NovelToon NovelToon
Bunian Cinta Yang Hilang

Bunian Cinta Yang Hilang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Mata Batin
Popularitas:251
Nilai: 5
Nama Author: Ddie

Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."

Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cemburu ?

Angku duduk di anjungan rumah gadang tua, ditemani satu-satunya cahaya yang masih setia: lampu senter menari lemah ditiup angin lembah. Malam tercekik menahan napas, dan wajah tua itu tampak muram—bukan muram manusia biasa, melainkan seseorang yang tahu bahwa batas di antara dunia mulai robek perlahan seumpama kain lusuh diseret waktu kejam.

Dari kejauhan terdengar suara daun daun bambu bergetar berselisik bukan ditegur angin, atau binatang melainkan langkah rintih bayangan bermaya menembus disela selanya.

“Ah… sudah dekat rupanya,” desis Angku bagaikan pasir kasar jatuh ke dasar sumur.

Ia menutup mata. Tanah di bawah rumah gadang mengirim getaran halus, merayap naik dingin dari sumsum bumi. Bukan getaran tanah Koto Tuo, bukan denting gelisah Raga dan bukan pula pula desah manja anak Haji Tuanku Rusdi, Arumi. Ini datang dari jauh—seberang laut, dari seseorang yang tidak seharusnya ikut terlibat dalam kisah, Nadira.

Seperti riak pertama di air tenang sebelum badai, desa itu bergetar menyambut kedatangan orang yang bahkan belum pernah menjejakkan kakinya di sini. “Anak awak satu itu… memanggil orang dari jauh,” gumam Angku lirih.

Sebelum ia sempat menarik napas dalam, udara di belakangnya berubah dingin—dingin merengkuh tidak lahir dari malam, tapi dari kegelapan yang punya ingatan.

Suara kain basah diseret, lalu bau melati—segar, tajam, menusuk pisau bunga—mengisi udara.

“Angku…” Suara itu muda, bergetar, membawa rindu dan dendam ditanam ratusan tahun lalu.

Laki laki tua bersorban itu tidak menoleh. Ia hanya menggenggam tongkatnya lebih kuat, merasakan suara kayu tua di tangannya ikut berdenyut.“Jangan tunjukkan wujudmu, bayangan putih. Aku memang tua… tapi belum bodoh.”

Desah lirih terdengar, halus daun mati yang diinjak sunyi. Ada kecewa, ada luka yang tak pernah sembuh. “Dia semakin dekat… perempuan itu… setiap malam memanggil namanya…”

Angku membuka mata, menatap gelap yang tidak memantulkan apa pun.“Arumi. Kenapa kamu marah dan cemburu?”

Hening panjang mengalir, dingin sungai hitam. Daun pintu di belakangnya bergerak, padahal angin pun enggan lewat mengusik

“Aku menunggu paling lama… Aku yang memegang janji… Aku yang terikat oleh darah moyang…” suaranya retak. “Kenapa ada orang asing ikut memanggilnya?”

Angku menghela napas—napas berat membawa beban puluhan tahun silam

“Arumi… perjanjian moyang bukan alasan untuk menyentuh orang yang tidak tahu apa-apa.”

Bau melati mengental bagaikan kabut yang ingin menenggelamkan ruangan. “Aku tidak menyentuhnya… hanya… tidak suka,” sahutnya getir seperti menangis.

Lantai rumah gadang mengerang, Kayu-kayunya mengingat sesuatu ingin dilupakan.

“Dia datang mencari bukan miliknya… Dia bermimpi tentang desa ini… Dia memanggil nama itu… Dia mencari jalan ke sini…” Bayangan itu mendekat, dingin, bulat, penuh kepastian menakutkan. Lalu berbisik, sedingin embun lahir sebelum matahari pagi bersinar “Dan aku tidak suka ada yang mendekati milikku.”

Angku mengetukkan tongkatnya. Dentumannya memukul dada rumah tua, mengusir makhluk-makhluk kecil yang bersembunyi di sudut gelap.

“Cukup, anakku."

Keheningan turun, berat seperti kain kafan di makan cacing“Raga bukan milikmu. Bukan pula milik Nadira. Dia—”Kalimat itu terhenti.

Tanah di bawahnya berkedut, mengirim peringatan dari kedalaman bumi gelap.

“…dia sedang berada di jalan yang tidak kita inginkan.”

Shiluet tidak menjawab, tapi udara kian menebal, dingin memadat sampai napas sendiri terasa asing. Bau melati getir, pahit kenangan buruk menghantui masa.

“Jika kamu menyentuh gadis itu… perjanjian lama akan bangkit.” Suara Angku melemah, tapi ancamannya berat bak lumpur kuburan. “Dan kamu tahu apa artinya.”

Keheningan menggantung, menajam luka

Suara itu mengecil, rapuh anak kecil tersesat di tengah hutan lembab. “Aku… takut kehilangan dia.”

Angku memejamkan mata lambat, Ia tahu, sejak lama ia tahu bahwa gadis itu bukanlah sekadar bayangan: ia adalah nyawa dari perjanjian itu sendiri, cemburu, rindu, murka—adalah denyut kutukan yang diwariskan turun-temurun.

“Katakan kepada orang kampung… orang asing itu… sudah hampir sampai,” bisiknya untuk terakhir kalinya.

