"Menikahlah denganku, maka akan kutanggung semua kebutuhanmu!"
Karina Anastasya harus terjebak dengan keputusan pengacara keluarganya, gadis sebatang kara itu adalah pewaris tunggal aset keluarga yang sudah diamanatkan untuknya.
Karina harus menikah terlebih dahulu sebagai syarat agar semua warisannya jatuh kepadanya. Hingga pada suatu malam ia bertemu dengan Raditya Pandu, seorang Bartender sebuah club yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafafe 3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembicaraan Serius
Pandu memasuki ruangan dengan perasaan waspada, langkahnya terasa berat meski ia berusaha tetap tenang. Ruangan itu kecil tapi tertata rapi, dengan beberapa kursi kayu dan sebuah meja di tengah. Om Heru sudah duduk di balik meja, ekspresinya sulit dibaca, bukan senyum ramah yang biasa Pandu lihat, melainkan tatapan tajam yang seolah menembus jiwanya. Pandu merasa tekanan yang tak terucap di ruangan itu, namun ia tetap mencoba menjaga ketenangannya.
"Silakan duduk," kata Om Heru, suaranya datar namun mengandung perintah.
Pandu menurut, menarik kursi dan duduk dengan hati-hati, berusaha tidak menunjukkan kegelisahannya. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, Om Heru mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan dan menatap lurus ke arah Pandu.
"Jadi, apa sebenarnya yang kamu inginkan, Raditya Pandu?" suara Om Heru tiba-tiba tajam, penuh penekanan pada nama itu.
Pandu terlonjak kaget, jantungnya berdetak kencang. Nama itu, Raditya Pandu, sudah lama ia tinggalkan. Bagaimana bisa Om Heru mengetahui jati dirinya? Pikirannya berputar cepat, berusaha menemukan jawaban. Ia menatap Om Heru, matanya melebar, tapi mencoba tetap tenang meski perasaannya bergejolak.
Om Heru menatapnya tanpa berkedip, lalu menambahkan, "Kau pikir aku tidak akan menyelidikimu? Aku sudah terlalu lama dalam pekerjaan ini untuk tidak curiga. Terutama ketika sesuatu tidak terasa benar."
Pandu terdiam, tak tahu harus berkata apa. Semua rencananya yang sebelumnya terlihat sempurna kini runtuh begitu saja di hadapan Om Heru. Rahasianya, yang selama ini ia sembunyikan bahkan dari Karin, terbongkar begitu mudah.
Om Heru berdiri dan berjalan mengelilingi meja, mendekati Pandu dengan sikap yang lebih tegas. "Raditya Pandu, putra seorang pengusaha kaya yang kabur dari rumah. Ayahmu memiliki bisnis besar yang mungkin bisa membeli seluruh villa ini tanpa berkedip. Jadi, apa yang kamu inginkan dari Karin? Dari pernikahan ini? Apakah ini hanya permainan bagimu?"
Pandu menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara. Ia tahu, ini adalah momen yang menentukan. Om Heru tidak akan puas dengan jawaban setengah-setengah.
"Ini bukan permainan," akhirnya Pandu membuka mulut, suaranya pelan namun tegas. "Aku kabur dari rumah bukan karena ingin lari dari tanggung jawab. Ada banyak hal yang tidak Anda ketahui, Om. Aku meninggalkan keluargaku karena... aku ingin membangun sesuatu sendiri, tanpa bayang-bayang ayahku."
Om Heru mengangkat alisnya, tampak tidak terkesan. "Dan kamu pikir dengan menikahi Karin, semua itu akan terselesaikan?"
Pandu menggeleng cepat. "Tidak. Ini bukan soal Karin, atau harta peninggalan orang tuanya. Aku tidak mengejar itu. Pernikahan ini mungkin dimulai sebagai kesepakatan, tapi Karin... dia berarti lebih dari itu sekarang." Pandu menarik napas dalam-dalam. "Aku tahu aku telah berbohong, tapi aku benar-benar peduli padanya."
Om Heru terdiam sejenak, lalu menyilangkan lengannya di depan dada. "Kau kira aku akan percaya begitu saja? Pernikahan ini mungkin tampak sah di mata orang lain, tapi aku tahu bahwa ini hanyalah akal-akalan. Aku kenal Karin sejak dia masih kecil, dan aku tahu ketika dia mencoba menyembunyikan sesuatu."
Pandu menatap Om Heru dengan serius. "Om Heru, saya mengerti kekhawatiran Anda. Dan Anda berhak mempertanyakan niat saya. Tapi saya sungguh tidak ingin mencelakai Karin. Saya akan lakukan apa saja untuk melindunginya. Bahkan jika itu berarti saya harus pergi dari hidupnya."
Om Heru mendengarkan dengan seksama, matanya tidak lepas dari wajah Pandu. Dia bisa merasakan ada ketulusan di balik kata-kata itu, namun dia juga tidak bisa begitu saja mengabaikan kecurigaannya. "Baik, Raditya Pandu," katanya akhirnya. "Jika kau benar-benar peduli pada Karin, buktikan padaku. Lakukan pernikahan ini dengan cara yang benar. Tidak ada permainan, tidak ada kebohongan. Jika kau ingin meyakinkanku, tunjukkan bahwa kau layak untuknya."
