Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.
Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.
Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.
Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.
Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.
“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENARI DI ATAS BAJA
Waktu: 22.00 WIB.
Lokasi: Area Kontainer, Pelabuhan Boom Baru, Palembang.
(POV: Aditya Wiranagara)
Palembang di malam hari memiliki aroma yang khas. Campuran berat antara uap air sungai yang hangat, bau solar dari kapal tongkang yang lewat, dan aroma samar terasi dari kejauhan.
Aditya Wiranagara tidak suka pelabuhan.
Bukan karena dia takut kotor. Sebagai Senja Garda, dia sudah pernah merayap di selokan Jakarta demi mengejar tuyul, berguling di lumpur Merapi saat melawan raksasa batu, bahkan mandi darah monster. Kotoran, debu, dan bau busuk adalah bagian dari job description-nya yang tidak tertulis. Dia tidak masalah dengan itu.
Masalahnya adalah selera.
"Kenapa penjahat tidak pernah mengadakan rapat rahasia di ballroom hotel bintang lima yang ber-AC dan higienis?" keluh Aditya dalam hati sambil melompati genangan oli bekas. "Kenapa markas mereka harus selalu di gudang tua yang lembap, bau solar, dan penuh risiko tetanus? Apa mereka tidak peduli pada kesehatan dan keselamatan kerja?"
Dia berhenti di balik tumpukan palet kayu, menatap targetnya di seberang area terbuka.
Gudang Nomor 4.
Bangunan itu adalah sisa peninggalan kolonial yang menyedihkan. Atap sengnya berkarat, dinding batanya retak-retak ditumbuhi lumut. Namun, di balik tampilan luarnya yang rapuh, Aditya tahu tempat itu dijaga ketat.
"Karin, status perimeter?" bisik Aditya.
"Kamera CCTV sisi utara sudah aku looping," lapor Karina di telinganya. "Tapi ada sensor gerak laser di pintu utama. Mas harus lewat atas."
"Selalu lewat atas," gumam Aditya. "Untung aku tidak takut ketinggian."
Aditya membidikkan pergelangan tangannya ke arah balok besi di atap gudang yang menjorok keluar.
THWIP.
Kabel grapple halus melesat, melilit balok itu dengan kuat. Motor penarik di sabuknya berdenging halus, menarik tubuh Aditya ke udara. Dia melayang naik setinggi sepuluh meter, lalu mendarat dengan mulus di atas atap seng.
Dia berjalan merunduk menuju sebuah ventilasi udara turbin yang berputar pelan, berkarat dan berisik.
Aditya berlutut, menempelkan alat pemindai ke dinding ventilasi. Dia menurunkan visor kaca di helmnya.
"Mode LiDAR. Aktif."
LiDAR (Light Detection and Ranging) adalah teknologi pemetaan yang menggunakan jutaan pulsa laser tak kasat mata untuk memindai lingkungan dalam bentuk 3 dimensi.
Dunia di hadapannya berubah. Atap seng di bawah kakinya menjadi transparan dalam tampilan kerangka kawat neon biru. Dia bisa melihat menembus dinding.
Di lantai gudang, enam sosok manusia berpendar oranye (tanda panas tubuh). Mereka bersenjata lengkap—senapan serbu laras pendek jenis Pindad SS1, rompi taktis, dan radio komunikasi. Mereka berjalan dengan pola patroli yang disiplin, saling menutupi titik buta masing-masing.
"Enam target," hitung Aditya. "Dua di pintu, dua patroli keliling, dua menjaga peti di tengah."
Di tengah ruangan, ada sebuah peti logam besar yang dilapisi timah. Itu targetnya. Manifest kargo dan mungkin sampel artefak ada di sana.
"Rencanaku sederhana," gumam Aditya. "Gas tidur lewat ventilasi, turun, lumpuhkan yang masih sadar, ambil data, pulang."
Tapi kemudian, dia melihat sesuatu yang ganjil di layar LiDAR-nya.
Ada sinyal panas ketujuh.
Sinyal itu tidak berada di lantai bersama para penjaga. Sinyal itu berada di atas, menempel pada kerangka baja langit-langit gudang, tepat di bawah posisi Aditya.
"Tunggu..." Aditya menyipitkan mata. "Karin, ada satu lagi di catwalk. Apa itu penjaga sniper?"
"Bentar, Mas... pola panasnya aneh," jawab Karin ragu. "Detak jantungnya rendah banget. Terlalu tenang untuk ukuran penjaga yang lagi siaga. Dan dia... dia bergerak."
Aditya mematikan mode LiDAR dan mengintip langsung lewat celah bilah ventilasi untuk melihat secara visual.
Matanya melebar sedikit.
Di bawah sana, di antara balok-balok baja yang berdebu dan sarang laba-laba, ada seseorang.
Bukan tentara bayaran berbadan tegap. Itu adalah sosok wanita yang ramping, dibalut catsuit taktis berwarna abu-abu gelap yang pas di tubuh. Wajahnya tertutup topeng kain sutra setengah wajah.
