Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.
kisah ini diangkat dari kisah nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Hikmah di Balik Luka
Beberapa bulan berlalu sejak kejadian menyakitkan yang memuncak pada pengkhianatan keluarga dan sikap dingin Riski. Maya kini membatasi diri berkomunikasi dengan keluarga Riski. Meskipun hanya melalui pesan singkat, intensitasnya tidak lagi seperti dulu. Dinding pertahanan emosional telah ia bangun tinggi-tinggi, melindungi hatinya dari hantaman selanjutnya.
Dan ternyata, di balik peristiwa kesalahpahaman yang menyakitkan dan menyudutkan Maya itu, ada hikmah besar yang ia dapatkan. Beberapa bulan setelahnya, sebuah perubahan nyata terjadi: Maya tidak pernah lagi menjadi "ekor" di antara Umma Fatimah dan Riski, yang selalu berjalan berdampingan.
Kini, ia bisa memiliki waktu sendiri, keluar hanya berdua saja dengan Riski, menikmati momen-momen langka layaknya pasangan normal yang baru menikah. Umma Fatimah pun seolah menjaga jarak, tidak pernah lagi bertegur sapa, dan tidak lagi berani menegur Maya lewat pesan singkat. Maya tidak peduli lagi; hatinya sudah mengeras, ditempa oleh rasa sakit. Ia tidak peduli kalau Umma Fatimah masih saja menuduhnya, Maya juga tidak ingin lagi membenarkan kekeliruan mereka semua terhadapnya.
Maya bersyukur lewat kejadian kesalahpahaman tersebut, sebuah kelegaan muncul, meskipun terasa pahit. Ia memiliki waktu pribadi bersama Riski, bisa mengenal Riski lebih dalam, bisa merasakan rumah tangga normal yang diimpikannya, di mana seorang istri pergi berdua bersama suaminya.
Meskipun dalam hal ibadah (salat berjamaah) ia masih melakukannya sendiri di kontrakan sunyinya, tapi situasi yang sekarang menurutnya jauh lebih baik. Ia telah menemukan secercah kebahagiaan dan keadilan yang selama ini ia perjuangkan dalam diam, meskipun harus dibayar mahal dengan retaknya hubungan keluarga, dan terkikisnya rasa percaya.
........
Kebahagiaan dan ketenangan yang dirasakan Maya hanya sesaat. Lagi dan lagi, badai menghantam. Ia kembali diuji, kali ini dengan cara yang paling menyakitkan di masa rentannya.
Riski, karena kesibukannya yang padat sebagai manajer proyek, membuat kesehatannya menurun drastis. Mungkin juga karena rasa stres yang membebani pikirannya, sebab kini kedua istrinya tidak lagi akur seperti dulu, suasana rumah tangga menjadi tegang dan penuh aura dingin. Riski pun mulai sakit-sakitan.
Sejak saat itu, Maya tidak lagi mendapatkan giliran malam. Riski mengirim pesan singkat yang terasa sedingin es, menyayat hati: katanya ia lebih nyaman bersama Umma Fatimah yang lebih tahu tentang dirinya dan cara merawatnya saat sakit.
Penolakan itu bagai pisau yang berputar di luka lama. Namun, Maya kini berbeda. Ia memahami, tapi hatinya telah mengeras. Fokusnya bukan lagi pada Riski atau Umma Fatimah. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah anak dalam kandungannya, denyut kehidupan kecil yang menjadi satu-satunya sumber kekuatannya, satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ia tidak peduli lagi terhadap Riski dan juga Umma Fatimah, hatinya telah memilih untuk melindungi dirinya sendiri dan bayinya.
Sejak saat itu, Riski hanya datang di jam-jam istirahat saja—saat makan siang atau sore sebentar—untuk menengok, tanpa kehangatan, tanpa afeksi, hanya sekadar menjalankan kewajiban basa-basi. Setiap malam, Maya selalu sendirian di kontrakan yang hampa itu. Terkadang, ia masih merasakan kesedihan yang mendalam dan kesepian yang mencekam, air mata sempat menetes membasahi bantal. Tapi dirinya segera teringat kembali, di dalam rahimnya, sebentar lagi akan ada malaikat kecil yang menemaninya, yang akan mengisi kekosongan hatinya, dan itu sudah lebih dari cukup baginya.
.....................
Tujuh bulan berlalu, tidak terasa usia kehamilan Maya pun sudah memasuki trimester ketiga. Beberapa bulan lagi, dirinya akan melahirkan, menyambut kehidupan baru. Selama rentang waktu tujuh bulan tersebut, banyak sekali kejadian yang menyakitkan sekaligus manis yang terjadi, menempa Maya menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih tegar, dan lebih bijaksana.