Lalu semuanya lenyap.Bau melati hilang. Dingin gaib luruh. Yang tersisa hanyalah getaran kecil pada tongkat Angku— sisa langkah makhluk yang baru saja pergi.

Laki laki tua itu menatap malam, menembus bukit, jalan berkelok, dan seluruh jarak yang memisahkan desanya dari dunia luar.

“Raga…” gumamnya, suara setipis doa. “Jika perempuan itu sampai masuk ke desa… semuanya akan berulang.”

Untuk pertama kalinya sejak ritual pemutus dilakukan, angku merasa takut—bukan pada Arumi, bukan pada bayangannya, tapi pada apa yang telah bergerak dari arah Nadira: sesuatu tanpa nama, membawa nasib bayangan panjang setelah matahari hampir tenggelam.

\=\=\=

Malam di Koto Tuo turun perlahan. Angin gunung membawa bau tanah basah dan bunga hutan yang mekar diam-diam. Di kejauhan, suara saluang terdengar samar nun jauh di sudut jorong, merayap seperti doa setengah hilang ditelan

Di dalam rumah kayu tua keluarga Raga, Angku duduk bersila, tongkatnya berdiri di sisi kanan menciptakan bayangan panjang di dinding. Lelaki tua itu tidak tidur, meskipun matanya terpejam. Ia mendengar bukan suara, melainkan gelombang: halus tapi tajam, seperti seseorang mengetuk pintu dari jarak ratusan kilometer.

Raga sudah tertidur selepas isya, begitu pula ibunya, sementara ayah masih sibuk di dapur menyiapkan barang barang untuk dibawa kesawah besok paginya

Angku membuka mata tiba-tiba. “Datang juo… satu urang…”

Ayah Raga keluar dari dapur menghentikan langkahnya. “Datuak? Siapa yang datang? Apakah keluarga kito?”

Laki laki tua itu menggeleng pelan, sorot matanya berat menahan bayangan terlihat hampa“Bukan urang kampuang. Bukan juo nan awak kenal. Dari jauh… jauh… tapi gelombang langkahnya semakin dekat. Hatinya keras, rasa penasaran dalam. Tanganya takalek oleh akal, ditarik oleh sesuatu yang dia sendiri tidak tahu.”

Ayah menggenggam baju di dadanya, bulu tangannya merinding tanpa alasan jelas. “Angku… apakah ini ada hubungannya dengan anak kita Raga?”

Ia mengangguk kecil, wajahnya pucat menahan firasat. “Hanya yang punya ikatan merasakan tanah kita. Tapi yang kini datang berbeda dengan yang lainnya.”

“Nan lain… maksud Datuak apa?” tanya Ayah semakin bingung.

Angku membuka mata perlahan, sorbanya terpasang kokoh di kepala seakan menguatkan jiwa. “Orang itu…dia tidak punya darah dengan kita, tidak punya ikatan leluhur Tapi jalan hatinya… terhubung dengan Raga. Dan dari alam seberang sudah mulai terusik.”

Ayah tercekat kaget. “Maksud angku … dia?”

Angku tidak menjawab langsung, menunduk, menatap lantai tanah retaknya membentuk garis seperti peta tak kasat mata.

Di balik rumah, angin tiba-tiba berputar. Daun melati jatuh satu per satu. Di sudut halaman, tepat di bawah pohon manggis tua, kabut tipis muncul napas halus, sebuah bisikan melesat cepat—terlalu cepat untuk telinga manusia biasa.

Siapa… yang datang…?

Siapa yang memanggil… namanya… Raga?

Siluet samar berdiri, tak jelas apakah perempuan, bayangan, atau sekedar patahan cahaya bulan.

Dia… bukan bagian dari kita…

Kenapa dia… mendekat…?

Suaranya berubah rendah, hampir seperti geraman halus.

Jauhi dia…

Dia bukan untukmu.

Di dalam rumah, Angku tiba-tiba meraih tongkatnya berdiri perlahan. “Orang itu- tidak dari kampung kita—sudah mulai terlihat di mata batin.”

“Arumi?” tanya Ayahnya pelan.

Angku menghela napas panjang, berat seolah menahan dunia. “Arumi… baru saja mambaco hati orang. Dia tidak suka… ada langkah perempuan lain menuju Raga.”

“Cemburu?”

Dia menggeleng keras. “Bukan cemburu perempuan. Bukan karena sayang.” Tongkatnya menghentak lantai, membuat suara tak! memecah malam. “Ini… cemburu alam. Cemburu wilayah. Cemburu hak yang sudah dijanji dalam darah.”

“Angku.. Nadira… siapa pun gadis itu … apakah berbahaya jika ia datang?”

Ia menatap gelap malam di luar jendela. “Tidak bahaya untuk kita. Tapi bahaya… untuk dirinya sendiri.”

Sebab Arumi— hanya muncul ketika garis keturunan mulai goyah—sudah membuka mata. Dan ia tidak suka ada perempuan asing mulai berjalan ke arah kampung ini."

 

1
ayi🐣
semangat thor ayo lanjut/Awkward//Scream/
Ddie
Dapat kah cinta menyatu dalam wujud dimensi Roh ? Bagaimana dalam kehidupan sehari-hari? Novel ini mencoba mengangkat dimensi ' Bunian' jiwa yang tersimpan dalam batas nalar, '
Rakka
Hebat!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!