Setelah aku selamat dari kecelakaan itu, aku berhasil untuk bertahan hidup. Tetapi masalah yang kuhadapi ternyata lebih besar daripada dugaanku. Aku tersesat dihutan yang lebat dan luas ini. Aku mungkin masih bisa bertahan jika yang kuhadapi hanyalah binatang liar. Tapi yang jadi masalah bukanlah itu. Sebuah desa dengan penduduk yang menurutku asing dan aneh karena mereka mengalami sebuah penyakit yang membuat indera penglihatan mereka menjadi tidak berfungsi. Sehingga mereka harus mencari "Cahaya" mereka sendiri untuk mengatasi kegelapan yang amat sangat menyelimuti raga mereka. Mereka terpaksa harus mencari dan mencari sampai bisa menemukan mata mereka yang hilang. Dan akhirnya mereka bertemu dengan kami. Beberapa penumpang yang selamat setelah kecelakaan itu, harus bertahan hidup dari kejaran atau mungkin bisa kusebut penderitaan mereka atas kegelapan yang menyelimuti mereka. Berjuang untuk mendapatkan "Cahaya Mata" mereka kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Firasat Buruk
Kami pun kembali ke bis setelah tidak mendapatkan ikan satupun. Aku melihat ke sekeliling hutan ini. Pepohonan yang menjulang tinggi nan rindang membuat cahaya sang mentari kesulitan untuk menembus rimbunnya daun.
"Ayolah! Semoga ini cuman feelingku saja." Aku terus bergumam cemas.
"Lu kenapa sih ndra?" Tanya Kak Willie.
"Nanti ku kasih tau." Jawabku singkat.
Beberapa saat kemudian, kami telah sampai di bis. Aku melihat disana juga yang lain sudah pada berkumpul kembali. Aku mendengar remang-remang Pak Juari berbicara.
"Aku tidak dapat menemukan satu hewan pun di hutan yang luas ini. Bahkan burung pun tidak ada." Ucap Pak Juari.
"Betul betul. Aku tadi terus mendongak sampe kepalaku pegel juga gak nemuin burung." Sambung Novan sambil memijat pundaknya karena pegal.
"Begitu ya?" Ucap Pak Bonadi.
Setelah mendengarnya, aku merasa sangat cemas. Mungkinkah firasatku ini benar?
"Ngomong-ngomong, dari mana kalian ini?" Tanya Pak Bonadi.
"Kami abis mancing nih. Tapi gak dapet ikan padahal udah sejam an lah mancing nya." Jawab Kak Willie.
"Apa mungkin airnya tercemar?" Tanya Pak Bonadi lagi.
"Mana gue tahu? Tanya aja noh sama Ayu." Gerutu Kak Willie.
"Airnya gak tercemar. Udah ku cium juga sama ku icip sedikit juga gak ada tanda-tanda airnya mengandung banyak zat kapur. Airnya masih sangat seger." Jawab Kak Ayu.
"Terus sekarang kita mau makan apa dong?" Tanya Vivi.
"Tenang aja. Untung aku nemuin banyak buah cokelat yang sudah matang." Jawab Mas Doni.
"Wahh. Kek nya enak tuh." Sahut Vivi ngiler.
"Aku kemarin juga abis berburu tupai. Kalian mau makan tupai bakar gak?" Tanya Pak Juari. Serentak kami pun memasang ekspresi jijik.
"Y-yaudah boleh sih. Lagian juga gak ada makanan yang lain lagi kan?" Jawab Kak Willie jijik.
"Bentar aku cari mereka dimana. Soalnya aku taruh diluar tas. Jadi mereka sepertinya berserakan diluar bis." Ucap Pak Juari.
"Kalo gitu ayo kita siapkan apinya sambil menunggu Pak Juari kembali." Ajak Pak Bonadi.
Kami pun segera saling membantu untuk menyiapkan api unggunnya. Tetapi aku membantu Pak Juari untuk ikut mencari tupai-tupai hasil tangkapannya Pak Juari kemarin.
"Wah ternyata kalian sembunyi disini ya? Bikin repot saja." Ucap Pak Juari sambil mengangkat beberapa ekor tupai yang saling terikat pada sebuah tali rafia itu.
"Dan untuk para zombie-zombie itu, sepertinya punya penciuman yang buruk ya? Padahal ada disini tapi mereka gak mau memakannya. Eh mereka juga gak ngambil matanya lho." Sambung Pak Juari lagi.
"Emangnya mereka gak mau apa gimana pak?" Tanyaku.
"Semalem aku liat mereka juga ambil mata temen-temennya yang udah mati sih. Sama mereka keknya juga doyan sama mata makhluk yang udah mati juga." Jawab Pak Juari.
"Dan kita beruntung. Tupai-tupainya gak dikerubuti semut atau lalat. Padahal udah dari kemarin lho matinya. Biasanya mah kalo aku gak kuliti dulu terus disimpan ditempat yang aman 2 jam aja udah jadi busuk gara-gara banyak laletnya." Ucap Pak Juari.
Aku pun langsung terperanjat. Sepertinya firasatku memang benar. Tidak ada makhluk hidup lain disini.
"Ayo nak! Kita kembali ke tempat yang lain." Ajak Pak Juari.
"Eh iya pak." Jawabku.
