"Nak!" panggil Pak Basuki. "Masih belum rela, ya. Calon suami kamu diambil kakak kamu sendiri?"
Sebuah senyum tersungging di bibir Sashi, saat ini mereka sudah ada di sebuah restoran untuk menunggu seseorang.
"Ya sudah, mending sama anak saya daripada sama cucu saya," kata sang kakek.
"Hah?" kaget Sashi. "Cucu? Maksudnya, Azka cucu eyang, jadi, anaknya eyang pamannya Mas Azka?"
"Hei! Jangan panggil Eyang, panggil ayah saja. Kamu kan mau jadi menantu saya."
Mat!lah Sashi, rasanya dia benar-benar tercekik dalam situasi ini. Bagaimana mungkin? Jadi maksudnya? Dia harus menjadi adik ipar Jendral yang sudah membuangnya? Juga, menjadi Bibi dari mantan calon suaminya?
Untuk info dan visual, follow Instagram: @anita_hisyam TT: ame_id FB: Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sayap seorang suami
Pertanyaan itu seperti angin dingin yang menelusup hingga ke tulang. Sashi tercekat. Ia menunduk semakin dalam.
"Saya ... mungkin terlalu percaya diri dengan kondisi awal pasien," jawabnya pelan. "Saya tidak mengantisipasi kalau beliau punya riwayat hipertensi. Saya ... tidak menggali data dengan baik."
Dokter Far masih menatapnya. "Kamu tahu kalau pasien datang dari kalangan ekonomi lemah. Kamu tahu kalau mereka tak punya BPJS. Dalam kasus begitu, kamu seharusnya lebih teliti. Karena setiap tindakan medis besar tidak hanya menyangkut nyawa, tapi juga kesiapan mental dan finansial keluarga."
Kepala Sashi mengangguk cepat, matanya mulai berkaca-kaca. Dia tidak menangis karena dimarahi, lebih pada kecewa kepada dirinya sendiri. "Iya, Dok. Saya paham. Saya salah...."
Untuk beberapa saat keduanya sama-sama diam, dokter Far menarik nafas panjang kemudian dia melangkah untuk lebih dekat dengan menantunya.
"Kamu marah sama saya?"
Lagi-lagi Sashi menggeleng.
"Terus kenapa kamu enggak mau natap saya?" tanya dokter Far datar.
Perempuan itu buru-buru mengangkat kepala, menatap dokter Far sambil mengibaskan tangannya. "Sayang sama sekali tidak marah, Dok. Saya hanya kecewa kepada diri saya sendiri. Saya seharusnya bisa lebih teliti dan lebih baik, jadi saya juga tidak menyulitkan dokter seperti anda."
"Sashi...." Dokter Far mengusap lengan menantunya. "Jadi tenaga kesehatan itu bukan cuma soal teknik atau kompetensi. Tapi juga kepekaan. Kamu mungkin enggak salah prosedur, tapi kamu bisa lebih tanggap. Terutama ketika berhadapan dengan pasien yang kadang suka dengan sengaja menyembunyikan kondisinya."
"Maksud dokter?" tanya Sashi bingung.
"Jadi begini, ada beberapa jenis orang yang memang kadang menyembunyikan kondisinya karena berbagai alasan." Dokter Far menjelaskan. "Memang ada juga yang menyembunyikan itu karena situasi mereka yang sulit, tapi ada juga yang sengaja menyembunyikan itu untuk meminimalkan anggaran."
"Meminimalkan anggaran?" tanya Sashi.
"Eum, Contoh seperti pasien yang tadi hendak melahirkan, saya mendengar informasi kalau memang suaminya itu agak pelit, tadinya dia ingin istrinya melahirkan di bidan tapi beberapa bidan yang mereka datangi menolak karena riwayat hipertensi yang diderita oleh si Ibu. Apalagi sebelumnya ada kejadian di mana Ibu itu memang pernah kehilangan kesadaran."
Mendengar hal itu, Sashi langsung diam. Bisa dibilang dia merinding sebadan-badan.
"Saya bisa simpulkan kalau bapak tadi ingin mengusahakan lahiran normal untuk meminimalkan biaya yang keluar, jadi dia tidak mengatakan kondisi istrinya seperti apa. Ini tidak sepenuhnya salah kamu, tapi lain kali saya harap kamu bisa lebih teliti. Di zaman sekarang, orang bisa gelap mata karena uang."
Air mata Sashi jatuh, tapi ia buru-buru mengusapnya. "Saya akan belajar, Dok. Saya janji tidak akan mengulang kesalahan yang sama."
Untuk pertama kalinya sejak percakapan itu dimulai, dokter Far tersenyum tipis.
"Itu yang ingin saya dengar," katanya lembut. "Kesalahan adalah guru yang keras. Tapi kalau kamu bersedia belajar, kamu akan tumbuh jadi bidan hebat. Mungkin tidak sekarang. Tapi nanti."
"Terima kasih, Dok... terima kasih banyak."
"Lanjutkan kerjaanmu. Pasienmu banyak menunggu. Dan... jangan terlalu keras pada dirimu sendiri."
Sashi mengangguk dan mundur satu langkah, ia mempersilakan mertuanya untuk pergi. Sebetulnya ada hal yang ingin dia tanyakan, Kenapa mertuanya tiba-tiba ada di sana padahal setahu Dia mungkin mertuanya baru akan pulang besok lusa. Namun, demi sikap profesional Dia mungkin akan menanyakan itu nanti.
