Di malam ulang tahun suaminya yang ke tiga puluh lima, Zhea datang ke kantor Zavier untuk memberikan kejutan.
Kue di tangan. Senyum di bibir. Cinta memenuhi dadanya.
Tapi saat pintu ruangan itu terbuka perlahan, semua runtuh dalam sekejap mata.
Suaminya ... lelaki yang ia percaya dan ia cintai selama ini, sedang meniduri sekretarisnya sendiri di atas meja kerja.
Kue itu jatuh. Hati Zhea porak-poranda.
Malam itu, Zhea tak hanya kehilangan suami. Tapi kehilangan separuh dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Ruang tengah kini sudah tampak sempurna. Lampu-lampu utama diredupkan, digantikan oleh cahaya lilin-lilin kecil di atas meja panjang.
Balon dan pita berkilau memantulkan cahaya temaram, membuat suasana tampak hangat ... sekaligus misterius.
Zhea berdiri di tengah ruangan dengan gaun sederhana berwarna krem lembut. Wajahnya tenang, tapi tatapan matanya penuh perhitungan.
Tangannya menyalakan satu per satu lilin di atas kue black forest yang sudah siap di tengah meja. Aroma cokelat bercampur dengan wangi lilin yang lembut memenuhi udara.
Dari dapur terdengar suara kecil Arin dan Bi Acih yang sedang menyiapkan minuman. Zhea menoleh sekilas, memastikan mereka sibuk, lalu melangkah pelan ke arah sudut ruangan, tempat ia menaruh laptop miliknya di atas meja kecil, tersambung ke layar televisi besar di ruang tengah.
Jari-jarinya mengetik cepat, memastikan file yang ia siapkan sejak beberapa hari lalu masih tersimpan di folder yang sama:
Video_Elara-Zavier.mp4.
Ia menatap layar beberapa detik, lalu menutup laptop itu perlahan, menyembunyikan ekspresi getir yang mulai naik ke permukaan.
"Semua harus tenang malam ini," gumamnya pelan. "Nggak boleh ada yang curiga."
Ia berjalan kembali ke meja utama, menatap lilin kecil di sekeliling kue, lalu menarik napas panjang.
Dari luar, rumah tampak seperti siap menyambut kejutan ulang tahun sederhana. Tak ada yang aneh. Tak ada yang mencurigakan.
Tapi di balik senyum lembut Zhea, tersimpan badai yang menunggu waktu meledak.
Arin masuk ke ruang tengah, membawa nampan penuh gelas. "Kak, semuanya udah siap."
Zhea menoleh dan tersenyum lembut. "Iya, Rin. Sekarang tinggal nunggu Zavier pulang."
Arin bertanya, "Memangnya Kak Zavi masih di mana, Kak?"
"Sebentar lagi sampai." Ia lalu menatap jam di dinding ... jarum panjang sudah hampir di angka delapan.
Arin sibuk menata meja, sementara Zhea diam menatap kue dengan tatapan kosong.
Api kecil di atas lilin bergoyang pelan, memantulkan cahaya di matanya yang basah. "Selamat ulang tahun, Zavier ..." bisiknya pelan. "Semoga malam ini kamu benar-benar ingat siapa yang kamu sakiti."
Dari luar rumah, suara mesin mobil terdengar berhenti di halaman. Lampu depan menyala sebentar sebelum padam.
Di dalam, suasana langsung berubah ... Arin yang semula masih sibuk menata meja segera berlari kecil ke arah Zhea.
"Kak! Itu pasti Kak Zavi!" bisiknya antusias.
Zhea mengangguk pelan, menahan detak jantungnya yang tiba-tiba berdegup keras. "Matikan dulu lampunya, Rin," ucapnya tenang tapi tegas.
Arin menuruti tanpa curiga. Dalam sekejap, ruang tengah hanya diterangi cahaya lilin di atas meja dan lampu gantung kecil yang lembut.
Dari dapur, Bi Acih menengok sebentar, sementara Rindu dan Soni yang baru turun dari lantai dua membawa Zheza yang ikut bersemangat.
"Wah, pas banget waktunya!" seru Rindu dengan wajah berseri. "Ayo semua siap, ya. Begitu pintu dibuka, kita nyanyi bareng."
Arin terkikik kecil. "Kak Zhea, nanti aku yang nyalain musiknya, ya."
