NovelToon NovelToon
Between Blood, Sin, And Sacrifice

Between Blood, Sin, And Sacrifice

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Reinkarnasi / Balas Dendam / Time Travel / Dunia Lain
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Carolline Fenita

Mengira bahwa Evan–suaminya hendak membunuhnya, Rose memilih menyerang pria tersebut. Tanpa tahu bahwa Evan berupaya melindungi Rose biarpun tahu bahwa dirinya akan meninggal di tangan istrinya sendiri.

Penyesalan selalu datang belakangan, namun hadir kesempatan untuk memperbaiki garis nasib yang mengikatnya dalam bayangan cinta dan dendam. Rose kembali mengulangi kehidupannya, satu demi satu disadarkan dengan bunga tidur misterius.

Mempraktekkan intrik dan ancaman, menemukan pesona sihir untuk memutus tali asmara yang kusut antara Rose dan Evan yang menjadi suaminya di kehidupan lama dan sekarang. Apakah ia akan berhasil membalik takbir yang telah ditentukan oleh Dewa, atau malah gagal melakukannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8 - Little Mouse

"Jadi anda tidak tahu sama sekali siapa yang membawamu, dan kenapa kau bisa berakhir di gudang kediaman kami. Lelucon apa yang kau mainkan?" Duke Cornwall 'menampar' wajah mantan pelamar adiknya dengan hardikan.

Marquess Andrient menggerakkan kepalanya ke samping kanan dan kiri pertanda bahwa ia tidak membenarkan perkataan Duke Andro. "Aku bahkan tidak tahu apa-apa, saat itu aku sedang keluar di malam hari. Entah apa yang terjadi sehingga aku terbangun disini."

Kesan yang awalnya sudah buram semakin bertambah pelik. Count Arthur menganalisis dalam diam tatkala setiap hal buruk keluar dari bibir Andrient dan Andromeda. "Apakah kalian ingin beradu ucapan hingga ayam berkokok lagi?" Sentil pria paruh baya itu.

Derap langkah kaki dan obrolan yang bersahutan muncul dari arah pintu masuk. Marquess Drevan hanya mengucapkan salam singkat lalu mencari kamar Evelyn segera. Bersama tabib Zen, Marquess Drevan mengoleskan hasil rebusan yang telah dibuat sebanyak 4 kali pengulangan.

"Maaf nyonya, untuk lecet dan lebam di wajah dapat diobati dengan larutan ini. Namun tiga goresan panjang yang melintang di wajahnya belum tentu dapat disembuhkan," tutur tabib sambil melihat cara Marquess Drevan yang mengoleskannya ke pipi Eve.

Sebaliknya, pria bermata hijau gelap tersebut memfokuskan dirinya untuk mencontohkan cara yang tepat. Jika dilakukan dengan asal, luka itu akan sulit ditangani.

Countess Brenda dan Rose menggangguk, di sisi lain Marquess Drevan berdiri tegak. "Nyonya dan nona, mari ikut saya dahulu. Ada yang ingin kutanyakan. Bawa obat yang ditumbuk oleh tabib di hari lalu juga."

Pertama tama, ia harus memeriksa ramuan apa yang diberikan tabib itu. Ketika indra pendengaran dan perasaannya diaktifkan guna mengidentifikasi bahannya, Marquess Drevan mengulurkan tangannya dan memeriksa ulang bubuk di hadapannya.

"Bubuk ini padukan dengan jahe merah, dingin di tubuhnya akan menghilang dengan mudah," saran Marquess Drevan, tampaknya tabib itu lalai menambahkan penghangat tubuh. Sebelum itu, ia juga memperingatkan kedua perempuan itu agar berkonsultasi dengan tabib kepercayaan Zen.

Menyadari bahwa masalah pengobatan Eve sudah tidak perlu ia tangani lagi, pria jangkung itu mendatangi tempat duduk perkara ketiga pria tersebut. Memasuki ruang tamu, Marquess Drevan datang menyela pembicaraan mereka.

"Andrient, bagaimanapun dia seorang perempuan. Mau tidak mau kau harus bertanggung jawab bukan?"