** **
Sore itu, Sashi melangkah pelan keluar dari ruang perawat, tubuhnya lelah tapi pikirannya lebih lelah lagi. Hatinya sempat sedikit ringan setelah berbicara dengan Dokter Far, namun rasa itu tak bertahan lama. Di halaman depan rumah sakit, langkahnya terhenti ketika layar ponsel menyala dan menampilkan nama yang sudah lama tidak ingin ia lihat.
"Pak Hariyono."
Sashi menghela napas panjang. Jari-jarinya sempat ragu. Tapi ia tahu, jika ia mengabaikan panggilan itu, masalah baru hanya akan bertambah.
Dengan napas berat, ia menyentuh tombol hijau.
"Halo, Pak. Assalamu'alaikum," sapanya lirih.
Dari seberang, terdengar suara tinggi dan penuh emosi, seperti biasanya. Padahal Sashi sudah berusaha selembut mungkin.
"Kamu di mana sekarang?!" bentak Pak Hariyono tanpa basa-basi.
Sashi memejamkan mata sejenak. "Baru selesai kerja, Pak. Saya masih di rumah sakit."
"Keluar! Sekarang! Kita harus bicara!"
"Tapi—"
"Aku bilang sekarang, Sashi! Jangan banyak alasan!"
Telepon diputus sepihak. Sashi menunduk, menggenggam ponselnya erat. Kakinya berat melangkah, namun tetap bergerak ke tepi jalan, ke arah tempat biasa taksi atau mobil jemputan menunggu.
Dan di sana, seperti adegan yang sudah disusun rapi oleh semesta, sebuah mobil berhenti. Jendela diturunkan separuh, dan dari balik kemudi, wajah Pak Hariyono muncul dengan tatapan tak sabar. Ia membuka pintu mobil dengan keras dan keluar, menghampiri Sashi dengan langkah lebar dan suara tak tertahan.
"Wajahmu sekarang sombong sekali, ya!" cibirnya sambil mendekat. "Cuma karena udah nikah sama tentara!"
"Pak, tolong jangan bicara di sini. Banyak orang—"
"Tutup mulutmu! Kamu pikir setelah menikah kamu bisa bersikap seenaknya pada kakakmu? Hah?! Kamu pikir kamu ini siapa?!"
"Pak, saya nggak pernah bersikap seenaknya sama Kak Amara. Saya cuma... nggak nyaman. Itu aja."
Eh, Pak Hariyono malah menunjuk wajah Sashi dengan telunjuk kasar. "Kamu masih berutang, Sashi. Jangan sok tinggi. Sudah nikah. Kamu kira aku lupa?! Mentang-mentang kamu sudah keluar dari rumah kamu bisa seenaknya? Lupain semua utang-utang kamu?"
Sashi menghela napas panjang, ia menunduk, rasanya benar-benar sangat lelah karena harus terus menanggapi drama Ayah tirinya. "Saya ingat, Pak. Tapi saya belum gajian. Gaji bulan lalu hampir semuanya saya transfer ke Bapak. Saya butuh waktu."
"Bohong!"
"Bapak bisa cek mutasi saya—"
"Aku nggak peduli! Kalau kamu nggak bisa bayar, pulang ke rumah! Cuci baju, masak, bersih-bersih seperti biasa! Kamu pikir hidup ini enak?!"
Air mata mulai memenuhi pelupuk mata Sashi. Ia mencoba tegar, menahan sakit yang menyesakkan dada. Siapapun yang ada di posisinya saat ini, mungkin akan merasakan hal yang sama. Saat dari kecil dia pikir makan dan biaya sekolah itu gratis, tapi setelah besar dia ditagih, Siapa yang tidak syok dan bingung.
"Pak... saya sudah menikah. Saya nggak mungkin tinggal di rumah Bapak. Saya punya suami, saya harus menghargainya."
"Setelah pulang kerja kamu bisa ke rumah. Aku nggak peduli!"
"Tapi saya juga harus ngurus rumah tangga saya sendiri!"
"Kamu itu cuma perempuan! Urusanmu ya nurut!"
"Berapa?" tanya seseorang tiba-tiba.
Sashi dan Pak Hariyono sontak menoleh, keduanya dibuat terkejut saat sadar kalau ada Dirga di dekat mereka.
Pria itu berdiri di samping mereka dengan wajah datar, tapi sorot matanya menajam setiap detiknya.
"Berapa?" tanyanya lagi.
"A-apanya?" Pak Hariyono yang tadinya petentang petenteng kini tampak gugup.
"Berapa yang harus saya bayar agar Bapak tidak pernah lagi menuntut istri saya, mencampuri hidupnya, apalagi menekannya seperti ini?! Katakan? Berapa yang harus saya bayar?"
eng ing eng.... kagak sabar terbongkar nya semua orang rumah
bisa jadi penugasan dirga ada campur tgn ayah Azka.
bagaimana pun Bunda Far ..
istri kedua pak basuki...
jadi pasti mereka tidak suka pada Dirga..
❤❤❤❤
dan dikirim ke sashi oleh ika..
biar gak ketahuan dari Azka..
kan bisa pakai nomor lain..
bisa jadi emang kerja sama ika ama Azka..
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