Di malam pertunangannya, Sahira memergoki pria yang baru saja menyematkan cincin pada jari manisnya, sedang bercumbu dengan saudara angkatnya.
Melihat fakta menyakitkan itu, tak lantas membuat Sahira meneteskan airmata apalagi menyerang dua insan yang sedang bermesraan di area basement gedung perhotelan.
Sebaliknya, senyum culas tersungging dibibir nya. Ini adalah permulaan menuju pembalasan sesungguhnya yang telah ia rancang belasan tahun lamanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah sosok Sahira hanyalah wanita lugu, penakut, mudah ditipu, ditindas oleh keluarga angkatnya? Atau, sifatnya itu cuma kedok semata ...?
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun! Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!" ~ Sahira ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Asa : 15
Thariq menyilangkan kakinya, menatap tenang sang Ayah mertua. “Kita tak lagi sedang membahas bisnis, tak jua terlibat kerja sama. Lantas, apa Papa pikir saya bersedia diajak bernegosiasi seperti ini?”
Mendengar balasan Thariq, Sigit Wiguna menahan geram, tetapi berhasil disembunyikan dengan raut tenang. “Kalau kau lupa, kini Papa ingatkan! Almarhum kakek mu Alamsyah lah yang menjodohkan Arimbi, memintanya untuk menjadi cucu menantu di keluarga Alamsyah. Lantas dengan dirimu hendak menikah lagi, bukankah itu mengecewakan nya?”
Thariq tetap tenang menghadapi ancaman terselubung itu. “Mendiang kakek Alamsyah, hanya menjodohkan. Selebihnya, bukan lagi urusannya! Saya memiliki kendali penuh atas kehidupan dan keluarga yang saya bangun. Namun, tetap memberikan pilihan bila wanita pilihan Kakek … tak lagi sanggup lagi mendampingi, terlebih ingkar dari janjinya, dia boleh pergi atau tetap membersamai saya.”
“Arimbi, untuk terakhir kalinya … saya memberikanmu pilihan; Bertahan atau saya lepaskan. Pilihlah sekarang juga!” Thariq meletakkan map yang sudah di buka, terpampang nyata kertas putih bertinta hitam, yang mana terdapat bagian membutuhkan tanda tangan istri pertama.
Widya Mandala dan juga Sigit Wiguna saling pandang, sama-sama menyimpan emosi layaknya lava gunung Merapi.
‘Bila gagal mencegah pernikahan itu terjadi, biarkan saja mereka menikah!’ kalimat Adisty terngiang-ngiang di kepalanya.
Lengan Arimbi terulur meraih pena, jemari menggenggam erat alat tulis itu, sebulir air mata terjatuh. Ia sama sekali tidak menyangka mengalami momen menyakitkan ini.
‘Tega kau Thariq. Aku begitu mencintaimu, tapi sedikitpun tak ada artinya di matamu.’
Selesai! di atas materai telah tertera tanda tangan Arimbi Wiguna, istri pertama Thariq Alamsyah. Dia yang dulu begitu berambisi, menggunakan segala cara agar almarhum kakek Alamsyah sudi menjodohkan dirinya dengan cinta pertamanya, tapi sayangnya bertepuk sebelah tangan.
Hanya Arimbi yang mencintai dan selalu berusaha dekat dengan Thariq, pria itu sama sekali tak memiliki rasa yang sama.
‘Maaf Arimbi, telah menyakiti hatimu. Namun, semua ini harus kulakukan. Sebab Sahira pun memiliki hak yang sama denganmu.’ Ia tarik map tadi sembari menatap sekilas wajah istrinya yang bersimbah air mata.
"Maaf, bila sudah membuat kalian tak nyaman. Saya permisi!” Thariq berdiri, tangannya menggenggam map tadi. “Papa, sebelum fajar menyingsing, tolong tarik para orang suruhan mu. Jangan sampai saya melihat mereka mengintai kediaman Alamsyah, berusaha menguntit saya.”
Sigit Wiguna memejamkan matanya sejenak, menyembunyikan keterkejutan sekaligus rasa malu yang luar biasa. ‘Bedebah kau Wahyu! Bodoh betul!’
Kemudian Thariq berlalu dari sana, tidak melirik apalagi mencoba berbicara empat mata dengan Arimbi yang menatap nanar kepergiannya.
Thariq Alamsyah sengaja berperilaku sedikit kejam, karena dia paham betul sifat dan tabiat istrinya. Wanita manja, tukang paksa, suka berbuat semaunya.
***
“Mama lihat! Gara-gara pelacur murahan itu, Thariq berubah 180 derajat. Sama sekali tak mempedulikan aku! Bahkan tak Sudi menatapku!” Arimbi meraung, menghentakkan kakinya.
“Sigit Wiguna! Lakukan sesuatu!” Widya membentak suaminya, tak ada lagi nada menghormati. Dia teramat marah, merasa terhina. Terlebih melihat putri semata wayangnya frustasi.
“Bawa Arimbi masuk ke dalam kamarnya!” titah Sigit dengan netra memerah.
“Aku tak mau! Brengsek kau wanita sialan! Karena mu, Thariq menjadi semakin menjauh!” Arimbi terus meracau, memberontak dalam dekapan ibunya.
“TONO!!” Sigit berteriak memanggil salah satu penjaga rumah.
Tak lama setelahnya, masuklah pria berbadan lumayan tegap, sorot mata tegas. “Ya, Tuan!”
