kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misteri Hantu Nenek Bisu BAB 1 — Rumah di Ujung Kebun
Di sebuah desa kecil yang terpencil, terletak di pinggiran area perkebunan teh yang luas, berdirilah sebuah rumah tua yang tampak rapuh dimakan usia. Dinding kayunya berderit tertiup angin, dan cat kusam yang mengelupas menyisakan guratan waktu yang tak bisa disembunyikan. Rumah itu milik seorang perempuan tua yang dikenal oleh penduduk sebagai Nenek Sanem.
Nenek Sanem tinggal sendiri di rumah itu sejak suaminya meninggal bertahun-tahun lalu. Anak-anaknya? Tak ada yang tahu pasti apakah ia pernah punya. Hidupnya sederhana, setiap pagi ia berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju kebun teh, bekerja sebagai buruh pemetik daun teh bersama beberapa warga desa lainnya. Tapi meski sering terlihat di kebun, ia bukanlah sosok yang mudah didekati.
Nenek Sanem tak pernah bicara. Tak sepatah kata pun pernah keluar dari mulutnya. Orang-orang menyebutnya “Nenek Bisu”.
"Aku pernah lihat dia senyum," ujar Pak Naryo, pemilik warung dekat masjid desa, suatu siang. "Tapi senyumnya… entah kenapa bikin bulu kuduk merinding."
Gosip-gosip bertebaran dari bibir ke bibir. Ada yang bilang nenek itu memang lahir bisu. Ada juga yang berkata, dia kehilangan suaranya setelah melihat suaminya dibunuh dengan kejam oleh penjajah puluhan tahun silam. Ada pula desas-desus yang lebih menyeramkan—bahwa nenek itu sengaja membungkam suaranya sendiri karena telah melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat.
Namun tak ada yang benar-benar tahu. Dan, seperti umumnya kehidupan di desa kecil, misteri semacam itu hanya menjadi bahan obrolan sore sembari menyeruput kopi panas.
Malam itu, langit tampak gelap pekat. Awan menutupi bulan dan bintang, seolah langit pun menolak menyaksikan apa yang terjadi.
Di dalam rumah tua itu, Nenek Sanem sedang duduk di pojokan, ditemani cahaya lampu minyak yang berkelap-kelip. Sejak sore, ia merasa tak enak. Perutnya mual. Kepalanya berdenyut. Dan untuk alasan yang tak ia mengerti, rasa dingin menjalari tulang punggungnya.
Tiba-tiba… "BRUK!"
Sesuatu menghantam pintu depan. Suara gesekan keras dan suara kayu retak menggetarkan rumah mungil itu.
Nenek Sanem bangkit dengan tangan gemetar. Ia tahu, itu bukan angin.
Pintu terbuka paksa.
Dua lelaki bertopeng kain masuk dengan langkah kasar. Mereka tak berbicara, hanya menatap sang nenek dengan mata liar yang penuh niat jahat.
Sanem berusaha mundur, mencoba lari ke dapur. Tapi usia membuatnya lambat. Salah satu pria itu menarik rambutnya dengan kasar dan membantingnya ke lantai.
“Nggak usah banyak gerak, Nek!” hardik si perampok, walau ia tahu wanita tua itu takkan menjawab.
Mereka mengacak-acak isi rumah, mencari sesuatu yang berharga. Tapi… apa yang bisa dimiliki seorang nenek miskin selain kenangan?
Kesal karena tak menemukan apa-apa, salah satu dari mereka mengangkat golok pendek dari pinggangnya.
“Dia pasti nyembunyiin sesuatu,” ucap pria itu sambil mendekat. “Mana tahu dia punya emas nenek-nenek dulu itu…”
Sanem menatap mereka. Matanya tak berkedip, tapi penuh amarah dan… keputusasaan.
Si pria itu marah. “Ngapain ngeliat begitu?!”
Tanpa pikir panjang, golok itu dihujamkan… bukan ke tubuh, tapi ke wajah Sanem. Ke mulutnya.
Jeritan tak terdengar melengking di udara malam. Golok itu merobek daging mulutnya, menghancurkan lidahnya yang bisu—seolah mereka ingin menghukum keheningan itu.
Sanem tergeletak di lantai. Nafasnya tinggal sisa. Mata tuanya menyimpan teror dan duka yang dalam.
