Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Tangis Regi pecah tak tertahankan di dalam mobil, tangannya perlahan bersandar di setir mobil, dengan tatapan yang menunduk, air mata terus runtuh satu persatu sebagai perwakilan hatinya yang kelam.
Setir ia genggam erat seolah takut tubuhnya ikut runtuh bila genggaman dilepas. Bahunya naik turun, napasnya patah-patah.
"Tuhan ... apa yang akan aku bawa pada putriku, baru saja ia ikut denganku ...," ucap Regi menggantung.
Ia bukan menangis karena kehilangan jabatan
melainkan karena teringat wajah Dona, seorang anak yang mulai percaya penuh padanya, anak yang mulai percaya jika bersamanya dunia akan baik-baik saja, tapi sekarang, ia tidak punya apa-apa.
"Papa akan selalu pulang?" pertanyaan gadis kecilnya itu selalu terngiang di dalam pikirannya.
Kalimat itu kini terasa seperti pisau menusuk dada, Regi mengusap wajah kasar, lalu menyalakan mesin. Mobil melaju pelan meninggalkan gedung yang pernah ia bangun dengan darah dan keringat.
Gedung itu kini bukan lagi tempatnya berdiri…
melainkan saksi bagaimana ia dijatuhkan oleh darah dagingnya sendiri.
☘️☘️☘️
Sementara itu di rumah, Dona duduk memeluk boneka kelincinya di sofa ruang tamu, sejak pagi tadi ia tak beranjak jauh dari pintu, matanya menatap ke arah jalan, berharap setiap mobil yang datang merupakan mobil ayahnya, namun tubuhnya kembali lemas saat mobil itu tidak berhenti di depan rumahnya.
“Papa belum pulang ya, Bu?” gumamnya lirih, seolah sang Ibu ada di sampingnya.
Ia menurunkan kaki kecilnya dari sofa dan berjalan menuju jendela, membuka sedikit tirai, langit masih sama kelabu seperti pagi tadi, dan jauh dalam hatinya ada kecemasan yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kara.
Rasa kehilangan itu kini mulai berputar di dalam pikirannya, tangannya mulai memeluk erat kembali boneka kelincinya itu, hingga suara pengasuh datang sedikit mengejutkan hatinya.
"Nak Dona, makan dulu ya," kata pengasuh itu dengan lembut.
"Dona nunggu Papa dulu," tolak anak itu dengan cepat.
"Tapi Papa Nak Dona masih kerja," kekeh Pengasuh yang bernama Rika itu.
"Mbak Rika tenang saja, Dona gak akan ngadu sama Papa," sahut anak kecil itu.
Ia masih setia mengintip melalui kaca jendela, karena kepulangan ayahnya merupakan hal yang paling ia nanti dari apapun.
☘️☘️☘️
Suara mesin mobil berhenti di halaman, sontak bocah kecil itu langsung berlari menuju pintu, segala kegundahan hatinya burubah menjadi bahagia kecil yang terpancar di dalam raut wajahnya.
“Papa pulang!” seru anak itu
Ia membuka pintu mobil bahkan sebelum Regi sempat mematikannya. Regi mematung beberapa detik memandangi gadis kecil itu.
Bibir tersenyum, tapi matanya kosong, seolah menahan kesedihan di dalamnya, ia turun lalu berjongkok membuka kedua lengannya.
Dona berhambur masuk ke pelukan itu, memeluk sekencang yang tubuh kecilnya bisa.
“Papa lama…” keluhnya pelan.
Regi menelan berat, mengelus rambut halus itu. “Maaf… Papa telat,” bisiknya.
Dona sedikit menjauh, menatap wajah ayahnya dengan heran.
“Papa kenapa?”
Regi terdiam. Ia ingin berkata jujur, tapi lidahnya keluh, apa yang bisa ia katakan pada anak sekecil ini? Bahwa Papa kehilangan pekerjaan? Bahwa mulai hari ini hidup mereka akan jauh lebih sulit?
Bahwa bahaya dari keluarga Halik belum berakhir? Regi akhirnya tersenyum tipis. “Papa capek saja,” jawabnya.
Namun Dona tak sepenuhnya percaya. “Papa nangis tadi ya kok matanya sembab?”
Pertanyaan itu menusuk, Regi menghela napas panjang, lalu memeluk Dona lebih erat.
“Sedikit. Tapi Papa sudah kuat lagi sekarang," ucapnya pelan. "Mulai sekarang Papa akan berjuang untuk Dona ya," ungkapnya dengan suara yang bergetar.
