Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gosip Dua Desainer
Setelah keributan di meja resepsionis mereda dan rasa lega mulai menyelimuti mereka, Billy segera bergerak cepat untuk mengurus transfer yang diminta Pak CEO. Dengan hati-hati, ia mencatat nomor rekening pemilik mini bank tersebut. Sementara itu, Mira yang masih berdiri di dekat meja resepsionis, menawarkan bantuan.
“Pak CEO, untuk saat ini saya bisa membantu mengatur pinjaman sementara dari dana pribadi, mengingat situasi ini sangat mendesak, bagaimana Pak?” kata Mira dengan santai, menegaskan bahwa ia adalah teman dekat Pak CEO.
Pak CEO di ujung telepon terdengar lebih tenang sekarang, meski masih sedikit terdengar ketegangan dalam suaranya. “Baiklah terserah kamu Mir, terima kasih! Saya sangat menghargai bantuanmu.”
“Dan kalau ada kebutuhan mendesak lain, tolong jangan sungkan untuk menghubungi saya.”
“Jangan khawatir, saya akan menghubungimu jika diperlukan.”
Di saat yang sama, dua orang karyawati dari divisi desain kreatif—Sania dan Ayesha—berjalan melewati lobi setelah baru saja kembali dari suatu keperluan di luar kantor.
Sania, dengan rambut cokelat panjangnya yang tergerai, dan Ayesha, yang selalu membanggakan namanya yang modern dan urban, sedang asyik membahas sesuatu sambil berjalan menuju ruangan mereka.
“Aku tidak habis pikir,” kata Ayesha dengan nada setengah berbisik namun tetap jelas terdengar, “Bagaimana Bu Mira bisa meloloskan kandidat-kandidat aneh untuk divisi marketing? Padahal kita tahu, standar di perusahaan ini sangat ketat. Ghea pasti tidak suka dengan cara Bu Mira bekerja.”
Ayesha yang selalu merasa paling berhak mengomentari setiap hal dan tak mau toleran soal penampilan tampak tak suka dengan situasi perekrutan pegawai yang sedang terjadi.
“Aneh? Aneh gimana? Menurutku sih sah-sah saja selama memiliki keahlian yang memadai, apalagi kalau di atas rata-rata. Selain itu, bukankah kamu tahu, Bu Mira itu bagaikan sosok ratu di sini? Peran beliau di perusahaan ini, apalagi sebagai kepala divisi marketing, sudah tidak diragukan lagi. Dan dia itu teman lama Pak CEO, inget kan? Jadi ya, dia sudah berkuasa banget.”
Ayesha mengangguk setuju, sambil melempar senyum sinis. “Iya, aku tahu. Untungnya orangnya baik dan tidak sombong. Tapi kadang-kadang keputusannya itu benar-benar membuat aku bertanya-tanya, apa tidak ada cara yang lebih baik?”
Sania tertawa kecil, “Itulah kenyataannya. Mau bagaimana lagi, dia punya hubungan dekat dengan Pak CEO, kita tidak bisa berbuat banyak. Kita cuma bisa berdoa semoga calon-calon yang dia pilih itu kalau nanti ada yang keterima, bisa membuat perusahaan kita semakin maju dan berkembang.”
Saat mereka sudah cukup dekat ke pintu lift, mereka berdua tiba-tiba berhenti sejenak, memperhatikan dari jauh Mira dan Ghea yang masih berada di dekat meja resepsionis. Sania berbisik lagi, kali ini dengan nada yang lebih dramatis :
“Lihat tuh, bagaimana Bu Mira bicara dengan Pak CEO lewat telepon. Aku yakin banget, kalau bukan karena kedekatan mereka, dia tidak akan punya pengaruh sebesar ini.”
Ayesha hanya mengangguk, setuju dengan setiap kata yang keluar dari mulut Sania. “Iya sih," sahut Ayesha sambil menghembuskan napas. "Di sini, hubungan personal sepertinya lebih penting daripada apapun. Ya sudah lah, meski aku masih khawatir sih dengan reputasi perusahaan kita ke depannya," lanjut Ayesha.
Ayesha melangkah ke dalam lift. "Kita kerja aja lagi yuk. Sekarang yang penting kita selesaikan pekerjaan kita di divisi desain kreatif dengan baik.”
"Setuju," sahut Sania sambil memijit angka tiga. Divisi mereka ada di lantai tiga.
Tiba di lantai tiga, mereka pun melanjutkan langkah menuju ruangan divisi desain kreatif, tempat mereka biasa merancang desain sepatu, tas, dompet, dan produk-produk kulit lainnya. Hari ini, mereka baru saja kembali dari sebuah pertemuan dengan salah satu supplier bahan kulit yang cukup terkenal di Jakarta.
Sesampainya di ruangan mereka, Sania membuka percakapan baru, “Oh ya, Ayesha, kamu tahu kan kalau bulan depan kita harus siap-siap presentasi desain terbaru kita? Aku dengar Pak CEO bakal hadir langsung di rapat itu. Aku harap kita bisa bikin sesuatu yang benar-benar mengesankan.”
Ayesha hanya tersenyum penuh percaya diri. “Tenang saja, Sania. Kali ini, nama kita bakal jadi yang teratas di sini. Desain kita kali ini pasti membuat Pak CEO terkesan, asal saja Bu Mira tidak tiba-tiba mengintervensi dengan ide-ide anehnya.”