Tak lama kemudian… hening. Hanya suara angin malam dan burung hantu yang bernyanyi dari kejauhan.
Seminggu berlalu.
Bau busuk mulai menyebar dari arah rumah tua itu. Seekor anjing kampung terus menggonggong dari kejauhan setiap malam. Para warga mengira itu hanya bangkai tikus atau ayam mati.
Hingga pada hari ketujuh, Pak Kumis, seorang pemuda desa yang kebetulan hendak mencari rumput untuk kambingnya, melintas di dekat rumah itu.
"Apa itu… bau apa…?" gumamnya.
Penasaran, ia mendekat. Semakin dekat, semakin tajam bau itu. Ia menutup hidung, lalu mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Ia panggil beberapa kali. Sunyi.
Akhirnya ia mendorong daun pintu yang ternyata tidak terkunci. Perlahan, ia masuk… dan tubuhnya langsung membeku.
Di tengah ruangan, di lantai yang dipenuhi noda gelap yang telah mengering… terbujur tubuh tua yang mulai membusuk.
Wajahnya rusak, membengkak. Tapi yang paling mengerikan adalah mulutnya yang tak lagi ada. Hancur. Robek seperti bekas binatang buas. Namun tak ada cakaran di tempat lain. Lidahnya… raib.
Pak Kumis mundur sambil teriak histeris, lalu lari terbirit-birit keluar rumah.
Warga pun geger. Polisi datang. Tapi jejaknya sudah kabur. Tak ada saksi. Tak ada petunjuk.
Malam demi malam setelah itu, rumah tua itu dibiarkan kosong.
Namun, tak berarti sepi.
Sebab, sejak malam setelah pemakaman Sanem, warga mulai mendengar sesuatu dari rumah itu.
Suara-suara aneh.
Terkadang suara isak tangis yang lirih. Kadang suara geraman… atau dentingan benda jatuh, meski tak ada yang masuk ke sana.
Dan yang paling menyeramkan adalah suara yang tak berbentuk suara.
Suara yang tak bisa didefinisikan. Hanya getaran… seperti bisikan lidah yang tak bisa berkata.
Warga pun mulai menyebutnya dengan satu nama yang dingin dan menggetarkan:
"Hantu Nenek Bisu."
Dan malam-malam panjang di desa kecil itu… tak pernah lagi sama.
Bau busuk itu muncul di hari ketujuh. Awalnya samar, seperti bau tanah basah yang terlalu lama mengendap di sudut bangunan tua. Tapi setiap hari, aroma itu semakin kuat, menyusup masuk ke pori-pori udara desa Tirnawati. Anjing-anjing menggonggong malam-malam, menolak mendekat ke rumah paling ujung, tempat di mana Nenek Sanem dulu tinggal. Ayam-ayam pun enggan berkeliaran ke arah sana.
Namun tak seorang pun warga yang benar-benar menaruh curiga—setidaknya hingga pagi itu.
Pak Kumis, lelaki paruh baya yang lebih dikenal sebagai pencari rumput dan penjaja kayu bakar keliling, sedang berjalan menuju kebun ketika ia mencium bau itu. Ada rasa aneh yang menjalar di tengkuknya, semacam firasat yang membuat bulu kuduk berdiri.
Ia menghentikan langkahnya di depan pagar kayu rumah tua itu. Pagar itu setengah roboh, dan rerumputan tinggi menyembunyikan jejak-jejak ke jalan masuk. Sinar matahari yang menembus celah pohon teh tak mampu mengusir bayang-bayang yang terasa seperti menyergap dari rumah itu.
Pak Kumis menelan ludah.
“Sanem?” panggilnya pelan, walau tahu tak mungkin ada jawaban.
Ia mengetuk pintu. Satu ketukan. Dua. Tiga.
Tak ada suara. Tak ada gerakan. Bahkan angin pun seperti menolak menyentuh rumah itu.
Dengan ragu, ia menyentuh gagang pintu yang ternyata tidak terkunci. Ketika dorongan kecil diberikan, pintu itu membuka dengan derit menyayat. Bau busuk langsung menyergapnya, lebih pekat, lebih menusuk. Campuran antara darah mengering, daging busuk, dan sesuatu yang lain. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh kata.
