Karena perubahanku, pantaskah kalian menghina?
Bukankah aku seperti ini, lantaran telah melahirkan penerus keluarga!
"Seharusnya, Mas membelaku! Bagaimanapun, aku ini adalah istrimu. Jika, bukan suami ... siapa lagi yang akan melindungiku? Haruskah, aku mencari tempat perlindungan lain? Apakah itu maumu, Mas Azam!" Lika.
"Kita ini hanya seorang anak, sudah seharusnya kita mengalah!" Azam.
Mampukah, Lika bertahan atau memilih pergi dari sisi suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chibichibi@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 9. Omongan Dibelakang part 2
Ku dengar kedua mertuaku lantas tertawa terbahak-bahak.
Deg!
Kurasakan sebuah hantaman berat menekan hati ini. Kenapa, mereka bisa menertawakan rencana jahat Nela padaku. Ayah, ibu ... kalian anggap apa aku ini sebenarnya? Aku ini adalah wanita yang kalian pilih untuk menjadi menantu. Wanita yang kalian minta secara baik-baik dan penuh kalimat rayuan manis kala itu. Wanita yang kalian bilang akan dianggap sama seperti anak sendiri.
Tapi, lihatlah. Apa yang kurasakan dan ku dengar sekarang. Apa salahku pada kalian? batinku bergemuruh. Bagaimana tidak, ketika kau pulang kerumah dalam keadaan lelah dan otak yang panas. Lalu yang aku dengar di belakang mu adalah sebuah rencana busuk tanpa perasaan. Kalau menurut napsu hati. Ingin rasanya aku menghardik mereka semua saat ini. Tapi, aku teringat jika saat ini aku tengah menggendong putri kecilku. Sehingga, aku memutuskan untuk menahan perasaan dongkol ini.
"Assalamualaikum!" ucapku ketika masuk kedalam rumah. Sengaja aku melewati warung tanpa menoleh sedikitpun pada ketiga orang yang berada di dalam. Hatiku sangat kesal, aku capek dan lelah. Aku tidak mau membuang energi lagi yang telah banyak ku keluarkan pada hari ini. Rasanya sungguh, subhanallah. Tatkala harus berkeliling membawa dagangan sambil mengurus dua anak kecil yang sedang aktif seperti Heru dan Lulu. Bahkan, beberapa orang langganan yang memang kebanyakan orang tua murid dari kawan Heru pun, menggelengkan kepala mereka.
"Waalaikum salam," sahut mas Azam datar. Ku raih tangannya yang lembab. Apa dia sudah mandi ya, batinku. Aku segera menurunkan Lulu yang kembali tertidur dalam gendongan secara perlahan ke atas kasur busa di kamar kecil kami. Lalu, aku menghampiri suami ku yang sedang duduk memandangiku lekat dari atas kursi rodanya "Maaf, ya Mas. Lika, terlalu sore pulangnya. Tadi sekalian ngerekap barang dalam satu bulan. Dina mau tau, aku abis berapa banyak. Ternyata melebihi target dan akhirnya dapet bonus tambahan. Lumayan, Mas. Aku langsung beli diaper satu bal sama susu lima kaleng untuk persediaan Heru," ucapku menjelaskan dengan rona penuh syukur.
"Bisa nanti kan ngomongnya, itu urus aja dulu Heru yang ada di dalam kamar mandi!" seru mas Azam membuat hati ini serasa mencelos. Padahal, bisa kan di jawab dulu dengan kalimat syukur Alhamdulillah. Setidaknya, aku merasa mas Azam juga turut merasakan apa yang sedang aku rasakan saat ini. Ikut merasakan, jika kerja kerasku sedikit demi sedikit membuahkan hasil yang lumayan membantu keuangan keluarga kecil kami.
