Direndahkan Keluarga Suami
"Tuh kan, ujungnya pasti minjem duit! Makanya, kalo gak bisa kerja itu nabung. Duit dari suami jangan suka dihabiskan. Kalau sudah keadaan begini, kan jadi susah sendiri!" ketus Ibu mertuaku sambil melempar uang seratus ribuan ke atas meja.
Sebenarnya aku juga terpaksa meminjam uang pada Ibu untuk membawa mas Azam berobat. Tapi, mau bagaimana lagi, sudah dua hari suamiku itu tidak bekerja lantaran keadaannya sedang sakit. Kebetulan di daerah tempat tinggal kami, masih ada klinik yang murah.
Sebenarnya bisa saja aku membawanya ke puskesmas besok, tapi mas Azam sejak tadi terus meringis kesakitan sambil memegangi perutnya. Aku bingung, tak tau lagi harus minta tolong pada siapa.
Aku pun terpaksa mengambil uang yang dilemparkan oleh Ibu.Padahal kan, wanita paruh baya yang biasa mengenakan daster rumahan itu, bisa memberikannya langsung ke tanganku. Dengan begitu aku bisa langsung mencium punggung tangannya. Tapi ini tidak, Ibu melemparnya sambil menatap sinis ke arahku. Seakan, jika ini adalah hal yang sangat buruk. Padahal, aku melakukan ini juga untuk anak laki-laki pertamanya.
Semenjak, melahirkan anak pertama kedua mertuaku berubah sikap. Apalagi semenjak, Mas Azam memberikan uang belanja bulanan padaku. Meskipun begitu untuk hal lain tetap masih di atur oleh mereka.
Aku pernah mendengar dari salah satu saudara ayah mertua. Jika mas Azam berubah sikap semenjak menikah denganku. Entah, berubah bagaimana maksudnya. Menurutku, mas Azam masih sama seperti pertama kali aku mengenalnya.
Aku hanya menghela nafas pelan, lalu meraih uang yang berserak. "Terimakasih ya, Bu. Lika, janji akan mengembalikannya nanti," ucapku, seraya hendak berdiri dan mengambil balita berusia satu tahun yang barusan ku letakkan duduk di lantai. Aku kembali membawa anak perempuanku yang bernama Lulu kedalam gendongan.
"Ya harus lah. Itu kan uang modal warung Ibu." Ibu mertuaku berkata dengan nada sarkas. Membuat hatiku berdenyut ngilu tatkala mendengar setiap kata-kata pedas level tiga puluh yang selalu keluar kerapkali berbicara denganku.
"Kenapa sih, Bu? Udah mau magrib kok teriak-teriak?" tanya ayah yang baru saja keluar dari kamarnya. Sepertinya, beliau hendak pergi ke mesjid. Terlihat dari baju koko juga kainnya yang sangat bagus.
Ayah selalu berpikir dan berpendapat, bahwa di kampung ini tidak ada yang bisa menyaingi harga baju koko juga sarung yang ia punya.
Karena ayah mertuaku itu, tau macam-macam merek yang bagus. Beliau rela kehilangan uang banyak dari hasil usahanya demi memenuhi kepuasannya sendiri. Beliau sangat suka di puji orang lain.
"Inilah, kerjaan menantu mu yang tidak bisa mengatur uang pemberian suami. Tidak seperti ku, yang bahkan bisa membeli sebidang tanah dari hasil uang belanja yang aku sisihkan selama lima tahun," ucap Ibu, membanggakan diri sendiri.
Bagaimana ia bisa menyamakan keadaan dahulu dengan diriku pada saat ini. Ayah mertua adalah pensiunan pegawai negeri sipil. Tentulah tidak bisa di samakan dengan suamiku yang hanya bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan swasta.
"Lain kali, kalo makan itu di irit. Harus pinter nyimpen duit, buat keadaan mendesak kayak gini. Anak itu harusnya ngasih ke orang tua, bukannya minta." Kata-kata dari bapak mertuaku menambah perih di hati ini. Aku kan tidak meminta, melainkan pinjam. Aku pasti akan menggantinya setelah mas Azam gajian.
"Selama anak masih menyusahkan orang tua. Hidupnya tidak akan pernah makmur. Lihat nih, Ayah sejak dulu tidak pernah yang namanya minta ke orang tua. Kau lihat kan sekarang, bahkan usahaku maju dan berkah. Ayah sampai bisa membangun rumah ini dari hasil keringat sendiri." Ayah kembali memojokkan ku dengan membanggakan dirinya. Lagi-lagi hati ini merasa perih.
Ingin rasanya mulut ini menjawab dan menyangkal setiap kalimat yang beliau ucapkan. Namun, sekali lagi aku sadar. Sebagai anak sudah seharusnya kita mengalah bukan. Aku tidak ingin ribut, lagipula memang benar apa kata ayah mertuaku. Kami masih menyusahkan nya dengan tinggal menumpang.