Pak Kumis memegangi hidungnya. Tapi apa yang dilihatnya di lantai ruang utama membuat tangan itu jatuh.
Tubuh itu… terbujur di lantai, setengah kaku, namun mulai membengkak. Wajahnya nyaris tak dikenali, namun pakaian itu—kain batik kumal dan baju lusuh dengan motif bunga pudar—tak salah lagi. Itu Sanem.
Namun yang paling mengerikan adalah mulutnya. Atau apa yang tersisa dari mulutnya. Daging di sekitar bibirnya robek. Rahangnya terdistorsi. Lidahnya… tiada.
Pak Kumis terduduk, mulutnya terbuka tanpa suara. Lalu, jeritan keluar, panjang dan melengking. Ia berlari keluar rumah seperti kesurupan.
Siang itu, kehebohan menyelimuti desa. Warga berdatangan, sebagian berani mengintip dari ambang pintu, sebagian hanya bergidik dari jauh. Tak lama, polisi datang dari kecamatan terdekat. Garis polisi dipasang, dan tubuh Sanem dibawa menggunakan kantong jenazah.
Namun bahkan polisi pun tampak resah.
“Kami akan kirim ini ke kota untuk autopsi,” ujar salah satu petugas, namun ia tak menatap siapa pun.
Desa Tirnawati mendadak sunyi selama beberapa hari setelah itu. Rumah Sanem ditutup rapat. Tapi ketenangan itu hanya tampak di permukaan. Malam hari, bisik-bisik mulai terdengar.
“Aku dengar dia belum sepenuhnya mati saat ditemukan…”
“Lidahnya… katanya dicabut. Atau dimakan?”
“Ada jejak kaki… tapi mengarah ke dalam rumah, bukan keluar.”
“Dan tahu nggak? Ada simbol aneh di lantai…”
Gosip berkembang liar, seperti api kecil di ladang kering.
Tiga hari setelah pemakaman, seorang gadis muda datang ke desa. Namanya Ratna, mahasiswi psikologi tingkat akhir dari universitas di kota. Ia datang membawa proposal penelitian kecil: tentang trauma kolektif masyarakat pedesaan dan kaitannya dengan mitos lokal. Namun kedatangannya bukan kebetulan semata. Ia memiliki alasan pribadi.
Sanem… adalah nenek kandung ibunya. Dulu, ibunya kabur dari desa ini, menikah dengan lelaki dari kota dan tidak pernah kembali. Tapi Ratna selalu merasa ada bagian dari dirinya yang tertinggal di tempat ini. Ia tak pernah bertemu langsung dengan Sanem, tapi selalu melihat wajah tua itu di mimpi—senyum samar, mata cekung, dan… keheningan yang menyesakkan.
Ratna datang tidak hanya untuk penelitian. Ia ingin mengenal asal-usulnya. Dan—tanpa ia sadari—ingin menjawab mimpi-mimpinya yang tak pernah berhenti.
Ia menginap di rumah Bu Sarti, salah satu warga desa yang bersedia menampungnya.
“Jangan mendekat ke rumah ujung kebun itu ya, Nak,” kata Bu Sarti malam itu saat mereka duduk di teras. “Kami semua sudah sepakat, tempat itu… angker sekarang.”
Ratna hanya tersenyum sopan. Tapi pikirannya sudah melayang ke rumah itu. Ke ruang kosong tempat nenek yang tak pernah ia kenal ditemukan membusuk.
Malam itu, ia bermimpi lagi.
Sanem. Duduk di lantai, membelakangi cahaya. Tapi kali ini, ia mencoba bicara. Bibirnya bergerak… lalu sobek… dan sobek lagi. Darah menetes, tapi ia tetap bicara meski tak bersuara. Ratna hanya bisa menatap… dan menangis.
Ketika ia terbangun, seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Di tangannya, ada bekas luka gores seperti cakaran.
Pagi itu, Ratna diam-diam pergi ke rumah tua tersebut. Ia membawa kamera, buku catatan, dan ponsel dengan aplikasi perekam suara. Ia hanya ingin melihat. Hanya itu. Tapi begitu sampai di depan pintu rumah itu, langkahnya terhenti.
Ada seseorang di dalam.