Marquess Drevan telah memikirkannya selama dalam perjalanan. Adiknya tak dapat melarikan diri dari tanggung jawab walaupun benar bukan ia pelakunya.

"Ya, aku akan melakukannya apapun kondisinya. Adapun kita tetap harus melihat persetujuan dari Eve terlebih dahulu," jawab adiknya.

Marquess Drevan melihat ke Duke Cornwall dan Count Arthur, kantung mata gelap milik mereka memperjelas semuanya. Pasti belum ditemukan jalan keluar. "Untuk sementara, kami akan kembali ke kediaman. Adikku tidak akan kabur dari masalah ini, aku menjaminnya atas namaku sendiri."

*****

"Tidak kuduga bocah itu lumayan idiot, heh.."

Pangeran Kedua melemparkan sesuatu ke dalam perapian, api berkobar semakin besar. Perlahan-lahan bara itu meredup dan mati, meninggalkan sisa hangat yang tidak berarti. Tulang belulang yang dibakarnya berubah menjadi abu hitam.

"Apakah dia membunuh lagi?" Seorang pelayan perempuan berbisik kecil pada temannya. Namun sekecil apapun suaranya, ucapannya tetap terdengar oleh pendengaran Pangeran Kedua yang sensitif.

"Hmm..? Seekor tikus kecil penasaran?" Ucapan itu membuat bisik bisik lain teredam.

Sang Pangeran berdiri, mendekati pelayan itu. Dia bergetar hebat. "Kenapa begitu takut? Bukankah kau tadi penasaran?" pancingnya. Ketika melihat pelayan itu tidak meresponnya, Crethel memutar tubuhnya.

"Kalian yang berada di sini, jangan sampai aku melihat kejadian ini terulang lagi. Buang abu Wallace ke luar," ungkapnya lantang dan berbalik masuk ke kamar.

Sejumlah pelayan wanita membawa sisa pembakaran tersebut. Aktivitas mereka sempat terhenti kala wanita dewasa dengan gaun silk bersulur hitam memasuki kediaman anaknya sendiri. Alas kakinya beradu dengan lantai marmer. Tanpa pemberitahuan, ia masuk seenaknya ke dalam ruang privasi Crethel.

Chrysant Vollerei, ibu dari Crethel. Melipat lengannya di dada.

"Apa yang kau perbuat, kaisar akan mencurigaimu. Belum seminggu sudah 2 orang yang kau bunuh, gegabah."

Crethel mengangkat matanya malas, melirik kehadiran ibunya. Kemudian menghela nafas, "Tidak akan, aku sudah menyiapkan alasan dan buktinya. Charlie karena melakukan suap, pantas dihukum. Sedangkan Wallace berniat melakukan pembunuhan berencana," argu Crethel. Ujung bibirnya terangkat ke atas.

"Ya," balas Chrysant Vollerei dengan bibir meringkuk.

Tap, tap, tap...

Langkah berirama itu memancarkan aura mendominasi. Sarung tangan dilepas, menampakkan tangan seputih susu itu. Kukunya mengarah ke dagu Crethel, manik gelapnya menantang.

"Jaga langkahmu sebaik mungkin."

Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Sayangnya idiom ini tidak berlaku bagi Pangeran Kedua, buktinya ia masih aman saja sampai saat ini. Berapa kali ia terjun ke jebakan, hanya memastikan pangeran dan seisi harem kekaisaran tidak memikirkannya sama sekali.

Demi ibunya, ia rela mengorbankan dirinya. Ambisi terlihat jelas di mata wanita yang telah membesarkannya hampir 20 tahun lebih. Sebelum tulang dan dagingnya digerogoti, tidak akan ia tunjukkan rasa perhatian itu.

"Ibu tidak menyukai kesalahan kecil, terutama darimu." Nafasnya dingin, seolah mengerti, Crethel tersenyum congkak.

"Apapun untuk ibu."

Dengusan terdengar, kuku itu menjauh dari wajah anak semata wayangnya. Kemudian wanita itu berkeliling sesaat. Sebelum mengelus debu bercampur darah di tepi almari.

