seorang gadis "bar-bar" dengan sikap blak-blakan dan keberanian yang menantang siapa saja, tak pernah peduli pada siapa pun—termasuk seorang pria berbahaya seperti Rafael.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lince.T, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di balik kabut perang
Fajar mulai menyingsing, namun suasana di vila Rafael masih penuh dengan ketegangan. Liana terbangun dari tidur dengan kepala berat, memikirkan percakapannya dengan Rafael semalam. Saat ia turun ke dapur, aroma kopi yang kuat menyambutnya. Di meja dapur, Rafael sudah duduk dengan ponsel di tangannya, menyeruput kopi hitam.
“Pagi yang sibuk?” tanya Liana sambil membuka lemari, mencari makanan.
Rafael hanya melirik sekilas sebelum menjawab. “Pagi yang biasa. Banyak hal yang perlu dipersiapkan.”
Liana duduk di kursi di seberangnya, memakan sepotong roti yang ia temukan. “Lo tahu kan mereka mau nyerang? Kok bisa santai kayak gini? Apa nggak takut kalah?”
Tatapan Rafael tajam namun tetap tenang. “Panik nggak akan mengubah apa pun. Strategi dan ketenangan adalah cara untuk menang.”
Liana menghela napas, mencoba mencerna logika Rafael. “Gue nggak ngerti cara lo berpikir. Tapi entah kenapa, gue mulai percaya sama lo.”
“Kepercayaan itu mahal,” kata Rafael dengan nada serius. “Jangan terlalu mudah memberikannya, bahkan ke gue.”
---
Di sisi lain kota, Darius, pemimpin kelompok saingan Rafael, sedang mempersiapkan rencana serangannya. Peta besar terpampang di meja, dipenuhi dengan tanda-tanda dan catatan.
“Kita buat Rafael merasa dia aman,” ujar Darius dengan suara dingin sambil menunjuk lokasi vila Rafael di peta. “Saat dia lengah, kita hancurkan semuanya.”
Salah satu anak buahnya mengangguk penuh semangat. “Apa kita langsung serang ke vilanya, bos?”
“Tidak. Kita tunggu waktu yang tepat,” jawab Darius tegas. “Kita jebak dia terlebih dahulu, lalu habisi semuanya.”
---
Sementara itu, Rafael mengumpulkan anak buahnya di ruang tamu vila. Sebuah peta besar terbentang di meja, menunjukkan berbagai lokasi strategis di sekitar area.
“Mereka pasti mencoba memancing kita keluar,” kata Rafael, menunjuk beberapa titik di peta. “Kita biarkan mereka berpikir rencana mereka berhasil, tapi kita mainkan dengan aturan kita.”
Marco, salah satu orang kepercayaannya, bertanya, “Apa kita harus menyerang duluan?”
“Tidak,” Rafael menggeleng pelan. “Kita biarkan mereka merasa menang. Saat mereka lengah, kita serang balik.”
Liana, yang mendengarkan dari balik pintu, merasa kagum sekaligus bingung. Rafael selalu tampak tenang meski berada di tengah situasi berbahaya. Tapi ia tahu, di balik ketenangan itu, Rafael memikul beban besar yang tidak pernah ia bagi dengan siapa pun.
---
Malam itu, Liana tidak bisa tidur. Ia keluar ke balkon hanya untuk menemukan Rafael sudah duduk di sana, memandang langit berbintang.
“Lo nggak tidur?” tanyanya sambil duduk di kursi di sebelah Rafael.
“Banyak yang harus gue pikirkan,” jawab Rafael singkat sambil menyeruput segelas anggur merah.
“Lo kelihatan santai,tapi gue tahu pasti lo juga takut,” kata Liana pelan.
Rafael menoleh, menatapnya dengan mata tajam yang penuh beban. “Takut itu wajar. Tapi gue nggak akan membiarkan rasa takut menguasai gue.”
Liana tersenyum kecil. “Kalau lo bukan mafia, gue yakin lo bisa jadi motivator hebat.”
Rafael tertawa kecil, tetapi senyumnya menghilang ketika suara alarm berbunyi nyaring. Wajahnya berubah serius seketika.
“Mereka datang,” katanya tegas.
Liana berdiri, merasakan detak jantungnya semakin cepat. “Apa yang harus gue lakukan?”
“Diam di sini,” jawab Rafael sambil melangkah pergi.
Namun, Liana menggeleng keras. “Gue nggak mau cuma diam. Kalau mereka nyerang, gue juga mau bantu lawan.”
Rafael menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk. “Baik. Tapi tetap di belakang gue.”
---
Di luar vila, sekelompok pria bersenjata mendekat dengan langkah penuh keyakinan. Rafael dan anak buahnya sudah mengambil posisi di tempat-tempat strategis.
Liana, bersembunyi di balik sofa, menggenggam pisau kecil yang diberikan Rafael. Meski ketakutan, ia berusaha memberanikan diri.
Tembakan pertama terdengar, memecah keheningan malam. Rafael bergerak cepat, memberi perintah sambil melindungi Liana. Pertempuran berlangsung sengit; suara tembakan dan pecahan kaca memenuhi udara.
Salah satu musuh berhasil masuk ke vila. Dengan keberanian yang tidak ia duga, Liana melemparkan pisaunya ke arah pria itu, mengenai lengan kanannya.
Rafael, yang melihat aksinya, tersenyum tipis di tengah situasi kacau. “Lo memang bar-bar,” katanya singkat sebelum kembali fokus memimpin anak buahnya.
Setelah beberapa jam pertempuran sengit, kelompok musuh akhirnya mundur. Namun, Rafael tahu bahwa ini belum berakhir.
