Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.
Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bimbang
Setelah perjalanan selama 30 menit yang terasa singkat, Kian, Keira, George, dan Deren akhirnya tiba di kantor NWR Industries. Begitu mereka melangkah keluar dari lift, udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambut.
Mereka menarik perhatian para karyawan yang sibuk lalu lalang. Bisik-bisik kecil terdengar di sepanjang koridor, tapi tidak ada yang berani mendekat. Tatapan penuh hormat terlihat dari wajah para pekerja, yang hanya bisa menyapa dengan senyum sopan.
Tanpa membuang waktu, mereka membalas salam tersebut dengan singkat lalu segera melanjutkan langkah menuju ruang rapat di ujung lorong. Suasana gedung begitu formal dan efisien.
Setibanya di depan pintu ruang rapat, George menoleh ke arah Kian dan Keira, keduanya mengangguk ringan. Melihat persetujuan mereka, George membuka pintu ruang rapat.
Setibanya di ruang rapat, mereka melihat beberapa orang yang tampak santai namun tetap terlihat profesional. Salah satu dari mereka, seorang pria tampan dengan setelan formal yang tampak mahal, tersenyum hangat begitu melihat kedatangan Keira.
"Halo, Miss Keira," sapanya dengan nada ramah, sembari menghampiri Keira.
Keira segera menyambut pria itu dengan senyum tipis, dan mereka mulai berbicara dalam bahasa Inggris. Percakapan mereka mengalir dengan mudah, seolah sudah saling mengenal cukup lama. Thompson, pria tersebut, tampak sangat senang dengan kehadiran Keira, dan mereka terlihat akrab, mungkin sedikit terlalu akrab di mata seseorang yang mengamati dari belakang.
Kian, yang berdiri tak jauh dari sana, memperhatikan setiap gerakan mereka dengan saksama. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Bang, itu siapa sih?" tanya Kian sambil berbisik ke George, suaranya nyaris tidak terdengar di tengah suasana formal ruang rapat.
"Thompson," jawab George singkat, sambil melirik ke arah pria itu. "Dia pemegang saham terbesar kedua di perusahaan ini setelah bos Norman."
Penjelasan George tidak membuat perasaan Kian membaik. Sebaliknya, rasa panas mulai merambat di dadanya saat melihat cara Thompson berbicara dengan Keira, seolah hanya mereka berdua yang ada di ruangan itu. Kian tidak bisa mengabaikan rasa tidak nyaman yang mulai merayap di benaknya, meski dia sendiri tidak yakin mengapa.
Tanpa bisa menahan diri lebih lama, Kian melangkah mendekat. Dengan santai, dia menepuk pundak Keira.
"Kak, nggak mulai presentasinya?" ucap Kian, nada suaranya terdengar tenang namun ada sedikit nada memotong di dalamnya.
Keira sedikit terkejut dengan kehadiran Kian yang tiba-tiba di sampingnya. Dia menoleh dan menatap Kian, sementara Thompson tampak sedikit tersentak, tapi tetap menjaga senyum di wajahnya.
“Okay,” ucap Keira, mengakhiri obrolannya dan melangkah ke depan, bersiap memulai presentasi. Para investor dan pemegang saham menatapnya dengan penuh perhatian. Dengan percaya diri, Keira mulai berbicara, menyampaikan visi perusahaan dengan penekanan yang tepat.
Di tengah ruangan, Thompson menghampiri Deren yang berdiri di dekat sudut. "Deren, who is he?" tanyanya dengan sedikit rasa ingin tahu, melirik Kian yang tak jauh dari mereka.
"Keira's fiancé," jawab Deren tanpa berpikir panjang, suaranya datar namun penuh makna.
"Her fiancé, yeah..." Thompson tersenyum kecil, meski ada sedikit kekecewaan yang tampak samar di matanya. Ia kembali ke kursinya, mengamati Keira yang sedang berbicara.
Keira melanjutkan presentasinya dengan penuh keyakinan, berusaha meyakinkan para investor tentang rencana ekspansi perusahaan. Sementara itu, di sudut ruangan, Kian, George, dan Deren masih berdiri memperhatikan.
“Ian, setelah gua pikir-pikir, Keira pas mode CEO dan dewasa, jadi keliatan cantik dan seksi, ya nggak?” bisik Deren, mencoba menghidupkan suasana.
Kian langsung menoleh dengan tatapan tajam. "Jaga omongan lu, Bang, sebelum gua tonjok leher lu," ucapnya dingin, nada ancamannya tidak main-main.
"Emangnya lu siapanya Keira? Pacarnya?" tanya Deren santai, mencoba memancing lebih jauh.
Kian terdiam, sejenak terguncang oleh pertanyaan itu. Dalam pikirannya, bayangan wajah Stella tiba-tiba muncul. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan berjalan keluar dari ruang rapat, meninggalkan keheranan di wajah George dan Deren, serta mengalihkan perhatian beberapa orang di dalam ruangan.
“Gua salah ngomong ya?” gumam Deren pelan, sedikit merasa bersalah. Ia pun menyusul Kian keluar.
Keira, di tengah presentasinya, sempat melirik ke arah pintu. Ada kekhawatiran yang terpancar di wajahnya, namun ia berusaha tetap fokus pada tugasnya di depan para investor.
...
Di luar, Kian berdiri di rooftop kantor. Pemandangan kota yang luas tampak di hadapannya, namun pikirannya justru terpusat pada gejolak batin yang sulit ia pahami. Sebatang rokok terselip di bibirnya, perlahan ia menghisapnya, lalu menghembuskan asapnya dengan berat.
"Kenapa gua gini, ya?" Kian bergumam pelan, bermonolog dengan dirinya sendiri.
“Bisa gak sih gua move on dari Stella dan... pindah ke Keira?”
Deren, yang kini sudah berada di sampingnya, mengambil bungkus rokok Kian yang tergeletak di atas beton pembatas. Ia mengeluarkan satu batang, lalu menyalakannya tanpa berkata apa-apa.
“Itu bener,” sahut Deren akhirnya, setelah menghisap rokoknya.
“Tapi, Bang, di hati gua, masih ada Stella. Gua masih suka... masih cinta sama dia,” jawab Kian, mencoba menyangkal perasaannya yang baru.
“Tapi kenyataannya, lu keliatan happy-happy aja pas sama Keira. Nggak pernah tuh gua liat lu mikirin Stella selama ini,” ucap Deren, mengguncang keyakinan Kian.
Kian terdiam, kata-kata pamannya seolah menghantamnya tepat di hati. Ia merenung sejenak, mencoba memahami apa yang sebenarnya ia rasakan.
“Gak mungkin secepat itu gua move on, Bang,” ucap Kian, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Deren.
“Kenapa nggak?” Deren menantang balik. “Lu kan bukan tipe yang suka berlarut-larut dalam satu hal, Ian. Lu tau itu.”
“Tapi... masa sih?” ucap Kian, suaranya ragu, masih belum bisa mempercayai perasaan yang muncul di dalam dirinya.
“Tanya hati lu, Ian,” ucap Deren sambil mematikan rokoknya. Setelah itu, ia menepuk punggung Kian pelan, memberikan dorongan terakhir sebelum meninggalkannya berdiri sendirian di rooftop.
“Semoga lu sadar sama perasaan lu, Ian,” ucap Deren pelan saat ia melangkah pergi, meninggalkan Kian yang masih tenggelam dalam kebimbangannya.
......................
Kiandra Darmansyah
Untuk Keira, ada dua gambaran.
Versi lokal
versi Eropa
Ini hanya sedikit gambaran, tapi terserah kalian buat berimajinasi