Tujuannya untuk membalas dendam sakit hati 7 tahun lalu justru membuat seorang Faza Nawasena terjebak dalam pusara perasaannya sendiri. Belum lagi, perasaan benci yang dibawa Ashana Lazuardi membuat segalanya jadi semakin rumit.
Kesalahpahaman yang belum terpecahkan, membuat hasrat balas dendam Faza semakin menyala. Ashana dan perusahaan ayahnya yang hampir bangkrut, tak memiliki pilihan selain berkata 'ya' pada kesepakatan pernikahan yang menyesakkan itu.
Keduanya seolah berada di dalam lingkaran api, tak peduli ke arah mana mereka berjalan, keduanya akan tetap terbakar.
Antara benci yang mengakar dan cinta yang belum mekar, manakah yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LYTTE 09 — Sister-In-Law
Setelah menyelesaikan sarapan mereka dan check out dari hotel, Faza mengajak Ashana menjemput adiknya yang baru pulang dari luar negeri. Meski awalnya enggan, tapi Ashana tetap menurut karena malas sekali berdebat dengan pria di sebelahnya itu.
"Sial! Kenapa macet?!" makinya seraya memukul pelan kemudi. Sudah bukan hal yang aneh jika jalanan ibu kota dipadati kendaraan. Apalagi ini hari libur, banyak orang memilih bepergian ke luar kota untuk sekadar bersenang-senang.
"Masih ada waktu satu jam sebelum pesawatnya landing," kata Ashana mencoba menenangkannya.
Faza menoleh, "Tetap saja, aku tak suka membuat adikku menunggu." Pandangannya kembali ke depan, memajukan mobilnya lalu terhenti kembali. Demi apapun, Faza membenci kemacetan jalan raya.
"Adikmu itu — "
"Tujuh tahun tak bertemu dengannya, apa kau takut merasa canggung?" tebak Faza yang sialnya benar. Tapi bukan hal itu yang dikhawatirkan Ashana saat ini.
"Tidak," elak Ashana tanpa menatap Faza. "Aku hanya ragu saja."
"Kenapa?"
"Dia pasti membenciku, kan? Sama sepertimu. Bagaimana pendapatnya jika dia tahu kalau kau malah menikahiku sekarang?" ucapnya sambil tersenyum tipis.
"Kapan aku bilang membencimu?" tanya balik Faza berpura-pura tak tahu sambil terus menatap kemacetan di depannya.
"Semalam, di dalam tidurmu, kau mengatakannya dengan jelas."
"Apa?"
"Lupakan saja, fokuslah menyetir agar kita cepat sampai," katanya mengalihkan pembicaraan.
•••
Semalam ~
"Apa yang kau lakukan?!" seru Ashana panik saat Faza mulai mengikis jarak di antara mereka. Tatapan pria itu, gerak tubuhnya, wangi parfumnya dan suaranya yang serak dan basah seolah menyihir Ashana. Untuk sesaat, ia merasa gugup.
Detak jantung dan darah Ashana berdesir hebat saat Faza menarik pinggangnya mendekat, hingga tak lagi tersisa jarak di antara mereka. Tatapan mata mereka bertemu dalam satu pandangan.
Samar-samar Ashana mencium bau alkohol dari mulut pria itu, sepertinya Faza minum wine atau semacamnya sampai tak sadar. Ia bahkan bisa merasakan deru nafasnya yang terasa berat.
"Lepaskan aku," pinta Ashana sebelum hal buruk terjadi. "Tolong, lepaskan aku."
Alih-alih melepaskan perempuan itu, Faza justru tersenyum miring. "Mana mungkin aku melepaskanmu begitu saja?" katanya sambil menelusuri wajah Ashana dengan tangannya.
"Setelah apa yang kau lakukan padaku tujuh tahun lalu, apakah menurutmu aku akan melepaskanku dengan mudah? Tidak!" serunya, kedua tangannya berganti mencengkeram bahu Ashana kuat. Membuat perempuan itu merintih sakit.
"Tidak akan, Ashana. Setidaknya sebelum aku membalaskan dendam, kau tak akan bisa lepas dari genggamanku!"
Semakin kuat cengkeraman itu, semakin keras Ashana berteriak sakit. Tapi Faza tak peduli, ia justru mendorong Ashana dengan cukup kuat hingga perempuan yang masih terbalut gaun pengantin itu terjatuh ke belakang.
"Auw!"
Faza tersenyum, berjalan mendekati Ashana dengan sempoyongan, ia meraih dagu perempuan itu dan membuat Ashana kembali mendongak menatap kedua mata Faza yang menyiratkan kebencian.
"Apa kau tahu, Ashana? Rasa sakitmu sekarang tak sebanding dengan rasa sakit yang kuterima tujuh tahun lalu!" seru Faza penuh penekanan.
Saat itu juga, hati Ashana bagai diremukkan.
Ternyata itu alasanmu menikahiku? Tapi kenapa? Kenapa kau membenciku? Seharusnya akulah yang membencimu! pikir Ashana.