“Bawa Arimbi ke kamarnya!”
Tanpa ragu, tak juga bertanya terlebih dahulu apakah Arimbi setuju. Langsung saja Tono memanggul wanita yang kapan hari meludahinya.
“Turunkan! Kau itu Gembel! Tak pantas menyentuhku!” Arimbi memukul punggung Tono, tetapi sama sekali tidak berefek apapun.
Widya mengikuti langkah sang security, dalam hati mengumpati suaminya yang lancang sekali menyuruh seorang satpam memanggul putri berharganya.
Tanpa kesusahan, Tono membuka pintu kamar, melangkah lebar lalu membanting tubuh Arimbi di atas kasur, sampai badan wanita itu memantul.
Plak!
"Kurang ajar kau! Berani sekali berbuat kasar pada putriku!” Widya menampar pipi Tono. Sedangkan yang disakiti sama sekali tidak berekspresi apapun, hanya diam.
Tanpa kata, ia langsung keluar dan menuruni anak tangga, menatap licik pada sosok yang bahunya terkulai, duduk bersandar di sofa.
“Saya sudah melaksanakan tugas yang Tuan berikan.”
“Pergilah! Kembali berjaga!” sedikitpun Sigit tidak menoleh. Ia memejamkan mata, merasa sangat lelah.
“Sebenarnya, apa yang salah? Mengapa akhir-akhir ini segala hal buruk terjadi hampir bersamaan?” tanyanya seorang diri. Mencoba menelusuri, tapi tetap tak mendapatkan jawaban pasti.
Sedangkan di luar rumah, tepatnya halaman luas hunian Wiguna.
“Setelah Tuan Thariq pergi dari sini, anak semata wayang mereka nyaris gila!” entah kepada siapa Tono memberikan laporannya, yang jelas rautnya terlihat puas, lalu cepat-cepat memutuskan panggilan dan menyimpan ponselnya saat dia didekati rekannya.
***
“Apa persiapannya sudah semua, Ma?” Mustika kembali bertanya.
“Enak kali kau! Dah macam Mandor saja! Mama yang mondar-mandir memeriksa barang-barang seserahan ini!” Bu Ayda mendengus, menatap putrinya yang duduk di sofa sambil makan keripik kentang.
Mustika menepuk-nepuk telapak tangannya, lalu duduk tegak. “Di mana-mana itu, lebih besar peran calon mertua daripada ipar. Jadi, ini menang tugas Mama! Lagipula heran kali ku tengok nya, ada cara mudah mengapa memilih yang rumit!”
“Tinggal pesan jadi! Ini malah memilih merepotkan diri dan para Bibi. Udah tahu tak pintar, tapi Mama tetap memaksakan diri. Melipat handuk satu saja perlu waktu satu jam agar mirip kayak burung Merak, tapi lihatlah hasilnya! Lebih menyerupai ikan Buntal. Sudahlah Ma, menyerah saja! Terima nasib saja kalau tidak memiliki bakat keterampilan tangan!” Mustika bersiap-siap menangkis serangan.
Hidung bu Ayda kembang kempis, dia bergegas melepaskan sandal, melemparkan ke Mustika, tapi sayang tak tepat sasaran.
“Tiada hari tanpa melihat kalian ribut!” Thariq berdecak, menatap geli. Dirinya baru saja sampai, masih juga memegang map.
“Macam tak hafal saja Abang ini. Mama mana pernah bisa melihat ku senang, baru tenang ku duduk sudah diajak bergelut!” Mustika menambah kadar emosi ibunya.
“Azab kali ku tengok kau Mustika! Thariq tangkap adikmu itu! Biar ku ikat dia dibawah pohon nangka, kayak dulu sewaktu dirinya suka sekali mencuri buah milik tetangga!” Ayda mendekati putra sulungnya, yang dibelakang tubuhnya ada Mustika sedang sembunyi.
Thariq maju, memeluk sayang ibunya, membisikkan kata-kata penenang.
“Sudahlah Ma, lebih kita bersiap! Kemudian berangkat.”
“Apa Arimbi sudah setuju?” tanyanya sembari melepaskan pelukan.
Mustika lebih dulu menyahuti. “Lihat saja senyum Abang, Ma! Sudah pastilah dia memenangkan pertarungan demi selembar kertas izin kawin lagi.”
Tak pelak bu Ayda memicingkan mata. Lain halnya para bibi yang tertawa, mereka duduk di lantai, berkutat dengan pernak-pernik seserahan gagal dirangkai.
“Ayo kita temui dia! Keluarganya sudah menunggu kedatangan kita!” ajak Thariq.
“Terus, bagaimana dengan seserahan nya, Nak?” Bu Ayda enggan beranjak.
“Berulangkali dia mengingatkan saya, jangan sampai membuat repot Mama dan Mustika. Cukup datang memberikan restu, dia sudah sangat bahagia.” Thariq tersenyum lebar, terlihat sorot matanya berbinar.
Mustika memicingkan mata, dalam hati sulit percaya. “Ada ya orang seikhlas dan sebaik itu? Aku jadi semakin penasaran dengannya. Apa betul dia wanita yang telah Abang nodai? Atau jangan-jangan ...?”
.
.
Bersambung.
Kamu bermain di mana ty???
kaya bunglon 🤓
kaya ada clue
Thoriq sebenarnya sudah tau niat awal Sahira 😃🤔