Dan dia tidak berjalan. Dia menari.
Wanita itu melompat dari satu balok baja ke balok lain tanpa suara sedikit pun. Dia tidak menggunakan kabel canggih atau sepatu magnet seperti Aditya. Dia menggunakan keseimbangan tubuh murni dan seutas tali kain sutra yang dia lempar dan tarik secara manual untuk berayun.
Gerakannya cair, luwes, dan menghipnotis.
Aditya melihat wanita itu berhenti tepat di atas salah satu penjaga yang sedang patroli di bawah. Penjaga itu berhenti sejenak untuk menyalakan rokok.
Tanpa peringatan, wanita itu menjatuhkan diri dengan posisi terbalik—kepala di bawah, kaki mengait di pagar . Dia meluncur turun seperti tetesan air.
Tangannya menyentuh leher si penjaga.
Hanya sentuhan. Bukan pukulan, bukan bantingan, bukan kuncian leher.
TAP.
Jari telunjuk dan tengahnya menekan titik tertentu di samping leher penjaga itu dengan presisi bedah.
Penjaga itu langsung lemas. Rokoknya jatuh dari bibir. Tubuhnya ambruk ke lantai tanpa suara gedebuk yang berarti, seolah tulang-tulangnya berubah jadi jeli.
Wanita itu menarik tubuh si penjaga ke dalam bayangan di balik tumpukan kardus, lalu kembali menarik tubuhnya sendiri ke atas catwalk dengan kekuatan otot perut yang luar biasa.
Semuanya terjadi dalam tiga detik. Penjaga lain tidak menyadari apa-apa.
"Totok saraf," analisis Aditya, nada suaranya berat. Ada rasa hormat profesional, tapi lebih banyak rasa kesal. "Efisien. Tapi terlalu banyak gaya. Dia pamer pada siapa? Tikus gudang?"
"Wow," komentar Karin di telinga. "Dia kayak Black Widow versi kearifan lokal. Siapa dia, Mas?"
Aditya mengingat-ingat database kriminal yang pernah dia baca di Arsip Wiranagara. Ada satu nama yang sering muncul dalam laporan pencurian artefak kelas kakap di Asia Tenggara. Seseorang yang tidak pernah tertangkap, tidak pernah meninggalkan sidik jari, dan selalu meninggalkan TKP lebih bersih daripada saat dia datang.
"Si Tangan Sutra," desis Aditya. "Pencuri bayaran. Dia mengincar peti itu juga."
Benar saja. Sosok wanita itu kini bergerak merayap di atas pipa ventilasi, menuju tepat ke posisi peti logam di tengah ruangan.
"Sial," umpat Aditya. "Kalau dia mengambil manifest itu, kita kehilangan jejak Bayangga. Aku tidak bisa membiarkan pihak ketiga mengacaukan operasi ini."
Wanita itu sudah turun ke lantai, mendarat tanpa suara di belakang dua penjaga yang menjaga peti. Dia mengeluarkan sebuah alat peretas elektronik kecil.
"Dia mau buka petinya," kata Aditya, menarik napas dalam. "Karin, matikan alarm gudang. Aku masuk sekarang."
"Mas mau stealth juga?"
"Tidak. Stealth butuh waktu. Aku butuh intimidasi."
Aditya berdiri. Dia memposisikan dirinya tepat di atas ventilasi udara.
Dia tidak membukanya dengan obeng. Dia menghentakkan tumit bajanya sekuat tenaga.
BLAM!
Kisi-kisi ventilasi yang berkarat itu jebol, jatuh ke lantai gudang di bawah dengan suara logam beradu yang memekakkan telinga.
KLANG!
Para penjaga di bawah terlonjak kaget, mengarahkan senjata ke segala arah.
Aditya melompat turun dari lubang itu. Jubah taktisnya mengembang sesaat, lalu dia mendarat dengan satu lutut dan satu kepalan tangan menghantam lantai—Superhero Landing.
Lantainya retak sedikit. Debu mengepul dramatis. Lututnya nyeri, tapi efek visualnya sepadan.
Semua mata tertuju padanya. Termasuk mata di balik topeng sutra wanita itu.
Aditya berdiri tegak perlahan, tingginya menjulang dalam balutan armor hitam yang intimidatif. Dia menatap lurus ke arah pencuri wanita itu, mengabaikan para penjaga yang mulai berteriak panik.
"Minggir," suara Aditya keluar lewat modulator masker, terdengar berat, dingin, dan penuh otoritas. "Pesta ini dibubarkan."
Wanita itu tidak lari. Dia malah memiringkan kepalanya, menatap Aditya dengan rasa ingin tahu, seolah sedang melihat spesies hewan langka yang baru ditemukan.
Konfrontasi dimulai.
luar biasa!!!
tak kirimi☕semangat💪
💪💪💪thor
jodoh ya thor🤭
makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
💪💪💪adit
tp yakin sg bener tetep menang
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit