"Bagaimana rasanya jatuh cinta dengan wali yang ditugaskan oleh ayah saya?"
Amara yang muda dan cantik memiliki kehidupan yang bahagia dan sempurna; ia dicintai oleh orang tuanya, sukses dalam studinya, dan telah menjadi direktur perusahaan sejak usia sembilan belas tahun.
Namun, di balik permukaan yang di irikan semua orang itu, ada sesuatu yang membuatnya sedih. Melihat pria yang dikaguminya sejak kecil menikah dengan wanita lain, Amara yang sombong hampir tidak bisa menyembunyikan rasa sakit dan kesedihan di hatinya.
Di sisi lain, Akmal yang tahu dirinya tidak boleh jatuh cinta, namun tanpa sadar dirinya terus memperhatikan Amara. Saat melihat Amara bersama pria lain, ia peduli dan cemburu...
Akankah roda takdir menuntun keduanya untuk saling mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merasa dibohongi
Suara tepuk tangan menggema di ruangan luas itu, banyak orang yang berdecak kagum dengan sosok seorang gadis yang berdiri di depan sana, bahkan banyak dari mereka yang terus terang memuji Amara yang kebanyakan seorang pria.
Jonas yang tadinya cukup kagum kini terseyum kecut, saat melihat tatapan kagum semua teman-teman pria Amara.
"Terima kasih," Ucap Amara sebelum akhirnya kembali duduk di dekat Mikha yang tersenyum bangga dengan sahabatnya itu.
"Amara, You are so great!" Mikha memeluk bahu Amara karena merasa kagum.
"Saya tidak menyangka jika nona begitu memiliki bakat untuk menjadi seorang pemimpin." Ucap Jonas yang hanya mendapat balasan Amara senyum singkat.
Acara tanya jawab mulai berlangsung dengan cukup serius, para mahasiswa mencatat poin penting yang mereka dapatkan, hingga salah satu seorang gadis berambut merah bertanya.
"Tuan, apakah pria seperti anda memiliki kriteria wanita khusus untuk menjadi pendamping?"
Huuuhhh
Banyak dari teman-temannya yang menyoraki pertanyaan gadis itu, membuat gadis berambut merah itu hanya melirik teman-temannya sinis.
Sekertaris Jonas yang mendengar pertanyaan itu tersenyum, wanita itu geleng kepala.
Sedangkan Jonas terkekeh, membuat wajahnya yang tampan semakin tampan di mata para gadis yang menatapnya penuh damba.
"There are no specific criteria, but I like hardworking and intelligent women."
Tidak ada kriteria khusus, tapi saya suka wanita kuat dan cerdas.
*
*
Acara pertemuan dengan Coo AMA corp pun selesai, semua sudah keluar dari gedung tinggi itu. Amara yang tadinya ingin ikut pulang bersama temanya urung karena Jonas mengajaknya untuk memasuki keruang kerjanya.
Amara duduk disofa, gadis itu menatap layar ponselnya yang mendapat panggilan dari sang ibu.
"Ya Mah." Amara terseyum saat wajah ibunya memenuhi layar ponselnya.
"Sayang, kamu sedang apa? kata ayah kamu sedang di kantor?" Tanya Arabella yang tersenyum menatap putrinya.
"Mama tadi lihat kamu berdiri diantara teman-teman kamu, kamu hebat sayang." katanya lagi dengan wajah berbinar.
Amara tersenyum, "Pasti Om Jonas yang kasih tahu mama." Amara mencebikkan bibirnya melirik Jonas yang masih sibuk dengan sekertaris wanitanya.
"Itu harus sayang, apapun yang kamu lakukan ayah harus tahu." Tiba-tiba wajah Maher muncul.
Amara memutar bola matanya malas. "Ayah apa ayah juga akan mengawasi Amara saat sedang berkencan?" Amara menaikkan satu alisnya saat bertanya.
"Tentu saja jika-"
"Tidak sayang, ayah mu tidak akan melakukannya" Potong Arabella cepat.
"Sayang," Maher menatap istrinya protes.
Amara yang justru melihat kedua orang tuanya berdebat mulai jengah, hingga panggilanya ia putus sepihak.
"Apa pemuda waktu itu masih mengganggu mu?" tanya Jonas yang sudah berdiri didepan Amara sambil menyodorkan minuman kaleng.
"Tidak," Amara menerimanya, dan langsung meminumnya karena sudah Jonas buka penutupnya.
