Wijaya Kusuma adalah putra kepala desa dari sebuah desa terpencil di pegunungan, dia harus menggantikan posisi ayahnya yang meninggal dunia sebelum masa jabatannya selesai. Sesuai dengan peraturan adat, anak lelaki harus meneruskan jabatan orang tuanya yang belum selesai hingga akhir masa jabatan.
Masih muda dan belum berpengalaman, Wijaya Kusuma dihadapkan pada tantangan besar untuk menegakkan banyak peraturan desa dan menjaga kehidupan penduduk agar tetap setia pada adat istiadat para leluhur. Apakah Wijaya Kusuma mampu menjalankan amanah ini dan memimpin desanya dengan bijaksana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minchio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gadis-gadis kota
Pagi itu cuaca cerah, matahari sudah bersinar dengan terang. Wijaya Kusuma bangun terlambat karena semalam dia tidak bisa tidur memikirkan tentang kematian bapaknya dan juga keberadaan candi berisi harta karun.
Suara burung berkicauan dari arah luar jendela kamarnya, Wijaya masih dalam keadaan mengantuk, dia membuka pelan matanya lalu memejamkan mata lagi menikmati rasa kantuk yang masih mencengkram tubuhnya.
Tiba-tiba Wijaya teringat sesuatu, dia lalu bangun dan berlari ke arah belakang rumah untuk mandi. Setelah mandi, Wijaya berlari lagi ke kamar mencari pakaian bersih.
"Semalam kamu pergi kemana?" tanya ibu.
"Ngobrol dengan Ki Dayat. Saya pamit dulu ya bu," Wijaya mencium tangan ibunya, dia terlihat sangat buru-buru.
"Sarapan dulu atuh!" teriak ibunya menatap Wijaya cemas.
Wijaya berlari ke rumah pasangan lansia yang memiliki kebun anggur, dia sudah berjanji akan membantu mereka panen anggur. Di belokan jalan, Ajat sudah menunggunya dengan kesal.
"Eleuh-eleuh Pak Kepala Desa, jam berapa ini teh! Lihat tuh matahari sudah terang begini!"
"Memang ini jam berapa? Kan di desa kita tidak ada jam, Jat!" balas Wijaya, keduanya lalu berjalan bersama menuju tempat yang dituju.
"Bercanda Kang, saya juga gak tahu jam berapa. Tapi tumben Akang telat?"
"Iya, semalam saya ngobrol dengan Ki Dayat."
"Ngobrolin apa Kang? Jangan-jangan bahas kematian Pak Rama Wijaya?" tanya Ajat cemas.
"Iya, tenang aja. Saya gak bawa-bawa kamu Jat," ungkap Wijaya.
Saat Wijaya dan Ajat berjalan sambil mengobrol, dari arah depan seorang warga berlari menghampiri Wijaya Kusuma dengan wajah panik dan ketakutan.
"Ada apa pak?" tanya Wijaya heran.
"Itu, di gerbang desa ada segerombol perempuan dari kota, katanya nyari Kang Wijaya Kusuma. Aduh gimana ini Kang!"
"Hah siapa mereka?" tanya Ajat.
"Jat, kamu duluan saja dan sampaikan salamku pada mereka," Wijaya menepuk pundak Ajat.
"Oke, kalau sudah beres urusannya segera kesana ya, Kang?" kata Ajat setuju, Wijaya mengangguk mengiyakan.
Wijaya lalu pergi ke pintu masuk desa. Dari kejauhan, sudah terlihat segerombol wanita yang menunggu disana, mereka terlihat ceria dan penuh rasa ingin tahu.
Kehadiran sekumpulan gadis kota itu juga menarik perhatian warga, namun para warga enggan untuk bertanya-tanya. Mereka menunggu Wijaya Kusuma, Kepala Desa Talaga Seungit datang.
"Wah itu! Itu!" teriak salah seorang gadis, menunjuk Wijaya. Seketika, semuanya menatap ke arah Wijaya Kusuma sambil mengarahkan kamera ponselnya.
"Maaf kalian dari mana dan ada urusan apa di sini?" tanya Wijaya Kusuma.
"Kita mau ketemu Akang, iya kan girls?"
"Iya!!!" teriak mereka kencang.
"Kalian tahu dari mana desa ini?"
"Dari Tictac!" jawab mereka serentak.
"Wah, Aa lebih ganteng aslinya ya di banding yang di rekaman wawancara itu," puji seorang gadis.
Ternyata dari kejauhan, Ningsih berteriak. Dia datang menyusul gerombolan gadis kota itu.
"Hei, kalian!" teriakan Ningsih, membuat semua gadis kota menoleh ke arah belakang.
Ningsih cemburu dengan kebersamaan Wijaya Kusuma dan gadis-gadis itu, ia merasa khawatir salah sati gadis itu akan menjadi pacarnya Wijaya, Ningsih benar-benar pencemburu meskipun cintanya tak pernah disambut oleh Wijaya.
"Ini desa adat, tidak ada tempat untuk kalian bersenang-senang disini, cepat pulang!" tegas Ningsih dengan tatapan kesal, berusaha mengusir mereka.
"Lho, anda ini siapa sih, ngatur-ngatur kami," jawab seorang gadis ketus.
"Viralkan geng!" tegas yang lain, semua kamera lalu tertuju ke arah Ningsih.
Ningsih tidak terima, dia tiba-tiba merebut salah satu ponsel itu dan dia lempar ke semak-semak.
Wijaya berusaha menghentikan amarah Ningsih, ia berbicara dengan tenang, "Ningsih, hentikan. Mereka adalah tamu yang harus kita hargai kedatangannya."
"Tapi mereka sangat menganggu! Apa lo! Mau viralin gue? Rekam sini! Aku gak takut viral ya! Kalian kesini cuma pengen ngeliat ketampanan Aa Wijaya Kusuma kan! Cih!" Ningsih tiba-tiba mengeluarkan ponsel dan merekam balik mereka.
"Teman-teman jadi ini dia pelaku keributan di desa adat, nih muka-mukanya tandai ya! Mereka datang menganggu Kepala Desa yang sibuk dengan urusannya," sindir Ningsih.
"Eh, elo cewek kampung! Tanggung jawab ya ponsel gue jadi hilang!" tegas seseorang sambil melotot menatap Ningsih.