Mas Azam, belum bisa membawa keluarga kecil kami pindah. Bahkan untuk sekedar mengontrak pun mas Azam tidak mau. Selalu dengan alasan, gajinya tidak akan cukup untuk membayar sewa rumah yang sangatlah mahal di kota besar seperti ini. Lagipula, di rumah orang tuanya masih terdapat beberapa kamar kosong.
"Iya, Yah. Bu. Lika mengerti. Terimakasih. Lika mau membawa mas Azam berobat nanti selepas magrib. Titip Heru ya," ucap ku pamit seraya berpesan untuk menjaga putra pertamaku yang baru berusia lima tahun. Sebab, aku tidak mungkin membawa dua anak sekaligus. Lulu masih bisa ku gendong di depan, karena aku yang akan membawa motor.
"Emang dibawa aja gak bisa. Ayah mau ada urusan nanti di masjid sampe isya," kata ayah mertua ku. Sementara Ibu, sudah berlalu ke dalam. Ibu, paling tidak suka jika aku menitipkan Heru. Sebab, anak itu selalu tidak bisa diam dan sering memakan jajanan di warung kelontong Ibu.
Terpaksa, aku harus membawa kedua anakku.
_____
"Mas, ayo berobat." Aku membangunkan mas Azam yang malah tertidur setelah solat magrib. Aku menggoyangkan bahunya pelan. Kasian, sepertinya mas Azam pulas. Tapi, aku tetap harus membangunkannya. Daripada nanti malam ia merintih lagi. Tak lama kemudian, suamiku itu terbangun.
"Memang, kamu sudah dapat uangnya, Dek?" tanya mas Azam yang telah berbalik dan sekilas menatap ke arahku.
"Sudah, Mas. Tapi ibu berpesan agar kita punya tabungan. Agar, setiap keadaan menjepit begini tidak lagi meminjam," jawab ku seraya menunduk lesu.
Bagaimana pun kata-kata kedua mertuaku itu terlalu menusuk. Bukan salahku yang tak bisa menyimpan uang. Sementara mas Azam masih punya tanggungan kreditan mobil yang harus kami bayar setiap bulan.
Itu juga atas dasar desakan ayah mertua yang menginginkan Azam mencicil mobil untuk dapat digunakan keluarga ketika ada undangan kondangan atau kumpul keluarga. Biar ada yang bisa dibanggakan, katanya. Sehingga mas Azam merelakan tabungannya sebagai uang muka. Aku sebenarnya tidak setuju, toh buat apa terlalu memaksakan diri jika ujungnya hidup seperti kekurangan karena terlibat hutang.
"Gimana bisa nabung, Dek. Untuk cicilan mobil saja hampir tiga juta. Belum lagi, Mas harus membayar listrik yang harganya terus naik. Meskipun kita menumpang, setidaknya Mas bantu ayah dengan membayarkan kebutuhan listrik di rumah ini. Gak sedikit itu, Dek. Hampir satu jutaan lebih setiap bulannya. Jadi, kamu jangan pernah merasa bahwa kita tidak berguna di rumah ini, ya. Omongan ayah sama ibu jangan di ambil hati. Kamu cukup jawab iya saja," kata mas Azam membesarkan hatiku.
Aku pun menjawab kata-katanya dengan senyum dan sebuah anggukan kepala. Semudah itu mas Azam mengatakannya. Dia tidak tau bagaimana rasanya berada di posisiku. Akulah yang akhirnya selalu di salahkan.
_______
"Azam, kamu masih sakit ya? Gak masuk kerja lagi dong?" Ibu yang tiba-tiba masuk ke kamar kami keesokan harinya. Wajahnya memberengut ketika melihat mas Azam yang masih bergelung dengan selimut. Aku hanya memperhatikan sambil menyuapi Heru dan Lulu sarapan tak jauh dari kamar.
"Kepala Azam masih pusing Bu, masih lemas juga," jawab suamiku. Kali ini ia membuka selimut dan duduk di pinggir kasur. Wajahnya masih nampak pucat.
"Ini gimana sih, Lika! Bisa gak sih kamu ngurus suami yang sakit! Masa udah berobat gak sembuh-sembuh juga! Kalo kelamaan gak kerja nanti gaji kamu yang di potong banyak, Azam! Tau, kan tanggungan mu banyak yang harus di bayar. Ya sudahlah, terserah kamu! " Setelahnya ibu berlalu dengan melewati ku.
Selalu begitu.
Ibu dan bapak selalu berkata ketus padaku semenjak perubahan pada tubuhku.
Kenapa? Kenapa harus mendengarkan penilaian orang?
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Mel Rezki
ampun deh mertua begitu 🤧
2023-05-18
0
Yunia Afida
aku mampir thor
2022-11-29
1
Penikmat Lara
padahal cucu sendiri loh, eh kok gitu.. Sadar diri napa
2022-11-08
2