Zhea mengangguk, meski pikirannya melayang jauh. Di luar, suara langkah kaki mulai terdengar mendekat. Dua bayangan tampak di balik kaca pintu ... satu tinggi tegap, satu ramping dan berambut panjang.
Sekilas, Zhea bisa melihat siluet Elara berjalan di sisi Zavier. Dadanya terasa sesak. Tapi ia cepat mengatur napas, menegakkan bahu, dan menatap lurus ke depan. Ekspresinya datar ... nyaris sempurna.
Pintu depan terbuka perlahan.
Seketika, ruangan yang remang diselimuti cahaya lilin berubah riuh oleh suara nyanyian.
"Happy birthday to you ..."
"Happy birthday to you ..."
Rindu dan Soni bersuara paling keras, sementara Arin menyalakan musik pelan. Zheza menggeliat kecil di gendongan neneknya, sementara Zhea berdiri di depan meja, menatap Zavier dengan senyum lembut ... senyum yang bagi siapa pun tampak tulus, tapi sesungguhnya getir dan penuh luka.
Zavier berhenti di ambang pintu penghubung antara ruang tengah dan ruang tamu, tertegun melihat dekorasi dan keluarganya yang sudah berkumpul. "Ya Tuhan ... kalian ..." katanya dengan nada tak percaya.
"Selamat ulang tahun, suamiku!" Zhea maju, mendekatkan kue ulang tahun yang dibawanya ke depan wajah sang suami.
Elara, yang berdiri di samping Zavier nampak melongo, tersenyum kikuk. "Ah, jadi ini alasan Zhea mengundangku makan malam di rumahnya. Ternyata merayakan ulang tahun Zavier, ya?" batin Elara berbisik. Ia menatap sekeliling, lalu pada Zhea. "Selamat malam ... Bu Zhea," ucapnya pelan, berusaha sopan.
Zhea membalas dengan anggukan kecil dan senyum tipis. "Selamat malam juga, Elara." Nada suaranya hangat, tapi matanya tajam.
Arin berseru ceria, "Ayo, Kak! Tiup lilinnya! Kak Zhea udah bikin kue spesial ini buat Kakak!"
Zavier tersenyum samar, menundukkan wajahnya untuk meniup lilin.
Semua mata tertuju pada Zavier yang kini berdiri di depan kue. Api kecil di atas kue black forest bergoyang lembut, memantulkan cahaya ke wajah semua orang di ruangan itu.
Rindu tersenyum lebar sambil menggendong Zheza. "Ayo, Nak, tiup lilinnya! Mama doain semoga kamu panjang umur dan makin sayang sama keluarga."
Zavier menatap sekeliling ... Arin, kedua orang tuanya, Bi Acih, dan tentu saja Zhea yang memegang kue dengan senyum lembut di wajahnya. Senyum yang ... entah kenapa terasa berbeda malam ini. Matanya juga melihat putri kecilnya yang ada digendongan sang mama, bayi cantik itu menatapnya dengan mata bening. Lalu Zavier melirik Elara sekilas yang nampak berdiri kikuk. "Baiklah," katanya sambil tersenyum.
"Tiup, Kak!" seru Arin riang.
Dalam satu embusan, api di atas lilin padam. Tepuk tangan langsung memenuhi ruangan. "Selamat ulang tahun yang ke tiga puluh lima, Mas," ucap Zhea pelan setelah menyimpan kue di atas meja.
Semua orang memperhatikan ketika Zhea meraih tangan Zavier, lalu memeluknya dengan lembut. Bahkan, ia mencondongkan wajah dan mencium pipi suaminya pelan lalu turun ke bibir. "Terima kasih udah jadi bagian hidup aku selama ini," katanya dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan.
Zavier terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil, menatap istrinya dengan campuran haru dan rasa bersalah yang muncul tiba-tiba dan tak terucap. "Makasih kejutannya, sayang."
Rindu menatap mereka dengan mata berbinar, penuh rasa bangga. "Romantisnya. Kalian harus selalu mesra ya."
Arin tertawa kecil sambil bertepuk tangan. "Selamat tahun, Kakakku." Dia lompat dan memeluk Zavier, disusul Soni.
Zavier pun menimang Zheza sebentar, sambil menciumi pipi gembul putrinya itu.
Sementara Elara berdiri agak jauh di sisi meja, dengan senyum kaku. Matanya menatap Zhea dan Zavier tanpa berkedip.
