(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata juga mental yang kuat untuk marah-marah!)
Sheila, seorang gadis culun harus rela dinikahi secara diam-diam oleh seorang dokter yang merupakan tunangan mendiang kakaknya.
Penampilannya yang culun dan kampungan membuatnya mendapat pembullyan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga menimbulkan kebencian di hatinya.
Hingga suatu hari, Sheila si gadis culun kembali untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harus Kemana?
Setelah bicara dengan dokter yang menangani anaknya, Pak Arman berdiri di depan ruang ICU, menatap anak lelakinya yang kini terbaring tak sadarkan diri melalui sebuah jendela kaca. Rayhan, anak kedua Pak Arman, mengalami kecelakaan yang membuatnya terluka cukup serius.
Seorang asistennya berjalan mendekat setelah selesai mengurus administrasi Rayhan.
"Joe, selidiki kecelakaan yang menimpa Rey. Aku curiga kecelakaan ini pelakunya sama dengan pelaku yang membuat Shanum kecelakaan dan tidak tertolong."
"Tapi, bukankah Shanum kecelakaan di tempatnya bekerja? Apa itu bukan murni kecelakaan?"
Pak Arman memejamkan matanya, lalu menghela napas. "Aku yakin anakku itu sengaja dibunuh. Dulu, mereka mencelakai Shanum. Sekarang mereka sudah tahu keberadaan Rey dan mereka berusaha mencelakainya. Aku tidak akan membiarkan ini."
"Maksudnya, Pak Herdian adalah dalang dibalik kecelakaan yang menimpa Rey?" Joe terlihat ragu-ragu bertanya.
"Aku sangat yakin itu. Aku tidak punya masalah dengan orang lain selain dengannya. Hanya dia satu-satunya orang yang memiliki kemampuan melakukan kejahatan ini. Ya, dia menginginkan Darmawan Grup. Tapi sampai mati pun tidak akan kuberikan. Darmawan Group hanya akan menjadi hak Qiandra saja. Anakku Shanum sudah mengorbankan nyawanya untuk melindungi Qiandra. Pengorbanannya tidak akan sia-sia."
"Lalu apa rencana kita sekarang," tanya Joe.
"Joe... Sampai sekarang hanya aku, Rey, dan kau yang tahu Qiandra masih hidup. Sekarang tugasmu adalah mengawasi Qiandra menggantikan Rey. Lakukan dengan sangat hati-hati. Aku tidak mau mereka curiga."
"Baik, Pak!"
Perhatian Pak Arman kembali tertuju pada Rayhan yang sedang terbaring di dalam sana. Laki-laki itu hanya dapat berdoa untuk kesembuhan anak lelakinya itu.
****
Di sisi lain, Sheila baru saja diusir dari rumah oleh ibu mertuanya sendiri. Gadis itu berjalan dengan langkah gontai sambil menyeret sebuah koper. Hingga akhirnya Sheilla tiba di sebuah halte bus. Gadis itu duduk melamun, memikirkan nasibnya di masa depan.
Tidak lama kemudian sebuah bus berhenti tepat di depan halte. Sheila pun segera naik ke bus menuju rumah lamanya. Rumah satu-satunya peninggalan mendiang ibu angkat dan kakaknya, Shanum.
Namun, saat tiba di depan pintu rumah, hendak membuka pintu itu dengan kunci, seorang pria kira-kira seusia Marchel tampak keluar dari sana. Laki-laki itu melirik Sheila dari ujung kaki sampai ujung kepala.
"Siapa kau?" tanya pria itu.
Sheila belum menjawab saking terkejutnya. Bagaimana bisa ada orang yang menghuni rumahnya tanpa izin. "Kakak siapa? Kenapa bisa masuk ke rumahku?"
Laki-laki itupun terlihat terkejut mendengar ucapan Sheila. "Apa? Rumahmu? Ini rumahku. Aku sudah membelinya dari pemilik sebelumnya."
"Tapi ini rumahku. Aku tidak pernah menjualnya." Sheila berusaha menjelaskan pada lelaki yang masih berdiri di ambang pintu itu.
"Adik kecil, beberapa Minggu lalu, pemilik rumah ini sudah menjualnya padaku. Jadi rumah ini sekarang milikku." Laki-laki itu mulai meninggikan suaranya, membuat Sheila menunduk takut.