Keluarga Riski pun sudah meminta maaf atas kekhilafannya dulu, dan Maya memaafkan, meskipun komunikasi di antara mereka kini terjalin dengan batasan yang jelas, sebuah dinding tak terlihat yang ia bangun untuk melindungi diri. Hari terus berlalu, Maya sudah mulai terbiasa dan berdamai dengan takdirnya sendiri, sebuah kedewasaan baru yang tumbuh seiring janin di kandungannya. Maya berusaha memahami segala kurangnya Riski, karena bagi Maya, dirinya pun memiliki banyak kekurangan.
Suatu siang, saat Riski datang ke kontrakan Maya, keduanya duduk bersama dan mengobrol santai, suasana terasa lebih hangat dari biasanya, sebuah momen langka yang ia syukuri. Riski menanyakan soal Maya yang ingin bersalin di mana. Riski menyarankan agar Maya tinggal sementara dengan keluarganya dan bersalin di sana, agar ada yang membantu Maya, karena Maya hanya seorang diri.
Di tengah percakapan itu, Riski menghela napasnya, ada beban yang ingin ia bagi, sebuah pengakuan yang jujur. Riski mengatakan,
"Sebenarnya Umma Fatimah berharap dia yang hamil duluan, May. Katanya dia pengin kasih saya anak lagi, tapi dari rahim dia."
Mendengar hal tersebut, Maya tidak bereaksi apapun, ekspresinya datar, seolah hatinya telah kebal. Tapi di dalam hatinya, Maya merasa lucu dan miris dengan Umma Fatimah. Bagaimana bisa perihal siapa yang lebih dulu hamil diatur oleh manusia, seolah mereka memiliki kendali atas kehendak Ilahi? Semua yang terjadi adalah atas takdir dan kehendak Allah ta'ala, bukan karena keinginan manusia semata.
Maya tersenyum tipis, senyum yang penuh makna. Sejak kesalahpahaman nya lalu dengan Umma Fatimah, dan Umma Fatimah mengungkit semua pemberiannya, kini Maya tahu bagaimana watak Umma Fatimah yang sebenarnya. Tidak ada lagi kekaguman di hati Maya untuk Umma Fatimah, hanya rasa kasihan yang samar. Meskipun begitu, Maya tidak pernah berusaha membalas. Maya juga tidak pernah berniat merebut atau bersaing dengan Umma Fatimah, Maya sangat tahu diri akan posisinya. Maya hanya ingin hidup tenang, sadar bahwa perihal hati tidak bisa dipaksakan, dan kedamaian hati jauh lebih berharga daripada memperebutkan perhatian yang tidak utuh.
...----------------...
Beberapa hari kemudian, skenario perjalanan panjang itu terulang kembali. Maya, Umma Fatimah, dan Riski kembali melakukan perjalanan jauh, kali ini untuk mengantarkan Maya ke rumah salah satu kerabat Riski, di kota yang berbeda. Rencananya, Maya akan melahirkan di sana dan menetap selama beberapa bulan, demi keamanan dan kesehatan bayi dan dirinya.
Perjalanan kali ini terasa berbeda, bukan karena kehangatan, tapi karena aura dingin yang menusuk dari Umma Fatimah. Gestur tubuhnya seperti orang yang marah, enggan dekat dengan Maya. Maya tahu, Umma Fatimah pasti terpaksa ikut, karena Riski katanya tidak bisa pergi tanpa Umma Fatimah, sebuah pengakuan yang dulu akan melukai Maya, tapi kini hanya terasa hambar.
Perjalanan kali itu pun berbeda dengan perjalanan sebelumnya; hati Maya benar-benar kebal. Ia tidak lagi merasakan nyeri di hatinya dengan interaksi Umma Fatimah dan Riski di dalam mobil, tawa mereka, atau cerita mereka. Hatinya telah mengeras, sebuah tameng pelindung telah terbangun kokoh.
Sepanjang jalan, Maya lebih seringnya tertidur di kursi belakang, membiarkan dirinya tenggelam dalam lelap, dan bangun hanya saat dirinya perlu untuk membuang air kecil. Maya kini telah berdamai dengan takdirnya, memilih ketenangan jiwa daripada memaksakan keadilan yang semu, fokusnya kini hanya pada malaikat kecil dalam kandungannya yang akan segera lahir ke dunia
Bersambung...