungsu yang paling usil, tiba-tiba menyela sambil menunjuk wajah Sabrina. "Tapi kenapa wajah Kakak kayak sapi ngamuknya Pak Behan yang lepas kemarin?"
Seketika suasana meja makan pecah dengan tawa. Miran sampai terbatuk karena terlalu keras tertawa, sementara Gina, sang bunda, langsung menegur anak bungsunya dengan nada tegas.
"Heh, Ridwan! Itu bukan Pak Beha, tapi Pak Behan, Kurang N!"
Ridwan mengangkat bahu, lalu dengan polosnya berkata, "Sama aja, Mak. Kurang N doang!"
Sabrina yang awalnya sudah kesal, kini semakin naik darah. Ia menunjuk Ridwan dengan garpu yang baru saja ia ambil. "Ridwan, kau ini ya! Kalau aku ngamuk beneran, tahu rasa kau nanti!"
Gina menggelengkan kepala. "Sudah, Kak. Karena kamu sudah bangun, ayo sarapan. Habis itu ikut Mamak, ya."
Sabrina mengernyit, lalu duduk di kursi kosong. "Mau ke mana, Mak?"
"Ada kajian di pendopo dekat sini. Kebetulan ustadznya terkenal di daerah M. Bagus kajiannya, jadi kita harus pergi," jelas Gina sambil menyuap nasi.
Abiyan ikut menimpali, dengan nada bercanda. "Mamakmu itu sebenarnya ngefans. Makanya semangat banget mau pergi."
"Heheheh, Pak, kesempatan nggak datang dua kali. Gratis pula, bisa lihat langsung mukanya," sahut Gina, setengah tertawa.
Sabrina langsung menoleh ke ibunya. "Tapi kan cuma bisa lihat lewat layar tancap, kan, Mak? Mana boleh ustadz itu perempuan lihat langsung. Katanya haram."
"Syuuut! Jangan ngomong gitu, nanti yang denger ngamuk," tegur Gina sambil melotot, tapi tidak bisa menahan senyum.
Abiyan menatap Sabrina serius. "Kamu ikut ya, Nak? Sejak kamu merantau, jarang kamu ikut acara seperti itu lagi."
Belum sempat Sabrina menjawab, Andi tiba-tiba menyelutuk blak-blakan. "Jangankan pergi kajian, Pak. Kakak itu pulang aja jarang. Kalau duitnya nggak habis atau diusir dari kosan, nggak bakal pulang dia."
Semua orang di meja makan terdiam. Sabrina membelalak kaget, sementara Andi malah tertawa terbahak-bahak.
"Andi! Kau ini ya! Kurang ajar!" Sabrina berdiri sambil menunjuk Andi dengan garpu, lalu menempelkan jari di lehernya, memberi isyarat akan "menggorok." "Kamu minta banget aku geprek, ya?!"
Ridwan malah ikut menimpali sambil tertawa, "Kalau Kakak mau geprek Andi, jangan lupa pakai sambal!"
"Sudah, sudah! Andi, kamu minta maaf sama Kakakmu," ucap Abiyan tegas.
Andi, dengan wajah tanpa dosa, mengangkat tangan seperti orang menyerah. "Sorry, Kak. Keceplosan."
Sabrina mendengus, lalu duduk kembali sambil melipat tangan di dada. Namun, hatinya masih dongkol melihat senyum culas Andi yang jelas-jelas tidak menyesal.
...➰➰➰➰...
Pagi itu, Ustadz Aiman dan Ustadz Haidar tengah bersiap-siap di teras rumah Pak RT. Keduanya tampak rapi mengenakan baju koko putih bersih dengan sorban tersampir di bahu. Suasana masih tenang, hanya terdengar burung-burung berkicau di pepohonan sekitar rumah.
"Alhamdulillah, suasana desa ini adem sekali, ya," ujar Ustadz Haidar sambil menatap pohon mangga di depan rumah. "Berbeda sekali dengan kota. Kalau di sana, pagi-pagi sudah macet, klakson di mana-mana."
Ustadz Aiman mengangguk sambil memeriksa tas kecil yang ia bawa. "Betul. Di sini serasa lebih dekat dengan alam. Rasanya seperti mengingatkan kita untuk lebih bersyukur atas nikmat yang Allah berikan."
"Benar, Ustadz," sahut Ustadz Haidar, lalu tersenyum. "Tapi jujur, saya sedikit khawatir. Orang-orang di desa ini sepertinya sangat antusias menunggu kita di pendopo. Apa kita sudah cukup mempersiapkan materi?"
Ustadz Aiman menepuk bahu rekannya. "InsyaAllah cukup, Ustadz. Kita niatkan semua untuk berdakwah karena Allah. Materi sudah kita siapkan, tinggal serahkan hasilnya kepada-Nya."
Belum sempat mereka melanjutkan obrolan, suara langkah kaki terdengar semakin mendekat. Pak RT muncul dari arah pintu belakang rumah, mengenakan baju batik dan peci hitam, wajahnya tampak sumringah.