"Tapi siapa yang menjualnya? Ibu dan kakakku sudah meninggal. Rumah ini peninggalan mereka."
Laki-laki mulai frustrasi dengan Sheila yang tak kunjung mau pergi. Akhirnya memilih masuk ke dalam rumah, meninggalkan Sheila yang masih berdiri mematung di tempatnya. Tidak butuh waktu lama, pria itu keluar kembali dengan membawa beberapa berkas.
"Ini adalah akta jual beli rumah ini. Aku membelinya dari pemilik lama," ujarnya seraya menunjukkan akta jual beli rumah itu.
Sheila masih belum percaya dengan ucapan pria itu. Ingin rasanya memaksa masuk ke dalam rumah. "Kakak beli dari siapa? Aku tidak pernah menjual rumahku. Ini rumah mendiang ibuku." Sheila mulai terisak.
"Maaf, Adik kecil! Tapi rumah ini sudah aku beli. Sekarang pergilah!" Pria yang terlihat cukup sombong itu segera meminta Sheila untuk pergi. Dan kembali masuk ke rumah dengan menutup pintunya kasar.
Tinggallah Sheila membeku di depan rumah itu. Kini, gadis polos itu tak tahu harus kemana. Sheila duduk merenung di kursi rotan yang berada di depan pintu. Tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam rumah.
"Pergilah dari sini, atau aku akan memanggil keamanan!"
Dengan segera, Sheila menarik kopernya meninggalkan rumah itu. Berjalan tanpa arah dan tujuan. Beberapa kali, Sheila berusaha menghubungi Marchel, namun tidak juga tersambung.
Beruntung Sheila masih memiliki kartu ATM yang diberikan Marchel sebelum pergi, sehingga gadis itu tidak perlu terlunta-lunta di jalan.
"Kak Marchel... Tolong aku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Ibu mengusirku dan rumahku dijual orang yang tidak kukenal. Aku harus apa sekarang," Sheila bergumam di tengah kegundahannya.
Sheila kembali mengeluarkan ponselnya, menghubungi nomor Rayhan. Namun, setelah beberapa kali mencoba, panggilan itu tak juga terhubung.
***
****
Kabupaten Sinjai, sebuah tempat terpencil di daerah pelosok pulau Sulawesi dimana Marchel sedang mengabdikan hidupnya sebagai seorang dokter.
Marchel sedang menangani beberapa pasien di sebuah rumah sakit. Dengan pakaian APD, Marchel terlihat sangat telaten merawat beberapa orang pasien.
Selama dua bulan kepergiannya, tak pernah sehari pun dilalui laki-laki itu tanpa memikirkan sang istri. Bahkan Marchel sama sekali tidak bisa menghubungi Sheila karena tidak adanya jaringan telekomunikasi di daerah pelosok itu.
Tempat itu benar-benar terisolasi dari dunia luar, akibat wabah yang melanda.
Sore itu, setelah seharian berkutat dengan pekerjaannya sebagai dokter relawan, Marchel duduk menyendiri di taman belakang rumah sakit itu. Laki-laki itu mengeluarkan ponselnya dari saku, membuka galeri dan mencari foto yang setiap hari dipandanginya saat sedang istirahat. Jauh dari Sheila ternyata membuatnya merasa tersiksa dan akhirnya menyadarkan pada perasaannya yang sebenarnya.
"Sheila... Maafkan aku. Aku akan segera kembali padamu. Dan kita akan memulai semuanya dari awal. Sekarang aku menyadari perasaanku. Willy benar. Aku sudah jatuh cinta padamu. Rasanya aku sangat merindukanmu sekarang. Tunggulah aku sebentar lagi."
Selama beberapa saat, Marchel terus memandangi foto Sheila yang diambilnya secara diam-diam. Hingga panggilan seorang anak kecil membuyarkan lamunannya.
"Kakak Dokter tolong...!" Seorang anak perempuan cantik datang memanggilnya. Marchel pun segera mendekat pada anak perempuan berusia enam tahun itu.
"Ada apa putri cantik?" tanya Marchel.
"Bu Dokter bilang ada pasien yang harus diperiksa."
Marchel tersenyum sambil mengangguk. "Baiklah, Sebentar, ya..."
***