Dona mengangguk kecil, menyandarkan kepala di dada ayahnya. “Kalau Papa capek, nanti Dona yang jaga Papa.”
Nyeees!
Satu kalimat polos itu, membuat dada Regi terasa remuk, bayangkan anak yang dulu ia tinggalkan mempunyai kebaikan hati yang sangat luar biasa, tidak ada kata dendam ataupun marah, tatapan tulus dan ucapan polosnya benar-benar membuatnya tidak habis pikir dengan pikiran orang dewasa yang ingin menyakiti anak sebaik Dona.
Ia mengecup kening putrinya berkali-kali.
“Kamu tidak harus jaga Papa, Nak… cukup tetap hidup dan bahagia saja.”
"Gak apa-apa, Dona pintar kok, kan sudah terbiasa jagain ibu yang sakit," kata anak itu polos.
Tanpa sadar lagi-lagi air matanya jatuh, ia mendekap lagi tubuh sang anak, dalam hati berjanji, tidak akan pernah melepaskan meskipun ujian datang silih berganti.
☘️☘️☘️
Malam kembali datang. Regi duduk di meja kecil menghitung uang sisa. tabungannya tidak banyak, sebagian besar dulu ia alihkan untuk pengembangan perusahaan.
Kini, angka-angka tampak menyedihkan, uang yang seharusnya menjadi miliknya berkembang di perusahaan yang sekarang tidak bisa ia sentuh.
“Masih cukup untuk sementara,” gumamnya.
Ia menoleh ke arah kamar Dona. Dona sudah tertidur, memeluk boneka seperti biasa.
Regi berdiri di ambang pintu, menatap lama wajah kecil yang damai itu. “Papa akan mulai dari nol lagi,” bisiknya.
“Demi kamu.”
Setelah itu ia melangkah ke ruang tamu ya di situ sudah menunggu para body guard dan pengasuh Dona yang ia sewa kemarin, karena terjadi sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan dengan terpaksa Regi memberhentikan para pegawainya itu.
"Ini pesangon untuk kalian, maaf tidak bisa melanjutkan kerja sama ini," ucap Regi dengan wajah yang menunduk.
Beruntung para pegawai mengerti mereka tidak menuntut, hanya uang pesangon yang cukup yang saat ini mereka kantongi.
"Makasih banyak Pak Regi jika ada sesuatu lagi hubungi kami," ucap ketua body guard itu.
"Iya itu pasti," sahut Regi, yang akhirnya mulai melihat bayangan mereka yang mulai menghilang dari pandangan.
☘️☘️☘️
Di sisi lain kota tepatnya kampung Pesisir, Halik duduk di ruang kerjanya dengan layar ponsel menyala. Sebuah laporan terpampang.
Regi resmi diberhentikan tidak hormat.
Senyum tipis terukir di bibirnya. “Baru langkah pertama,” gumamnya.
Nindi berdiri gugup di samping suaminya. “Pa… Regi sudah jatuh. Untuk apa kita terus kejar?”
Halik menoleh dengan tatapan keras. “Belum cukup," katanya datar.
“Poros hidup Regi bukan perusahaan,” lanjutnya datar. “Porosnya anak itu.”
Nindi membeku, ingin berontak tapi takut kehilangan segalanya. “Kau mau merebut Dona…?”
Halik bangkit berdiri.
“Bukan merebut,” ujarnya pelan penuh bahaya. “Aku hanya akan membuat mereka berpisah dengan sendirinya," katanya kembali dengan penuh telisik.
☘️☘️☘️
Kembali ke rumah Regi, pria itu mulai menata hidupnya kembali dari nol, mungkin besok ia sudah meninggalkan tempat ini, karena ia tahu, Dona butuh tempat yang aman untuk sementara waktu ini sambil menunggu ibunya sembuh
"Besok Papa akan bawa kamu pergi dari tempat ini Nak, tempat yang sunyi tapi aman, dan semoga saja ibumu cepat sembuh dan bisa kembali berkumpul denganmu," ucapnya sambil menatap langit malam yang sedikit kelabu.
Bersambung ....
Akhirnya kelar juga setelah
Signal ilang-ilangan terus 😭😭😭😭 mau nulis dari tadi gak bisa kebuka.
Ya sudah selamat membaca dan semoga suka
pergi jauh... ke LN barangkali setelah sukses baru kembali,,tunjukkan kemampuanmu.
semangat......