Pandu terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Baik, Om. Saya akan membuktikan niat saya. Saya tidak akan bersembunyi lagi."
Om Heru mengangguk tipis, tapi tetap waspada. "Ingat, Pandu. Saya tidak akan ragu untuk menghentikan semua ini jika kau kembali bermain-main dengan hidup Karin. Saya akan memastikan kau tak akan pernah bisa mendekatinya lagi."
Dengan ancaman yang terselubung dalam ucapannya, Om Heru berjalan ke arah pintu, meninggalkan Pandu sendirian di ruangan itu. Pandu menghela napas panjang, menyadari bahwa jalannya ke depan akan jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan. Tapi di saat yang sama, dia tahu satu hal pasti, dia tidak bisa menyerah sekarang.
Sementara Pandu masih di dalam ruangan bersama Om Heru, Karin gelisah menunggu di luar. Ia memandang berulang kali ke arah pintu yang tertutup rapat, meremas-remas tangan di pangkuannya. Rasa penasaran dan cemas bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Sudah hampir setengah jam Pandu berada di dalam, dan tidak ada tanda-tanda perbincangan mereka akan selesai.
"Apa yang sedang mereka bicarakan?" gumam Karin dalam hati, matanya terus menatap pintu dengan tatapan tajam.
Dia tahu Om Heru tidak akan membiarkan pernikahan ini berjalan dengan mudah. Pria tua itu selalu memiliki insting tajam dalam mendeteksi kebohongan, dan Karin sudah cukup mengenalnya untuk menyadari bahwa rencana ini akan sulit untuk dijalankan tanpa kecurigaan. Terlebih lagi, Om Heru sudah lama menjadi bagian dari hidupnya, mengawasinya sejak orang tuanya meninggal. Karin merasa seperti terjebak dalam permainan catur yang sulit, dia harus berpikir beberapa langkah ke depan.
Namun, kali ini ada sesuatu yang lain. Pandu sudah menghabiskan waktu lebih lama dari yang Karin perkirakan. Biasanya, dia bisa membaca bahasa tubuh Pandu, memahami perasaannya meski tidak terucap. tapi kali ini, ada ketegangan yang Karin tidak bisa abaikan.
Sambil menggigit bibirnya, Karin mencoba menenangkan diri. "Apa Om Heru tahu sesuatu yang aku tidak tahu? Apa dia curiga? Atau... apakah Pandu mengatakan sesuatu yang bisa membahayakan kami?"
Ketidakpastian itu membuat Karin semakin tidak nyaman. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Meski ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa Pandu dapat menangani situasi ini, hati kecilnya tidak bisa mengabaikan rasa takut bahwa semua rencana mereka bisa berantakan dalam sekejap.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka. Pandu keluar dengan wajah yang tampak tenang, tapi ada ketegangan yang masih tersisa di matanya. Ia menatap Karin sejenak sebelum menghampirinya. Karin berdiri cepat, memasang senyum kecil yang dipaksakan, meski hatinya berdebar-debar.
"Bagaimana?" tanya Karin dengan suara yang lebih tenang dari perasaannya. "Apa yang kalian bicarakan?"
Pandu terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan jawabannya. Ia melirik ke arah pintu, dimana tadi mereka berbicara, lalu menatap Karin lagi. "Kita akan baik-baik saja," katanya akhirnya, meskipun ada sedikit keraguan dalam suaranya yang tak terucap. "Om Heru hanya ingin memastikan kita serius dengan keputusan ini."
Karin memiringkan kepalanya, matanya mempersempit penuh curiga. "Hanya itu? Tidak ada yang lain?"
Pandu tersenyum kecil, namun senyumnya tidak sampai ke matanya. "Ya, hanya itu. Jangan khawatir."
Namun, meskipun Pandu berusaha terlihat meyakinkan, Karin bisa merasakan ada sesuatu yang tidak dia ceritakan. Entah apa itu, tetapi firasatnya mengatakan ada sesuatu yang lebih besar terjadi di balik pembicaraan Pandu dan Om Heru.
Tetapi untuk saat ini, dia memilih untuk tidak menekan Pandu lebih jauh. Mereka sudah terlalu dalam terlibat dalam permainan ini, dan Karin tahu bahwa mereka harus tetap bersatu agar semua ini berjalan sesuai rencana. Tapi diam-diam, dia berjanji akan mencari tahu lebih lanjut, tentang apa yang sebenarnya dibicarakan di dalam ruangan itu, dan tentang siapa Pandu sebenarnya.
Sambil menarik napas panjang, Karin menautkan lengannya pada Pandu, mencoba menenangkan pikirannya. "Baiklah," katanya dengan senyum yang lebih tulus, meskipun hatinya masih penuh tanda tanya. "Ayo kita lanjutkan."
Mereka pun berjalan keluar dari gedung itu bersama, tapi di dalam benak Karin, pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab terus menghantui pikirannya.