Mereka pun tertawa bersama, menikmati momen gosip ringan itu sebelum kembali tenggelam dalam pekerjaan mereka di ruangan itu, yakni sebuah ruangan yang dipenuhi dengan berbagai macam bahan, mulai dari kain, kulit, hingga contoh-contoh produk sepatu yang tengah mereka kerjakan. Di tengah ruangan itu terdapat sebuah meja besar yang selalu dipenuhi dengan sketsa desain terbaru.
"Tapi kita jangan kepedean dulu. Bagaimana kalau desain kita kalah lagi oleh mereka?" bisik Sania sambil melirik ke sekat ruang sebelah, tempat tim lain di divisi desain kreatif yang diisi tiga orang desainer saingan mereka, yakni Tiara, Desi dan Seno.
Ayesha melirik, "Iya sih, huuuh... mereka memang selalu unggul. Selalu jadi nomor satu di depan Pak CEO. Kapan kita bisa mengungguli mereka ya?" kata Ayesha.
"Itu yang aku takutkan Sa. Apalagi kalau mereka mulai mengejek desain kita... sebel sekali rasanya," timpal Sania.
Ayesha menghembuskan napas, "Kita harus terus berusaha San. Jangan mau lagi dikalahkan mereka, apalagi sampai diejek mereka lagi," kata Ayesha sambil beralih ke cermin di depannya.
"Setuju, kita harus terus berusaha,"
Sania menyangga dagunya di atas meja lalu menoleh ke arah Ayesha, yang sedang merapikan rambutnya di depan sebuah cermin oval di atas meja kerjanya. Ayesha selalu memastikan penampilannya sempurna, dari rambut hingga pakaian, semuanya selalu stylish dan up-to-date dengan tren fashion terkini.
“Eh, Ayesha,” kata Sania dengan nada menggoda, “Kamu kan punya nama keren. Gimana kalau ternyata di antara kandidat-kandidat Bu Mira yang kamu sebut aneh itu ada yang namanya lebih keren daripada nama kamu?”
Ayesha berhenti sejenak, kemudian tertawa kecil sebelum menjawab, “Kalau ada yang namanya lebih keren dari aku, ya nggak masalah. Mungkin aku malah akan berkenalan sama dia. Aku yakin, namanya pasti sesuai dengan penampilannya juga, mungkin lebih keren daripada aku.”
Sania tersenyum jahil. “Iya, aku ngerti, kamu kan selalu bangga sama nama kamu yang modern itu. Tapi gimana kalau ternyata penampilannya nggak sesuai dengan namanya?”
Ayesha mengangkat alisnya dengan gaya dramatis, seperti aktris yang sedang melakukan adegan penting. “Yah, kalau begitu sih, mungkin aku malah akan kasihan sama dia. Soalnya, nama keren itu harus didukung dengan penampilan yang keren juga, biar lengkap.”
Sania tertawa mendengar jawaban Ayesha. “Dasar kamu, selalu soal penampilan. Tapi kalau aku sih, yang penting orangnya asyik dan punya kemampuan mumpuni. Nama dan penampilan cuma bonus.”
Ayesha menoleh sambil tersenyum lebar. “Sania, kamu itu baik banget sih. Aku juga suka kok kalau orangnya asyik dan kreatif, tapi aku kan kerja di bidang kreatif juga. Jadi, buat aku, nama dan penampilan itu salah satu bagian dari branding diri. Kalau kamu punya nama keren, penampilan keren, dan kemampuan cemerlang, itu sudah paket lengkap!”
Sania mengangguk-angguk setuju. “Benar juga, ya. Tapi kalau kita ngomongin Bu Mira tadi, kamu serius nggak suka sama cara dia pilih kandidat?”
Ayesha menghela napas dan berkata, “Bukan nggak suka, lebih ke arah khawatir. Kita semua tahu, Bu Mira itu orangnya baik, tapi kadang-kadang pilihannya itu agak di luar dugaan. Mungkin karena dia punya pengalaman lebih, atau mungkin karena dia melihat sesuatu yang kita nggak lihat. Tapi tetap aja, sebagai orang yang kerja di divisi ini, aku selalu berharap semua keputusan itu mempertimbangkan semua aspek, termasuk penampilan dan kesesuaian dengan budaya perusahaan.”
Sania mengangguk, mencoba memahami pandangan Ayesha. “Ya, kita lihat saja nanti. Siapa tahu, kandidat yang menurutmu aneh-aneh itu justru punya potensi besar.”
Ayesha tersenyum penuh keyakinan. “Kalau begitu, aku harap mereka bisa membuktikan bahwa penampilan pertama itu bisa menipu. Tapi, kalau ternyata nggak cocok, yah... kita sudah tahu siapa yang harus kita salahkan, kan?”
Sania hanya tertawa pelan sambil melanjutkan pekerjaannya. Ayesha juga kembali fokus pada desain-desain yang ada di hadapannya. Meski obrolan mereka terdengar ringan dan penuh canda, ada kesadaran bahwa di dunia kerja, terutama di bidang kreatif, nama, penampilan, dan kinerja sering kali menjadi tolok ukur yang saling terkait, dan keputusan-keputusan yang dibuat akan selalu menjadi bahan pembicaraan.
Namun, satu hal yang jelas, mereka berdua akan selalu ada untuk saling mendukung, meski dengan cara pandang yang berbeda.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.