"Katakan pada mereka, bersihkan seluruh ruangan ini. Jangan biarkan setitik nila membelanga." Pintu menutup. Sosok wanita itu menghilang ditelan kegelapan. Meninggalkan Crethel yang memutar kuas dengan santai.

Crethel sudah dididik sedari kecil untuk berani menyingkirkan lawannya, siapa dan darimana pun asalnya. Kesempurnaan nomor satu. Akan tetapi, didikan tersebut membuatnya menyimpan kepribadian melenceng. Ibunya tidak tahu yang mana yang merupakan sifat asli anaknya, yang ia pedulikan hanyalah merebut kekuasaan.

Satu hal yang ia perlukan agar rencananya berjalan dengan lancar, yaitu kepercayaan dan insting dari ibunya. Tanpa itu, Crethel tidak lagi memiliki tujuan. Pangeran licik itu menyembunyikan kelemahannya dengan baik.

Crethel bersandar di kursi, memejamkan matanya. Kilasan ingatan dan rencana bercampur aduk menjadi satu kesatuan.

Sigh...

Merasakan kehadiran pengawal bayangannya. Crethel melontarkan perintah. "Berbicaralah."

"Kediaman Zen mengalami keributan selama 5 hari terakhir. Dari mata mata kita, dikabarkan bahwa kakak beradik Moonstone baru saja pergi dari sana. Selanjutnya apa yang dilakukan tuan?" terkanya tanpa basa basi. Crethel kembali membuka kelopak matanya, sekelumit nafsu tercitra dari sana. "Duduk diam, menyaksikan kekacauan."

Pangeran Kedua telah menetapkan sasarannya, kediaman Zen dan Moonstone. Bidak yang bagus untuk memancing serigala keluar dari kandang. Jantungnya berdetak pelan, nafasnya berjalan teratur, dengan satu tangan lelaki itu mengisap tembakau lagi.

'Aroma ini mengingatkanku pada wanita nakal itu, sayang sekali.. ia tidak dapat kusentuh.'

1
Tini Timmy
strategi yang bagus
Tini Timmy
seru" nih scene ini
Tini Timmy
racun apa tuh/Frown/
Bening Hijau
3 iklan untuk mu
Cherlys_lyn: terima kasihh
total 1 replies
Tini Timmy
lanjut kaka
Tini Timmy
lanjut kakak
iklan untuk mu
Cherlys_lyn: terimakasih untuk dukungannya 😁
total 1 replies
Tini Timmy
lanjut kakak
Lei.
iklan untukmu ka
Cherlys_lyn: terima kasih untuk dukungannyaa
total 1 replies
Tini Timmy
semangat nulisnya kk
Cherlys_lyn: siappp 😁
total 1 replies
Lei.
semangat ka, ada iklan untukmu
Cherlys_lyn: terima kasihh 🥰
total 1 replies
Bening Hijau
ngeri2 sedap chapter ini
Tini Timmy
semangat nulisnya /Smile/
Cherlys_lyn: terima kasih yaa 🥰
total 1 replies
Lei.
2 iklan untukmu ka
Cherlys_lyn: terima kasih atas dukungannyaa 🥰
total 1 replies
ona
terkejut terjungkal terpungkur
ona
bener itu bener
ona
WOYYY PANGERAN KEDUA KEJAM BANGET BJIR NGAPAIN DAH ITU GUE KESEL
Cherlys_lyn: ini baru permulaan, nanti akan disuguhkan adegan yang lebih menjadi-jadi dibanding hari ini 💀💀
total 1 replies
ona
bjir eve ngapain dah
Bening Hijau
ini cerita kehidupan rose sebelum mengulang waktu, kah
Cherlys_lyn: Benar sekali, jadi di bab 18 Rose baru mulai diingatkan secara perlahan oleh anak pemberi permen ☺️
total 1 replies
Lei.
semangat ka, ini ada 3 iklan untukmu
Cherlys_lyn: terima kasihhh
total 1 replies
Tini Timmy
menarik /Smile/
lanjut kk
Cherlys_lyn: okeee, terima kasih ya 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!