NovelToon NovelToon
Cintaku Kepentok Bos Dingin

Cintaku Kepentok Bos Dingin

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Angst
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Erika Ponpon

Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

18

Di ruang kerjanya yang luas dan minimalis, Nagendra duduk di kursi kulit hitamnya dengan tatapan serius. Beberapa dokumen berserakan di meja, tapi pikirannya jauh lebih sibuk.

“Ravel,” panggilnya lewat telepon.

“Yo, Bro. Ada apa?” suara santai dari seberang.

“Gue mau lo dan Rey cari tahu tentang Adeline. Masa lalunya, latar belakang keluarganya, apa dia memang seperti yang ibu bilang… atau ada yang disembunyikan.”

Ravel tertawa kecil, “Santai aja, bro. Gue dan Rey bakal gali sampai ke akar-akarnya.”

Nagendra menutup telepon dan menatap ke arah jendela besar.

Sementara itu, di sisi lain, Cathesa sedang menyiapkan laporan di mejanya. Matanya sempat tertangkap oleh Nagendra yang berdiri di pintu ruangannya, memandangnya sejenak.

Nagendra menghela napas panjang. Selama ini, ia mengabaikan Cathesa, tapi kini ada sesuatu yang berbeda. Mungkin cara Cathesa yang tanpa sengaja mengusik ketenangannya.

Ia mendekat.

“Kamu sudah makan siang?” tanyanya, nada suaranya lebih lembut dari biasanya.

Cathesa terkejut, tapi dengan cepat tersenyum, “Belum, Pak.”

Nagendra mengangguk, “Kalau begitu, ikut aku. Aku yang traktir.”

Cathesa hampir tersenyum lebar, tapi segera menahan diri.

Di luar ruang, Ravel dan Rey sedang mengendus informasi dari berbagai sumber.

“Bro, lo yakin ini bakal jadi drama yang menarik?” Rey tertawa sambil membuka laptop.

“Pasti, man. Gue suka kalau ada bumbu misteri kayak gini.”

Sementara itu, Nagendra diam-diam mulai mengalihkan perhatiannya dari Adeline ke Cathesa. Mungkin bukan hanya bisnis yang ia urus, tapi juga hati yang selama ini ia tutup rapat.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Setelah percakapan makan siang tadi, suasana antara Nagendra dan Cathesa jadi agak… aneh. Hangat, tapi janggal. Keduanya seperti sama-sama bingung harus bersikap bagaimana.

Siang menjelang sore, Cathesa berjalan cepat di lorong menuju ruang rapat, membawa berkas yang diminta Nagendra. Di tangan kirinya ada tablet, dan di kanan map penuh dokumen. Fokusnya penuh. Terlalu penuh.

Saking fokusnya, dia tak melihat lantai marmer yang licin karena tadi baru dipel—dan dalam sepersekian detik—

“KYAAAH!”

Kakinya terpeleset. Tubuhnya oleng ke depan.

Refleks, dia menjulurkan tangan, dan satu-satunya yang bisa dia raih adalah…

KERAH KEMEJA NAGENDRA.

Yes. Entah sejak kapan pria itu muncul di ujung lorong. Mungkin hendak menyusul ke ruang rapat. Tapi yang pasti, detik itu juga, Cathesa menarik kerahnya cukup kuat—hingga tubuh Nagendra sedikit tertarik ke depan.

Dan—

“Mmmp—!”

Mereka berdua membeku. Mata membelalak. Nafas tertahan.

Karena bibir mereka… bersentuhan.

Tak lama. Tapi cukup untuk membuat jantung Cathesa meledak. Dan Nagendra, yang biasanya setenang kulkas dua pintu, mendadak kehilangan ekspresi.

Beberapa detik kemudian…

Cathesa langsung berdiri tegak sambil menutup mulutnya dengan tangan.

“S-saya… s-sumpah bukan sengaja, Pak! Itu—itu tadi… lantainya licin! Saya—saya nggak lihat, lalu—”

Nagendra masih terdiam. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi ada semburat merah samar di telinganya.

“…Kamu baik-baik saja?” tanyanya datar, tapi nadanya lebih pelan dari biasanya.

“Iya, Pak. Sangat baik. Maksud saya… eh, tidak. Maksud saya—astaga!”

Cathesa ingin menelan diri sendiri hidup-hidup.

Nagendra menatapnya sejenak, lalu tiba-tiba menoleh ke kanan dan melangkah pergi… tapi sempat berhenti dan berkata:

“Jangan terlalu buru-buru kalau jalan.”

Nada suaranya ringan. Sangat ringan. Seperti senyum samar yang ditahan.

Sementara itu, di ujung lorong—tanpa mereka sadari—Rey melihat kejadian itu dari balik kaca.

“O. M. G.”

“Gue perlu popcorn.”