•••
Pernikahan ini konyol, tapi aku lebih konyol lagi karena berpikir hal yang tidak-tidak, pikir Ashana pendek. Kepalanya tersandar ke jendela mobil, memandangi kendaraan yang memanjang hingga ke depan.
Akhirnya, setelah tiga puluh menit terjebak di dalam kemacetan, mereka tiba di bandara.
"Aku mau ke kamar mandi dulu sebentar," kata Ashana meminta izin.
Faza melirik arlojinya lalu mengangguk, "Jangan terlalu lama, sebentar lagi pesawatnya tiba."
Ashana hanya menggumam sebagai jawaban lalu berjalan pergi. Tatapan Faza terus mengikuti perempuan itu hingga sosoknya hilang di tengah kerumunan.
"Astaga, kenapa pesawat Vanya lama sekali?" gumamnya tak sabar. Tiga tahun tak bertemu dengan LaVanya Meshazara—adik Faza. Membuat pria itu merindukan adik kecilnya yang cantik.
"Seperti apa ya dia sekarang?" katanya lagi penasaran. Saat pengumuman kedatangan pesawat diumumkan, Faza merapikan pakaiannya, matanya menatap satu-persatu penumpang yang keluar dari pesawat.
Seorang gadis berambut pirang keluar dengan menolehkan pandangannya ke kanan dan ke kiri. Faza mengenalinya sebagai LaVanya. Ia lambaikan tangannya agar Vanya mendekat. Gadis itu tampak gembira saat melihat sang kakak menjemputnya.
"Kakak!" serunya sambil sedikit berlari. "I miss youuu," katanya lalu memeluk Faza dengan erat, melepas tumpukan rindu yang selama ini ditampungnya.
"Bagaimana penerbanganmu?"
"Ah, lancar, Kak. Senang sekali rasanya bisa pulang lebih cepat, kabarmu bagaimana, Kak?"
"Tentu saja aku baik, lihatlah aku sekarang. Kau tumbuh sangat cepat, ya. Astaga, rambutmu juga kau pirang, hm?"
"Ini sedang trend, tahu!"
Keduanya begitu asyik mengobrol sampai tak sadar dengan kehadiran Ashana yang sedari tadi memerhatikan keduanya.
"Maaf mengganggu waktu kalian, tapi jika kalian tidak keberatan, bisakah kita reuni nanti di rumah?" tanya Ashana memotong percakapan adik dan kakak itu.
"Kau?!" Vanya tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat seseorang yang ia benci tiba-tiba ada di hadapannya. "Kak, bisa kau jelaskan ini padaku? Kenapa dia ada di sini?!"
"Aku bisa jelaskan semuanya, tapi sebaiknya kita pulang dulu. Kau pasti lelah setelah menempuh perjalanan selama berjam-jam, kan?" Faza meraih tangan Vanya, mencoba mengajaknya untuk pulang.
Vanya menepis kasar genggaman Faza, "Lepas, Kak! Setidaknya jelaskan dulu kenapa perempuan ini ada di sini?!" kata Vanya keras kepala.
Meski agak kesal dengan sifat keras kepala yang dimiliki Vanya, tetapi Ashana mencoba untuk tetap tenang meskipun ia yakin bahwa Vanya membencinya setengah mati seperti Faza. Ashana bahkan dapat melihat dengan jelas tatapan tak suka dari Vanya.
Faza sudah menduga bahwa hal ini akan terjadi, "Ayolah, Vanya, akan kujelaskan semuanya di rumah, oke? Sekarang kita pulang dulu," bujuknya lagi, tapi tetap saja, gadis itu bergeming.
"Kenapa kau ada di sini, Ashana?! Jangan bilang kalau kau menguntit kakakku!" makinya mulai geram dengan kehadiran Ashana.
"Apa? Untuk apa aku menguntit kakakmu?" Ashana benar-benar tak habis pikir dengan cara pikir gadis itu. Sejak dulu, Vanya selalu saja salah paham padanya.
"Baiklah, biar aku saja yang menjelaskannya. Aku, Ashana Lazuardi, sudah menikah dengan kakakmu. Jadi, kau suka atau tidak, kau harus menghormatiku sebagai kakak iparmu. Kau mengerti itu, kan, Vanya?"
"Apa? Apa yang sebenarnya kau katakan?" tanya Vanya penuh kebingungan, berbagai tanya menjejali kepalanya untuk sekarang ini.
"Kak! Apa maksudnya ini? Apa yang sebenarnya dia katakan, sih?" desaknya pada Faza, membuat pria itu memijat keningnya sendiri.
Alih-alih membantu Faza menjelaskan, Ashana justru berjalan pergi. Ia sudah cukup lelah menghadapi kebencian dua orang di dekatnya.
"Kau mau ke mana?" tanya Faza. Pandangan matanya terlihat menyelidik.
"Biarkan saja kalau dia mau pergi, urusannya bukanlah urusan kita!" sindir Vanya.
Ashana hanya tersenyum singkat, "Ke Rumah Sakit, aku harus bekerja agar tidak menjadi gila."
"Hei! Apa maksudnya itu?!"
•••
luknut. ketemu indiana jones sekali langsung teler . huuhhhhh