Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wajan Kerak Hitam
Langkah kaki yang teratur dan tidak tergesa-gesa itu mendekat dari arah koridor utama, setiap detaknya laksana paku yang ditancapkan pada peti mati harapan Han Qiu. Suara itu tidak memiliki kepanikan, tidak pula kemarahan. Ia memiliki otoritas yang dingin dan absolut, sebuah ritme yang mengumumkan kedatangan hukum itu sendiri.
Han Qiu, yang masih berlutut di samping wajan pengkhianat itu, merasakan darahnya membeku menjadi serpihan-serpihan es. Ia tidak lagi mencoba mengorek kerak hitam itu. Terlambat. Semua usahanya sia-sia. Fajar telah tiba, dan bersama fajar, datanglah sang dewi kemurnian yang paling ditakuti.
Sesosok bayangan putih muncul di ambang pintu, memotong cahaya fajar yang pucat menjadi dua. Chef Gao berdiri di sana, diam sejenak, jubahnya yang seputih salju seolah menolak untuk dinodai oleh udara dapur yang mulai hidup. Kehadirannya menyedot semua kehangatan dan suara.
Gemerisik para pelayan yang baru bangun, desah tungku yang mulai dinyalakan, semuanya lenyap ditelan oleh medan keheningan yang ia pancarkan. Matanya, setajam menelisik ke setiap sudut, menyapu ruangan. Mata itu memindai, menganalisis setiap partikel debu, setiap tetes air, setiap hal yang tak seharus nya ada di kerajaannya.
Dan kemudian, mata itu berhenti.
Tatapan itu mengunci pada satu titik di sudut area pencucian. Mengunci pada wajan besi tua yang tergeletak miring. Mengunci pada Han Qiu yang membeku seperti patung. Dan akhirnya, mengunci pada titik hitam kecil di dasar wajan itu—sebuah noda dosa di atas kanvas kesuciannya.
Waktu terasa meregang dan menipis. Chef Gao tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya berjalan mendekat, langkahnya senyap di atas lantai batu. Setiap langkahnya adalah sebuah vonis. Ia berhenti tepat di depan Han Qiu, menjulang seperti pilar pualam.
"Wajan ini," suaranya memecah keheningan, setenang dan sedingin air danau di musim dingin.
"Telah digunakan."
Itu bukan pertanyaan. Itu adalah pernyataan fakta, sebuah dakwaan yang tidak membutuhkan bukti lebih lanjut. Jantung Han Qiu berdebar begitu keras hingga ia takut wanita itu bisa mendengarnya.
"Siapa?" Chef Gao bertanya, matanya masih terpaku pada kerak hitam itu, seolah benda kecil itu menceritakan seluruh kisah pengkhianatan malam tadi.
"Siapa yang berani mencemari peralatan dapur ini dengan panas barbar dan... rasa?"
Kata 'rasa' diucapkannya seperti sebuah kutukan, sebuah kata cabul yang menjijikkan.
Han Qiu menundukkan kepalanya dalam-dalam, berharap bisa menembus lantai batu. Otaknya kosong. Tidak ada alibi, tidak ada kebohongan cerdas yang bisa ia ciptakan. Ia tertangkap basah. Ia bisa merasakan tatapan para pelayan lain di punggungnya, sebuah campuran antara rasa kasihan dan ketakutan yang melumpuhkan.
Mereka semua tahu apa artinya ini. Hukuman. Pengusiran. Atau mungkin sesuatu yang lebih buruk.
"Aku tidak akan bertanya lagi," lanjut Chef Gao, nadanya tidak berubah sedikit pun.
"Jika tidak ada yang mengaku, maka seluruh pelayan di shift pagi ini akan menanggung akibatnya. Kalian semua akan mencuci setiap piring di istana ini dengan lidah kalian."
Ancaman itu terdengar sangat tidak manusiawi dan mengerikan, tetapi tidak ada yang meragukan bahwa ia akan melakukannya. Udara menjadi begitu pekat oleh teror hingga sulit untuk bernapas. Han Qiu menggigit bibirnya, bersiap untuk berdiri dan menerima nasibnya. Ia tidak bisa membiarkan orang lain menderita karena kerinduannya akan nasi goreng.
Namun, sebelum ia sempat membuka mulutnya, sebuah suara serak dan tua memecah ketegangan.
"Hamba yang melakukannya, Chef Gao."
Han Qiu terkesiap, kepalanya terangkat sedikit.
Koki Chen, seorang pria tua yang punggungnya sudah sedikit bungkuk karena puluhan tahun membungkuk di atas meja potong, melangkah maju selangkah. Wajahnya yang keriput tampak tenang, meski tangannya yang tersembunyi di balik lengan bajunya gemetar.
"Hamba yang membersihkan wajan itu semalam," lanjut Koki Chen, suaranya mantap.
"Itu adalah wajan tua yang sudah lama tidak terpakai. Ada banyak kerak dan karat lama yang menempel. Hamba mencoba menggosoknya dengan pasir dan abu, tetapi noda yang paling keras itu tidak mau lepas. Itu bukan sisa makanan baru, Chef. Itu adalah kotoran dari masa lalu."
Sebuah kebohongan yang begitu sederhana namun brilian. Sebuah kebohongan yang mengubah simbol pemberontakan menjadi bukti ketekunan dalam menjalankan tugas kebersihan. Han Qiu menatap Koki Chen dengan tak percaya.
Chef Gao memalingkan wajahnya dari wajan, matanya yang dingin kini menatap lurus ke arah Koki Chen.
"Kotoran dari masa lalu?" desisnya.