"Wah, Ustadz Aiman, Ustadz Haidar, sudah siap, ya? Ayo, kita berangkat ke pendopo. Orang-orang sudah banyak yang datang menunggu," ucap Pak RT sambil mengusap kedua tangannya seperti orang terburu-buru.
Ustadz Haidar melirik jam tangannya, lalu tersenyum. "Ternyata masih cukup pagi. Semangat sekali, ya, warga di sini?"
Pak RT mengangguk sambil tertawa kecil. "Iya, Ustadz. Mereka jarang sekali dapat kesempatan ikut kajian dari ustadz-ustadz seperti kalian. Makanya, begitu tahu ada acara ini, semua langsung antusias."
Ustadz Aiman berdiri sambil membawa tas kecilnya. "Baiklah, kalau begitu mari kita berangkat, Pak RT. Semoga kajian hari ini membawa manfaat bagi kita semua."
Mereka bertiga pun berjalan menyusuri jalanan desa menuju pendopo. Di sepanjang perjalanan, beberapa warga menyapa dengan penuh ramah, bahkan ada yang menghentikan langkah mereka sebentar untuk sekadar memberikan salam atau mendoakan.
Pak RT menoleh ke Ustadz Aiman. "Ustadz, saya sudah siapkan tempat duduk untuk kalian di bagian depan pendopo. InsyaAllah nyaman."
"Terima kasih banyak, Pak RT," jawab Ustadz Aiman.
Ustadz Haidar menambahkan dengan nada bercanda, "Pak RT, kalau saya boleh minta, tempat duduk saya jangan terlalu dekat dengan speaker, ya. Kalau terlalu keras, nanti saya jadi kurang fokus."
Pak RT tertawa kecil. "Iya, iya, Ustadz. Saya pastikan semuanya sesuai harapan."
Mereka bertiga melanjutkan perjalanan dengan suasana santai, sambil sesekali bercanda ringan hingga akhirnya tiba di pendopo, tempat kajian akan berlangsung. Warga yang sudah berkumpul di sana menyambut kedatangan mereka dengan penuh antusias.
...➰➰➰➰...
Sabrina berdiri di depan pintu rumah, menatap bayangannya di kaca dengan tatapan heran. Gamis panjang kebesaran yang dipaksakan Gina kepadanya terasa seperti jubah penyihir. Lengannya menggantung longgar, dan hijab instan pemberian mamaknya membuat wajahnya terlihat bundar sempurna. Ia menarik napas panjang, merasa seperti anak kecil yang dipakaikan baju oleh ibunya.
"Mak, yakin ini bagus? Serius, kok kayak tirai ruang tamu sih? " keluh Sabrina sambil memutar tubuh, mencoba membiasakan diri.
"Itu sudah paling bagus. Mamak pilihkan spesial buat kamu. Pas di badan kamu itu, kok!" balas Gina sambil menutup pintu rumah dan mulai melangkah ke halaman.
Sabrina mengerutkan kening, mengangkat lengan bajunya yang hampir menutupi telapak tangannya. "Pas dari mana, Mak? Ini kayak baju abang-abang badut di pasar malam. Panas lagi, gerah. Udah gitu kebesaran banget!"
"Namanya juga gamis. Bukan dress ketat kamu yang kayak bungkus lontong itu. Udah, nggak usah banyak alasan," ucap Gina, mengibaskan tangannya, menolak keluhan anaknya.
Kalau boleh jujur, semenjak merantau dari usia 17 tahun ke kota J, Sabrina sama sekali tak pernah memiliki pakaian seperti yang biasa dikenakan Gina. Gamis panjang yang sekarang menempel di tubuhnya terasa asing, kebesaran, dan penuh dengan kerut yang membuatnya tampak jauh dari kesan nyaman. Entah kapan terakhir kali ia mengenakan pakaian seperti ini—mungkin sudah bertahun-tahun yang lalu, sebelum ia benar-benar lepas dari aturan ketat keluarganya dan mulai menjalani kehidupannya sendiri di kota.
Sabrina menggaruk lengannya yang terasa gerah, merasa tidak biasa dengan lapisan kain tebal yang membungkus tubuhnya. Gamis ini membuatnya seperti jauh dari kenyamanan yang biasa ia pilih sendiri, pakaian sederhana yang ia kenakan setiap hari di kota. Dan hijab instan yang menutupi kepalanya, meskipun rapi, tetap saja terasa menyesakkan.
"Aku lupa, mak. Dulu kan aku nggak pernah kayak gini," gumamnya pelan, menyesali pilihan pakaian yang tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang ramping.
"Kita nggak lama kan di sana, Mak? Maksudnya, cuma sebentar aja, kan?" tanya Sabrina lagi, mencoba mengulur waktu.
"Tergantung ustadznya cepat atau nggak. Kalau bagus ceramahnya, ya kita lama," balas Gina santai sambil melangkah keluar pagar.