Cemburu yang mendidih di dadanya nyaris tak bisa disembunyikan. Tangannya yang menggenggam tas kecil perlahan mengepal.
Zhea tahu. Ia bisa merasakan tatapan itu menembus punggungnya. Tapi ia tetap tersenyum, tetap memeluk Zavier, bahkan menatap mata suaminya dengan tatapan yang lembut, namun menyakitkan.
Dalam hati, Zhea berbisik lirih. "Nikmati pelukan ini, Zavier. Ini yang terakhir sebelum semuanya berubah."
_____
Meja makan malam itu terlihat indah ... terisi penuh dengan hidangan yang ditata rapi: ayam panggang madu, salad segar, sup krim hangat, dan nasi putih yang masih mengepul. Di tengahnya, kue black forest berdiri megah, dengan lilin yang sudah padam tapi masih meninggalkan aroma manis.
Zhea duduk di sisi kanan Zavier, sementara Rindu dan Soni duduk berseberangan bersama Arin. Elara mendapat tempat di ujung meja, duduk agak canggung, sesekali menunduk saat Rindu atau Soni menatapnya.
Rindu tersenyum lebar. "Zhea, ini semua kamu yang masak? Aduh, Mama kangen banget sama masakan kamu. Harumnya aja udah bikin lapar."
Zhea tersenyum sopan. "Iya, Ma. Biar malam ini terasa istimewa. Sekalian syukuran karena Mama dan Papa udah pulang dari Belanda."
Soni mengangguk puas. "Wah, pinter banget menantu Papa satu ini. Udah cantik, pinter masak lagi."
Ucapan itu membuat Arin tertawa kecil. "Iya dong, Pa. Kak Zhea tuh standar istri idaman! Dia bukan hanya cantik rupa, tapi cantik hati juga."
Zhea tersenyum samar, menatap sepintas ke arah Zavier yang sejak tadi hanya memainkan sendok di tangan. "Mas, ayo makan. Udah aku siapin semua yang kamu suka," ucapnya lembut, menatapnya dengan cara yang membuat Zavier merasa ... sedikit bersalah.
Elara yang duduk di ujung meja memandangi adegan itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Wajahnya tetap tersenyum, tapi jarinya mengetuk pelan sisi gelasnya ... gelisah.
Ia tak pernah membayangkan akan duduk semeja dengan istri lelaki yang diam-diam ia cintai. Dan menyaksikan kemesraan Zavier dan Zhea.
"Eh, Elara, ayo ambil lauknya. Jangan malu-malu," titah Rindu.
Elara menegakkan tubuhnya, berusaha menjaga nada suaranya agar tetap sopan. "Iya, Bu."
"Terima kasih ya, Elara. Zavier bilang ... kalau kamu adalah sekretaris yang bisa diandalkan. Rajin dan selalu membantu meringankan semua pekerjaannya," timpal Soni ramah.
Zhea tersenyum tipis mendengar perkataan papa mertuanya. "Iya, Pa. Elara memang orang yang sangat setia membantu Mas Zavier. Siang, malam ... selalu siap." Nada suaranya lembut, tapi di balik kalimat itu ada makna yang tajam seperti pisau halus.
Zavier menatap Zhea cepat, sedikit kaget dengan intonasi halus namun menusuk itu.
Tapi Zhea tetap tersenyum lembut sambil menyuapkan sedikit makanan ke mulutnya.
Suasana makan malam berlanjut dalam obrolan ringan ... tentang perjalanan Rindu dan Soni di Belanda, tentang perkembangan kecil Zheza yang kini mulai bisa tengkurap. Dan tentang proyek kantor.
Sesekali tawa terdengar.
Namun di antara tawa-tawa itu, ada tiga hati yang berdetak tak tenang.
Zhea menunggu waktu yang tepat untuk mengungkap kebenaran.
Zavier merasa sesuatu yang tak beres mulai mengintai dari balik senyum istrinya.
Elara berusaha keras menutupi cemburu yang mulai meledak di dadanya setiap kali Zhea memanggil Zavier dengan lembut.
Di tengah meja, tiga lilin kecil masih menyala. Api mungil itu bergoyang pelan, seakan tahu ... sebentar lagi, cahaya hangat itu akan berubah menjadi bara.
memang cocok mereka berdua sama-sama iblis
gimana yah reaksi zavier kalau lihat El lagi kuda" sama laki laki lain
seperti istrimu yg melihat mu pasti booom like nuklir