"Betul, Chef Gao," tiba-tiba seorang pelayan wanita muda di dekat area sayuran angkat bicara, suaranya bergetar tetapi jelas.
"Saya melihat Koki Chen bekerja keras semalam. Ia bilang wajan itu harus dibuat berkilau lagi agar layak untuk dapur Anda."
"Benar! Kami semua melihatnya!" sahut suara lain dari dekat tungku.
Dalam sekejap, sebuah paduan suara kebohongan yang protektif terbentuk. Satu per satu, para pelayan yang tadinya membeku ketakutan kini menganggukkan kepala, memberikan kesaksian palsu mereka. Mereka membangun sebuah benteng yang tak terlihat di sekeliling Han Qiu, sebuah dinding yang terbuat dari solidaritas kaum tertindas.
Mereka mungkin tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi mereka tahu salah satu dari mereka dalam bahaya, dan naluri bertahan hidup kolektif mereka mengambil alih.
Han Qiu menatap dari satu wajah ke wajah lainnya, hatinya dipenuhi campuran antara kelegaan yang luar biasa dan rasa terima kasih yang mendalam. Ia tidak sendirian. Di neraka steril ini, di bawah penguasa yang sama, mereka telah membentuk sebuah keluarga yang bisu dan tak terucapkan.
Wajah Chef Gao mengeras.
Ia tahu. Tentu saja ia tahu mereka berbohong. Kesaksian yang terlalu serempak, pembelaan yang terlalu tiba-tiba. Ia bisa mencium aroma kebohongan di udara, sebuah aroma yang sama najisnya dengan aroma bawang putih yang digoreng.
Tetapi ia tidak punya bukti. Menghukum semua orang atas dasar kecurigaan akan merusak citra kontrol nya yang selama ini melekat kuat.
Kemarahan yang dingin dan terkendali mendidih di matanya. Wajahnya yang pucat memerah sedikit di bagian pipi, satu-satunya tanda dari badai yang bergejolak di dalam dirinya. Ia kalah dalam pertempuran ini, dan ia membencinya.
Dengan gerakan tajam, ia membungkuk dan mengambil sebilah bambu runcing yang biasa digunakan untuk membersihkan celah. Tanpa sepatah kata pun, ia menancapkan ujungnya ke kerak hitam di dasar wajan. Dengan satu tekanan kuat dan gesekan yang memekakkan telinga, serpihan hitam itu terlepas.
Krak!
Ia mengambil serpihan sebesar kuku itu dengan ujung jarinya, mengangkatnya seolah itu adalah seekor serangga paling menjijikkan di dunia. Ia menatap benda itu dengan kebencian. Fosil dari kejahatan yang tak terpecahkan. Simbol dari perlawanan yang tak bisa ia hancurkan.
"Kotoran dari masa lalu," ia mengulangi kata-kata Koki Chen dengan nada sarkasme yang membekukan.
"Kalau begitu, kita harus membuangnya dengan cara yang terhormat, bukan?"
Ia berbalik, tatapannya menyapu para pelayan yang kini kembali menunduk dalam diam.
Matanya berhenti pada Han Qiu.
"Kau. Xiao Lu," perintahnya, suaranya setajam pisau.
"Kau yang paling dekat dengan sampah ini. Ambil."
Han Qiu, dengan tangan gemetar, mengulurkan telapak tangannya. Chef Gao menjatuhkan serpihan kerak itu ke tangannya. Rasanya masih sedikit hangat, dan sebuah aroma samar dari surga yang hilang—aroma gurih kecap ikan dan bawang putih—menguar darinya, sebuah bisikan rahasia yang hanya bisa dipahami oleh Han Qiu.
"Bawa kotoran itu," perintah Chef Gao, matanya berkilat karena sebuah ide yang kejam dan penuh dendam.
"Buang ke tempat yang bisa dilihat semua orang. Buang ke tempat di mana kemurnian istana ini paling membutuhkannya sebagai pengingat akan kenajisan yang selalu mengintai."
Ia berhenti sejenak, membiarkan ketegangan menggantung di udara. Lalu, ia memberikan vonisnya.
"Buang di jalur kerikil putih. Tepat di persimpangan yang menuju Paviliun Anggrek Tenang. Biar Yang Mulia melihat sendiri jenis sampah apa yang lahir dari kemalasan dan ketidakmurnian."
Jantung Han Qiu serasa jatuh ke perutnya. Jalur yang akan dilewati Kaisar. Ia memerintahkannya untuk menodai jalan sang Naga dengan bukti kejahatannya sendiri. Ini bukan sekadar hukuman.
Ini adalah sebuah jebakan, sebuah pertunjukan kekuasaan yang sadis.
"Sekarang," desis Chef Gao, suaranya tidak menyisakan ruang untuk bantahan.
"Pergi."
Han Qiu mengepalkan tangannya, merasakan tepi tajam dari kerak itu menekan kulitnya. Ia memegang bom waktu di tangannya. Sebuah permata hitam yang bisa menyelamatkan atau menghancurkannya, dan kini, ia diperintahkan untuk meletakkannya tepat di jalan takdir.
Ia berbalik dan mulai berjalan, setiap langkah terasa seperti menginjak pecahan kaca. Di belakangnya, ia bisa merasakan tatapan kemenangan Chef Gao yang dingin membakar punggungnya, dan puluhan pasang mata penuh kecemasan dari para sekutu barunya yang tak bersuara.
Ia berjalan keluar dari pintu dapur, menuju cahaya fajar yang menyilaukan, membawa serta aroma kerak hitam dan sebuah nasib yang akan segera berbelok tajam di persimpangan jalan.