.
Aku berjalan dengan perasaan lemas, bingung, dan juga cemas. Jantungku berdegup sangat cepat. Keringat dingin mulai mengucur membasahi keningku. Tiba-tiba tanganku juga mengalami mati rasa.
"Sial! Selain kita bisa mati karena para zombie itu, kita juga pasti akan mati kelaparan." Ucap otakku pada saat itu.
Setelah sampai, ternyata api unggunnya sudah siap. Kami mulai menguliti tupai itu kemudian membakarnya. Bau harum khas daging bakar mulai merebak ke seluruh hutan membuat cacing di dalam perut kami semakin meronta-ronta ingin segera diberikan makanan.
Setelah matang, kami pun mulai memakannya. Rupanya tupai tangkapan Pak Juari cukup banyak sehingga bisa dibagikan secara merata.
"Gimana, Wil? Enak kan rasanya?" Ledek Pak Juari.
"Enak. Tapi dengan perasaan terpaksa" Jawab Kak Willie yang mulutnya masih penuh dengan makanan itu.
"Hahaha gak usah pake terpaksa kali. Emang daging tupai itu enak kok. Rasanya lembut kek daging kelinci hahaha." Sahut Pak Juari. Mereka pun tertawa kecil.
"Eh An. Kenapa kamu kok bengong saja? Nanti keburu dingin itu." Tegur Vivi yang menyadarkan lamunanku.
"Eh iya hehe." Aku langsung menyantap tupai hasil bakaranku.
"Kau menyadari sesuatu ya?" Tanya Pak Bonadi.
"Aku merasa, kalo seluruh hewan disini udah gak ada." Jawabku lirih. Semua orang merasa terkejut.
"Apa maksudmu?" Tanya Mas Haris.
"Bisa kita liat sendiri kan beberapa contoh-contohnya? Misalnya aku tadi abis mancing lama banget tetep aja gak dapet ikan. Terus tim yang bagian berburu juga gak dapet burung atau hewan apalah gitu. Terus tupainya juga gak ada serangga yang hinggap disana padahal kata Pak Juari juga kalo bangkai di diemin maksimal 2-3 jam juga bakalan dikerubuti lalat." Jawabku tegas.
Setelah mendengar pernyataanku tadi, semua orang pun jadi terdiam.
"Gawat. Gue tidak mau mati kelaparan disini. Gue juga gak bisa makan tanaman liar. Gue bukan vegetarian." Teriak Kak Willie ketakutan.
"Terus burung hantu yang semalem kita liat itu apa?" Tanya Pak Bonadi.
"Eh?" Aku teringat.
"Aku tadi juga liat ayam hutan." Sahut Mas Doni.
"Ayam hutan? Kenapa gak lu tangkep woi?" Tanya Kak Willie.
"Aku cuman gak pengen buang-buang tenaga buat ngejar yang gak pasti." Jawab Mas Doni.
"Tapi kan itu ayam cok. Itu makanan yang paling enak di tempat kek gini." Sahut Kak Willie lagi.
"Sudah woi diem! Lu juga bacot mulu dari kemaren!" Gertak Mas Haris.
"Shuttt. Sebaiknya kita bereskan ini dulu, kemudian kita bergerak untuk mencari bantuan. Kita gak bisa terus-terusan disini." Ucap Pak Bonadi.
Setelah semuanya beres, kita pun mulai mengumpulkan informasi. Kami pun duduk melingkar.
"Jurangnya terlalu dalam. Cukup sulit untuk mendaki kearah jatuhnya bis kita. Apalagi kita punya wanita dan anak-anak." Ucap Mas Haris. Sepertinya saat aku tidur, Pak Bonadi membagi beberapa tugas untuk kami.
"Sungainya gak terlalu dalem banget sih. Kalo mau nyobain ngikutin sungai sampe ke sebuah peradaban juga gpp." Sahut Kak Willie. Sepertinya saat dia pergi mencari air, dia juga mengamati lingkungan disekitarnya.
"Kalo mengikuti daerah sini, kita bisa menuju ke matahari tenggelam dan sampe ke ladang tebu. Dan jika kita beruntung, kita bisa menjumpai penduduk lokal disana dan meminta bantuan evakuasi." Sahut Pak Juari.
"Tetapi kalo kita kearah barat, itu hanya mengandalkan keberuntungan untuk bisa mencapai sebuah peradaban bukan?" Tanya Pak Bonadi.
"Aku hanya memberikan pendapatku." Jawab Pak Juari singkat.
"Jadi kemungkinan jalan yang lebih mudah kita menaiki jurang ini ya?" Tanya Pak Bonadi.
"Tapi persediaan makanan kita sedikit dan kalo mendaki butuh asupan yang lebih banyak." Sambung Kak Ayu.
"Berarti yang paling mudah adalah kita berjalan menyusuri sungai?" Tanya Pak Bonadi lagi.
"Dan juga kalo kita menyusuri sungai mah kita bisa lebih cepat menemukan pemukiman penduduk. Entah bisa ketemu sebuah sawah atau mungkin lebih baik sebuah desa." Sambung Kak Willie.
"Baiklah. Ayo kita bergerak!" Ajak Pak Bonadi memberi instruksi.
Kami pun mulai berjalan menyusuri sungai.