Liana duduk terdiam di sudut ruangan, tubuhnya gemetar. Rafael menghampirinya. “Lo baik-baik aja?” tanyanya lembut.
Liana mengangguk pelan, suaranya bergetar. “Gue nggak nyangka gue masih hidup.”
“Kau lebih kuat dari yang kau kira,” kata Rafael sambil menatapnya serius. “Tapi ini baru permulaan. Kita harus menyerang balik sebelum mereka punya kesempatan lagi.”
Malam itu, di tengah vila yang hancur dan anak buah yang terluka, Rafael mulai menyusun rencana balasan. Perang ini belum selesai, dan Rafael tidak akan berhenti sampai musuh-musuhnya benar-benar hancur.
Malam mulai larut, tetapi vila Rafael tetap dipenuhi ketegangan. Rafael berdiri di depan jendela besar di ruang tamu, memandang kegelapan di luar. Liana menghampirinya, tubuhnya masih terasa lemas setelah insiden sebelumnya.
“Jadi, apa langkah lo selanjutnya?” tanya Liana dengan suara pelan.
Rafael menoleh, raut wajahnya tetap tenang. “Kita harus bergerak cepat. Kalau kita diam, mereka akan menyerang lagi dengan rencana yang lebih matang.”
“Lo yakin nggak ada cara lain selain perang?” Liana mendesah, menatap luka-luka kecil di tangannya yang didapat dari pertempuran tadi.
Rafael terdiam sejenak. “Kadang perang adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Dunia ini kejam, Liana. Kalau kita nggak bertindak, kita akan dihancurkan.”
Liana menatapnya dengan tatapan campuran kagum dan sedih. Ia tahu Rafael benar, tetapi ia tidak bisa menyangkal bahwa ada rasa takut yang menghantui.
“Gue nggak pernah nyangka hidup gue akan kayak gini,” gumam Liana. “Bertarung, bersembunyi, dan dikelilingi oleh orang-orang yang nggak bisa gue percaya sepenuhnya.”
Rafael mendekat, menatapnya dengan serius. “Lo nggak perlu takut. Selama lo ada di sisi gue, gue bakal pastikan lo aman. Itu janji gue.”
Liana hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan.
---
Di luar vila, para penjaga Rafael berpatroli dengan kewaspadaan tinggi. Malam itu terasa terlalu sunyi, seolah musuh sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar.
“Bos, kami sudah memperkuat semua akses masuk,” lapor Marco sambil membawa peta lokasi. “Kalau mereka menyerang lagi, kita akan lebih siap.”
Rafael mengangguk. “Bagus. Tapi jangan lengah. Mereka mungkin mencari cara untuk menyerang dari arah yang tidak kita duga.”
Marco mengangguk, tetapi ia tahu bahwa Rafael menyimpan kekhawatiran yang tidak ia tunjukkan.
Sementara itu, di kamar tamu, Liana mencoba memejamkan mata, tetapi pikirannya terus berputar. Ia memikirkan masa lalunya, kehidupannya yang dulu bebas tanpa ancaman, dan bagaimana semuanya berubah sejak ia bertemu Rafael.
“Kenapa gue nggak bisa pergi?” gumamnya pada dirinya sendiri. Namun, di dalam hatinya, ia tahu jawabannya. Ada sesuatu tentang Rafael—keteguhannya, keberaniannya—yang membuatnya merasa aman meskipun berada di tengah bahaya.
---
Pagi berikutnya, Rafael mengumpulkan semua anak buahnya di ruang utama.
“Kita tidak bisa hanya menunggu. Darius berpikir dia bisa menjebak kita, tetapi kali ini, kita akan membuat dia membayar atas semua yang telah dia lakukan,” ujar Rafael dengan suara penuh otoritas.
Marco, yang berdiri di sisi Rafael, bertanya, “Apa kita langsung serang markas mereka?”
“Tidak. Kita akan memancing mereka keluar,” jawab Rafael sambil menunjuk titik-titik strategis di peta. “Mereka mengandalkan jebakan, jadi kita akan membuat mereka jatuh ke dalam jebakan kita.”
Liana, yang berdiri di belakang, mendengarkan dengan cermat. Untuk pertama kalinya, ia merasa terlibat dalam sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
“Apa gue bisa bantu?” tanyanya tiba-tiba.
Semua mata tertuju padanya. Rafael menatap Liana, ragu sejenak sebelum menjawab. “Lo sudah bantu banyak. Tapi kali ini, biar gue yang urus.”
Liana mendengus. “Gue nggak suka cuma jadi penonton.”
Rafael tersenyum kecil. “Gue tahu. Tapi kalau lo ikut, gue harus pastikan lo tetap aman. Dan itu lebih sulit daripada melawan Darius.”
Ucapan Rafael membuat Liana terdiam. Ia tahu Rafael benar, tetapi ia juga tidak bisa hanya berdiam diri.
---
Sementara itu, di sisi lain kota, Darius juga sedang mempersiapkan serangan berikutnya. Tapi kali ini, dia tidak tahu bahwa Rafael sudah selangkah lebih maju darinya. Sebuah perang besar akan segera dimulai, dan baik Rafael maupun Darius tahu bahwa hanya ada satu pemenang dalam permainan ini.
Liana menatap Rafael yang sibuk memberikan perintah kepada anak buahnya. Di tengah kekacauan ini, ia menyadari satu hal: ia tidak hanya merasa aman di sisi Rafael, tetapi juga merasa bahwa ia mulai menemukan tempatnya di dunia yang kacau ini.