"Bagus, jika masih berani dia akan menerima konsekuensinya." Ucap Jonas dengan santai.
"Dan untuk yang meneror waktu itu, apa kamu mau tahu?" katanya lagi yang sudah duduk disisi Amara, Jonas memberikan ponselnya yang terlihat menampilkan Vidio.
Amara yang penasaran mengambilnya, ia memutar Vidio yang Jonas tunjukkan.
Terlihat seorang pria yang duduk terikat di kursi dengan rambut berantakan dan wajahnya yang tampak terlihat datar.
"Siapa dia, aku tidak mengenalinya?" Amara menatap wajah wanita itu dengan seksama, dia benar-benar tidak mengenalinya.
"Mungkin dia hanya orang suruhan, dia tidak mau mengatakan siapa yang menyuruhnya." Ucap Jonas sebelum menenggak minumnya.
"Tapi untuk apa." Gumam Amara penasaran.
"Banyak, karena wanita kebanyakan memiliki rasa iri."
Amara menatap Jonas tampak berpikir. Hingga tatapan kedua tertuju pada ponsel Amara yang tergeletak di atas meja, terlihat sebuah notifikasi. Tapi bukan itu yang membuat penasaran di mata Jonas, tapi sebuah foto wallpaper yang terpajang.
Sebuah foto sepasang kaki yang memakai sepatu couple.
"Kata pak Maher dia belum pernah pacaran, lalu foto kaki siapa yang dia pasang." Pikir Jonas dengan penasaran.
"Om Jonas sibuk tidak?" Amara megambil ponselnya.
"Kenapa?"
"Aku ada barang yang harus di beli untuk kebutuhan besok di kampus, kalau sibuk biar aku pergi dengan Mikha." Amara hendak berdiri namun tangannya di cegah Jonas.
Melihat tangannya yang disentuh membuat Jonas tersadar dan melepasnya.
"Biar aku antar,"
Amara mengangguk dan berjalan keluar ruangan lebih dulu disusul dengan Jonas yang menggaruk kepalanya.
"Tangan sialan!" gumamnya menatap tangannya yang tadi menyentuh tangan Amara.
*
*
"Pergi berapa hari mas?" tanya Astrid saat membantu suaminya memakaikan dasi.
"Tiga hari, kalau kamu bosan kamu bisa menginap di rumah ibu." ucap Akmal sambil menatap wajah Astrid.
Astrid mengagguk. "Jangan lupa makan, jaga diri." Katanya sambil mengusap dada bidang suaminya yang sebenarnya ia rindukan berada di dalam dekapan hangat berbagi peluh.
"Hm, terima kasih." Akmal mencium kening istrinya.
Astrid menatap suaminya, seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan namun terlihat ragu.
Melihat tatapan istrinya Akmal yang peka bertanya.
"Ada apa?"
Astrid mengigit bibir bawahnya, terlihat ragu ingin mengatakan sesuatu.
Akmal menghela napas kasar, "Katakan, aku tidak banyak waktu Astrid." Katanya dengan nada sedikit keras karena menahan kesal.
Seketika kepala Astrid menggeleng. "Tidak ada, Mas berangkat saja." Katanya dengan nada lirih.
Akmal memejamkan matanya demi mengurangi kekesalan yang tiba-tiba hadir.
Tanganya menyentuh pundak Astrid dan menatap wajah wanita yang sudah ia nikahi.
"Mungkin keadaan tidak akan seperti ini jika kamu jujur dari awal Astrid, ini terlalu menyakitkan untuk ku yang merasa di bohongi. Karena hubungan yang berawal dari kebohongan tidak ada kebahagiaan didalamnya."
Seketika air mata Astrid mengalir membasahi wajahnya, wanita itu langsung terisak.
"Kamu seperti melepar kotoran di wajah ku, lalu bagaimana aku bisa baik-baik saja di depan mu setelah semua yang kamu tutupi." Akmal membuang wajah, ia tidak ingin amarahnya kembali meledak saat mengingat kejadian malam pertama yang membuatnya begitu syok.
"Maafin aku Mas, aku-"
"Sudahlah, aku harus pergi."
Tangis Astrid semakin menjadi-jadi saat melihat Akmal pergi.
Tubuh Astrid luruh ke lantai bersama hatinya yang hancur.
*
*
Mas Akmal kenapa sih, kasian itu istrinya.
menunggu lama ternyata dpt bekas siapa tuh
akhirnya jika org yg berjuang tk mu menyerah maka kamu sendiri yg mengalami penyesalan