Bayangan lewat di jendela. Sebuah sosok. Tapi ketika ia mengetuk, tak ada jawaban. Ia mencoba pintu. Masih terkunci. Lalu dari balik celah jendela, ia melihatnya…
Seseorang berdiri di pojokan ruangan. Tegak. Tidak bergerak. Wajahnya tidak terlihat. Tapi mata… dua mata menatapnya langsung.
Ratna mundur. Lututnya lemas. Ia berlari kembali ke rumah Bu Sarti.
“Bu… di rumah itu… ada orang…” ucapnya terengah.
Bu Sarti menoleh cepat, wajahnya pucat. “Jangan bohong, Ratna. Kunci rumah itu dipegang kepala dusun. Tak ada yang masuk ke sana.”
Hari-hari berikutnya, Ratna mulai menelusuri kisah lama tentang Sanem. Ia menemukan catatan-catatan tua di perpustakaan desa. Tentang keluarga Sanem yang dulu dianggap ‘aneh’. Suaminya hilang misterius. Ada rumor mereka penyimpan pusaka atau… semacam penjaga “penutup”.
Namun cerita yang paling menarik adalah dari seorang lelaki tua yang tinggal dekat ladang.
“Nenekmu itu,” katanya dengan suara serak, “pernah menolong anak kecil kerasukan di tahun 1987. Tapi setelah itu… dia tak bicara lagi. Sejak malam itu. Dia cuma menangis. Tiap malam. Tapi tak bisa keluarkan suara.”
Ratna menatapnya. “Jadi… bisunya karena kejadian itu?”
Lelaki tua itu mengangguk. “Dan anak itu… mati seminggu kemudian. Tapi matanya… tetap terbuka. Seperti masih melihat sesuatu yang tak mau pergi.”
Malam itu, Ratna kembali bermimpi.
Ia berada di tengah hutan. Ada suara-suara dari segala arah. Bukan manusia. Bukan binatang. Seperti desahan… seperti ratapan dari ribuan lidah yang tak bisa bicara. Dan di tengah semua itu, Nenek Sanem berdiri. Lidahnya tumbuh lagi, panjang seperti ular. Dan ia menunjuk… ke arah Ratna.
Ratna terbangun dengan jeritan. Kali ini, bukan hanya bekas cakaran. Tapi hidungnya berdarah. Dan di bawah ranjangnya… ada gulungan kain batik tua milik Sanem. Ia tahu, karena motifnya persis seperti di foto lama ibunya.
Padahal malam sebelumnya… tidak ada apa pun di sana.
Ratna mulai kehilangan konsentrasi. Ia bicara sendiri. Takut melihat cermin. Takut tidur. Tapi ia juga tak bisa berhenti. Sesuatu dalam dirinya mendorongnya untuk terus menggali. Terus mendekati kebenaran. Seolah neneknya—dalam bentuk yang entah apa—memanggilnya.
Di malam ketujuh ia tinggal di desa, Ratna memutuskan masuk lagi ke rumah tua itu. Kali ini dengan membawa kunci yang ia pinjam diam-diam dari kepala dusun.
Ia masuk perlahan. Lampu senter menari di dinding yang penuh lumut.
Di ruang utama, tak ada apa-apa.
Namun saat ia melangkah ke belakang… ia melihat sesuatu yang tak ada sebelumnya.
Cermin. Tinggi. Tua. Retak. Berdiri menghadap pojokan ruangan.
Ia mendekat. Memandang ke dalam cermin.
Dan saat itulah… ia melihat neneknya berdiri tepat di belakangnya.
Mata Ratna membelalak.
Ia berbalik.
Kosong.
Tapi ketika ia kembali melihat ke cermin, Sanem masih di sana. Tersenyum.
Dan bibirnya mulai bergerak.
Gerakan mulut itu… menyusun kata.
“Maafkan aku. Bukan mereka yang kubunuh. Tapi dia belum selesai.”
Ratna jatuh tersungkur. Nafasnya tersendat. Dari cermin, bayangan Sanem meraih ke luar, dan mulai merambat ke lantai, seperti bayangan yang hidup.
Dalam gelap, Ratna mendengar suara yang sama dari mimpinya.
Desahan. Ratusan. Ribuan. Lidah-lidah tanpa suara.
Dan satu suara paling jelas, langsung di samping telinganya:
“Kau yang terakhir.”