Selesai memandikan Heru, aku juga gantian untuk membersihkan diri. Rasanya segar sekali ketika tubuh penat dan lengket ini tersiram air dingin. Sebab, aku selalu bepergian menggunakan gamis panjang dengan kerudung membungkus kepala hingga dada. Baru selesai membilas tubuh yang penuh dengan sabun, aku mendengar mas Azam meneriaki ku.
"Ma! Cepetan, Lulu bangun!" teriaknya. Buru-buru ku sambar handuk lalu menggulung asal tubuh besarku. Tentu saja handuk itu tidak mampu menutupi semuanya. Ada beberapa bagian yang menyembul seperti dada dan juga pahaku yang besar dan beradu ketika berjalan. Untung saja, tubuhku agak tinggi.
Aku pun berjalan cepat melewati mas Azam yang berada di depan pintu. Ku lihat sekilas suamiku itu menatap ku dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku merangsek ke atas kasur mendekati Lulu yang mengamuk sambil berguling-guling. Akhirnya, mau tak mau aku pun menurunkan handuk bagian atas tubuhku untuk mengeluarkan sumber makanan Lulu.
"Sembarangan banget sih!" Kudengar mas Azam menggerutu pelan. Baru kali ini suamiku bertingkah seperti itu. Ia pun menjauh dari kamar mendekati Heru yang sedang menonton televisi sambil makan.
Setelah Lulu tenang, aku langsung mengenakan pakaian. Ku mandikan putri kecilku itu dengan air hangat. Tak lama kemudian, aku duduk di samping mas Azam sambil menyuapi Lulu. "Mas, tadi bicara apa. Maaf, Lika tidak mendengarnya dengan jelas," tanya ku memastikan jika suamiku ini tidak sedang memendam amarah padaku. Sebab, ku lihat ekspresi wajahnya sungguh berbeda dari biasa.
"Mas, tidak suka jika, Adek keluar dari kamar mandi seperti tadi. Bagaimana jika ada orang lain yang tiba-tiba masuk ke dalam melihat mu seperti itu!" tegur mas Azam dengan nada cukup membuat Heru menatap kami berdua. Aku pun tersenyum, lalu berusaha mengalihkan perhatian putraku lagi ke layar televisi sembilan belas inchi tersebut.
"Maaf, Mas. Tadi kan, Lika kaget jadi terburu-buru. Lika takut kalau, Lulu membenturkan kepalanya lagi ke dinding seperti tempo hari," kilahku beralasan. Tapi memang benar. Putriku Lulu sudah mulai tantrum di usianya yang baru satu tahun lebih. Mungkin, lantaran sering mendengar bentakan demi bentakan semenjak dari dalam rahim ku.
"Setidaknya, gunakan kain yang lebih besar. Atau, Adek memang sengaja sedang meledek, Mas. Iya?" cecar suamiku dengan tatapannya yang seolah kesal padaku.
"Astagfirullah, Mas. Meledek gimana maksudnya?" tanya ku dengan berbisik pelan. Mengisyaratkan pada suamiku untuk mengecilkan suara ketika tengah berdebat di depan anak-anak.
"Sudahlah, lebih baik aku keluar!" ujar Mas Azam berlaku begitu saja seraya memutar roda pada kursi besinya itu dengan cepat.
Aneh, tidak biasanya suamiku seperti ini. Emosi mas Azam memang suka turun naik sesuai dengan suasana hatinya. Semua perubahan itu bermula dari kecelakaan yang merenggut kebebasan dari mas Azam.
Secara kebetulan di teras. Ku lihat banyak sekali yang mendatangai konter Nela. Aku sengaja mengikuti mas Azam. Karena, kupikir dirinya sedang merajuk. Seketika, darahku mendidih ketika Nela dan Ibu dengan sumringah mengenalkan seorang wanita seksi pada suami ku. Rambutnya pirang, tubuhnya putih mulus dan sintal.
"Nah, itu dia, Mbak. Mas Azam!" seru Nela, penuh suka cita.
...Bersambung ...
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️