Sabrina mendengus keras, tapi tetap mengikuti Gina. Baru beberapa langkah dari pagar rumah, mereka berpapasan dengan sekelompok ibu-ibu yang sedang duduk santai di depan rumah tetangga. Tatapan ibu-ibu itu langsung tertuju pada Sabrina, dari atas sampai bawah, seperti radar yang mendeteksi sesuatu yang aneh.
"Eh, Jeng Gina! Ayo kita bareng ke pendopo!" seru Bu Mita sambil bangkit, diikuti oleh rombongan kecilnya.
"Eh, iya, Bu Mita," balas Gina, sedikit canggung tapi tetap tersenyum.
Rombongan ibu-ibu itu segera menghampiri. Awalnya, obrolan mereka ringan—tentang cuaca, tentang kajian di pendopo—tapi lambat laun, fokus mereka mulai beralih ke Sabrina, yang sejak tadi diam sambil melangkah.
Sabrina berjalan di samping Gina dengan langkah malas, merasa tak nyaman dengan gamis kebesaran yang ia pakai. Ketika mereka mendekati kelompok ibu-ibu yang berkumpul di depan rumah tetangga, ia sudah bisa merasakan tatapan tajam dan senyum setengah mengejek dari mereka.
"Eh, ini, kan, Sabrina, anaknya Jeng Gina? Kapan pulang, Bin? Lama banget nggak kelihatan," tanya Bu Mita, membuka percakapan dengan nada ramah yang jelas berlapis keingintahuan.
"Iya, biasanya nggak pernah pulang. Kok sekarang bisa balik ke kampung?" timpal Bu Tini sambil melirik Sabrina dari atas ke bawah, seperti menilai pakaian yang ia kenakan.
"Baru pulang tadi malam," jawab Gina singkat, mencoba menutup celah pembicaraan lebih lanjut.
Tapi ibu-ibu itu tentu tak menyerah.
"Kerja di kota J ya, Bin? Masih kerja di sana atau... sudah nggak? Jangan-jangan habis kontrak ya? Atau dipecat?" tanya Bu Yuni sambil menyenggol lengan Bu Mita, seolah pembahasannya adalah lelucon ringan.
Sabrina menarik napas panjang, menahan emosi. Gina meliriknya sekilas, memberi isyarat agar tetap tenang.
"Kalau nggak kerja, jangan lama-lama nganggur, Bin. Kasihan orang tua. Nanti makin berat bebannya," sambung Bu Tini.
"Atau mending nikah aja, ya. Sudah punya calon belum? Jangan kelamaan, loh. Nanti keburu jadi perawan tua," Bu Yuni menambahkan dengan senyum tipis yang mengesalkan.
"Emangnya ada yang mau, ya, sama Sabrina yang... ya, kita tahulah, bar-bar gitu kelakuannya diluar nurul." kata Bu Mita, tak bisa menyembunyikan nadanya yang nyinyir.
Sabrina mengepalkan tangan. "Maksud Ibu apa—"
Gina langsung menyentuh lengan Sabrina, menghentikannya sebelum ia melanjutkan. Sabrina mendesis, berusaha menenangkan diri. Tapi ibu-ibu itu tetap melanjutkan.
"Anak saya, alhamdulillah, sudah menikah tahun lalu. Sekarang lagi hamil anak kedua," ujar Bu Tini, memulai parade pembandingan yang makin membuat Sabrina risih.
"Kalau anak saya, InsyaAllah bulan depan tunangan. Calonnya kerja di bank, ganteng lagi," tambah Bu Mita sambil tersenyum bangga.
"Anak saya sih baru lulus sarjana, tapi sudah diterima kerja di perusahaan besar. Itu baru, loh, namanya anak yang membanggakan," kata Bu Yuni, melirik Sabrina sekilas.
Sabrina mendongak, tatapannya tajam. Tapi Gina lebih dulu berbicara, dengan nada tenang yang penuh sindiran halus.
"Alhamdulillah, anak saya juga sehat dan selalu ingat sama keluarganya, meski sibuk bekerja di kota besar. Kalau soal jodoh, biarlah Allah yang menentukan. Rezeki dan pasangan itu nggak perlu dibanding-bandingkan, kan? Setiap anak punya jalannya masing-masing," ucap Gina sambil tersenyum.
Ibu-ibu itu terdiam sejenak, tampak canggung.
"Benar juga sih, Jeng Gina. Ya, namanya kita ngobrol aja, peduli sama tetangga," jawab Bu Tini akhirnya, mencoba menutupi rasa tidak enak.
Gina hanya tersenyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya sambil menarik Sabrina yang masih mendengus kesal.
"Mak, aku nggak tahan. Harusnya tadi aku balas mereka!" bisik Sabrina geram.
"Diam itu emas, Bin. Kalau kamu balas, kamu sama rendahnya. Biarkan mereka merasa menang, padahal dalam hati mereka tahu kita lebih tenang," jawab Gina sambil tersenyum penuh arti.