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Setelah insiden “kecelakaan bibir” di lorong kantor tadi, Cathesa berjalan ke ruang kerjanya dengan langkah cepat dan pikiran kacau.

“Ya Tuhan… aku cium bos aku. Aku. Cium. Bos. Aku!”

Mukanya merah padam. Jantungnya tak karuan. Dia bahkan sampai salah mengetik password komputernya tiga kali.

Di ruangannya sendiri, Nagendra berdiri di depan jendela kaca, menyilangkan tangan, diam seribu bahasa.

Tangannya terangkat menyentuh bibirnya sendiri.

“Apa yang baru saja terjadi?”

Ia bukan tipe pria yang mudah terkejut. Tapi saat bibir Cathesa menempel pada bibirnya—even jika itu tidak disengaja—ada sesuatu yang mengguncang pertahanannya.

Bukan soal ciumannya, tapi siapa yang menciumnya.

“Kenapa dia?”

Di layar CCTV kantor, Rey sedang rewind rekaman lorong sambil nyengir lebar.

“Bro, kalau ini bukan takdir, gue nggak tahu lagi namanya apaan.”

Sore menjelang malam, Cathesa pulang dengan kepala tertunduk. Saat berjalan menuju lift, dia merasa ada yang mengikutinya. Deg-degan, dia menoleh—dan…

Nagendra berdiri di sana, memandang datar.

“Aku antar kamu pulang,” katanya tanpa basa-basi.

“Eh? Tapi, Pak—nggak usah repot-repot—”

“Kau jatuh tadi. Dan menciumku.”

(Kata-katanya dingin. Tapi mata Nagendra… tidak.)

Cathesa membeku.

“I-itukan tidak sengaja…”

Nagendra menatap lurus ke depan sambil berjalan masuk ke dalam lift.

“Tapi tetap saja… kau menciumku duluan.”

TING!

Pintu lift menutup. Suasana canggung, tegang, dan absurd di antara mereka.

Cathesa menatap lantai lift.

Nagendra menatap dinding, tapi dari pantulan logam… dia melirik Cathesa sekilas. Bibirnya naik sedikit.

Senyum tipis.

Yang bahkan dia sendiri tak sadari.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Besok paginya, suasana kantor terasa janggal. Terlalu tenang. Terlalu canggung. Apalagi untuk Cathesa.

Setiap dia menengok ke arah ruang kerja Nagendra, dia merasa seperti seseorang memerhatikannya. Tapi begitu dia melirik cepat, Nagendra justru terlihat fokus di depan layar.

“Mungkin cuma perasaanku. Atau trauma bibir semalam,” gumamnya sambil menggeleng.

Tapi kenyataannya… bukan cuma perasaannya.

Nagendra memang lebih sering melirik ke luar ruangannya. Matanya secara tak sadar mencari sosok Cathesa. Sesekali saat dia terlihat tertawa kecil bersama staf lain, dadanya terasa aneh.

Bukan marah. Tapi juga bukan nyaman.

“Kenapa aku jadi memperhatikan dia?”

Sore harinya, Rey masuk ke ruang kerja Nagendra sambil membawa dua botol kopi dingin.

“Bro…”

“Udah siap sama kenyataan?”

“Kenyataan apa?”

“Kalau lo udah mulai punya ‘minat personal’ ke sekretaris sendiri.”

Nagendra menoleh dengan tatapan datar, “Itu tidak profesional.”

Rey mengangkat bahu. “Rasanya juga nggak profesional pas lo diem-diem senyum waktu dia ngelantur minta maaf setelah nabrak bibir lo.”

Nagendra terdiam. Tak membalas. Tapi telinganya… sedikit merah.

Malamnya, di kediaman keluarga Alejandro…

Nyonya Anneliese duduk tegak dengan secangkir teh. Di depannya, Adeline berbicara penuh semangat.

“Saya harap pertunangan bulan depan bisa dipercepat, Tante. Apalagi Cathesa masih berada di dekat Nagendra… saya takut ada yang salah.”

Nyonya Anneliese mendengus. “Perempuan itu. Sudah saya peringatkan. Tapi rupanya dia masih menempel. Baik, saya akan bicarakan pada Alejandro. Kita akan tetapkan tanggal.”

Adeline tersenyum penuh kemenangan.

“Akan kutendang keluar perempuan kelas dua itu dari hidup Nagendra.”

Di tempat lain, Cathesa duduk di kasur kamarnya, memeluk bantal.

“Aku ini siapa, sih…? Sekretaris. Biasa. Bukan dari keluarga berada.

Dan tadi pagi dia bahkan nggak menyapa…”

“Tapi kenapa aku… masih mikirin dia?”

Di luar jendela, langit gelap. Tapi di hati Cathesa… makin terang dengan rasa yang tak bisa ia jelaskan.

1
Rian Moontero
lanjuutt🤩🤸
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!